Powered By Blogger

Senin, 27 Maret 2017

JANDA-JANDA KORBAN BELANDA






Sudah lumrah di desa ini. Perempuan bekerja sedangkan laki-laki goyang kaki di rumah sendiri. Bahkan ada yang rela meninggalkan anak. Menitipkan bayi-bayi merah itu untuk disusu oleh ibu mertua atau kandungnya. Dengan dalih ekonomi. Rasa berat hati dan iba seakan sirna karena nasib tidak menuruti kemauan mereka. Musyawarah dengan sang kepala rumah tangga hanya akan berakhir sia-sia. Jaman boleh berubah tapi adat tidak boleh dipersalah. Laki-laki harus dilayani; baik dari batin maupun lahir. Segala perkataannya adalah perintah. Baik atau salah harus dijalankan.

“Kan gak harus ke luar negeri, Nduk. Di kota pun uangnya juga banyak.” Emak Lasiyem mengutarakan keresahan hatinya. Merelakan anak semata wayang pergi demi suami. Emak pernah merasakan rasanya jauh dari anak, dan itu tertekan.

“Mak … hutang Mas Daryono itu banyak. Aku gak bisa ngumpulin uang lebih jika kerja di Indonesia. Kalau di Malaysia, mungkin bisa untuk membetulkan rumah Emak juga. Sudah, Mak. Memang nasibku harus nyambut gawe, dijalani saja.”

“Anakmu masih merah, Las. Tega kamu medhot susu.” Emak membujuk Lasiyem untuk membatalkan niatnya. Bayi yang digendongnya menggeliat. Menyamankan posisi tidurnya di dekapan hangat sang Emak.

Lasiyem menatap wajah mungil yang dia lahirkan satu setengah bulan lalu. Laki-laki dengan bobot tiga kilo lebih. Pinggul sempit yang dia punya, membuat jalan normal tidak bisa diambil. Caesar adalah pilihan terakhir. Terpaksa hutang ke penggila harta. Dengan bunga tinggi, tanpa agunan apa-apa. Takdir, sang suami tidak punya benda untuk dijadikan sebagai jaminan. Hanya nyawa.

“Mas Daryono tidak bisa berbuat apa-apa. Emak tahu sendiri, mas Daryono tidak bisa pergi ke mana-mana karena adat di desa ini mewajibkan suami lah yang di rumah. Kalau dilanggar ….”

Lasiyem tidak ingin meneruskan cerita yang sudah beredar. Konon, dulu, di desa tempat Emak dan Lasiyem tinggal, hanya ada para janda dan anak-anaknya. Mereka, para janda itu adalah istri dari prajurit sukarela saat perang melawan Belanda. Suami-suami mereka dipaksa untuk menjadi prajurit oleh pemerintah. Dibekali senjata sederhana; bambu yang diruncingkan. Dilatih menembak dengan senapan angin. Dan hanya sang pemimpin regu yang boleh membawa senapan.

Prajurit-prajurit sukarela itu bertugas menjaga perbatasan desa. Jika ada tentara Belanda yang mendekat, bunuh. Sampai akhirnya, Belanda geram. Menyerang desa dengan ribuan tentara bersenjatakan lengkap. Desa porak poranda, semua laki-laki dihukum mati. Tak terkecuali para orangtua yang tidak bisa berdiri lagi.
***
“Itu cerita sudah lama, Las. Jaman sudah berubah, banyak laki-laki yang sudah merantau dan keluar dari desa ini. Jangan seperti Emak, Nduk. Demi suami, kamu Emak tinggal.” Emak menidurkan bayi merah itu di ayunan bambu. Membisikkan doa di telinga kanannya lalu mencium kening si cucu.

“Mereka yang keluar dari desa itu masih bujang, Mak. Pak Lurah juga tidak berani melanggar adat. Mak jangan lupa, Lek Warsiyah itu menjadi janda juga karena keras kepala. Dibilangin sama pak Lurah gak mau. Akhirnya, anaknya jadi yatim. Dan kini, tidak ada lagi yang mau menikah dengannya, karena takut terkena dosa. Menikahi janda mati.”

“Hussh … kematian itu urusan Gusti. Bukan karena masalah adat itu. Ini salah leluhur kita. Mengada-ada, membuat janji dengan lelembut agar desa aman. Duh, Gusti!”

Emak memeluk putrinya erat. Tidak tega jika tubuh ringkih anak semata wayangnya jauh dari penglihatan. Jika waktu bisa diulang, Emak ingin mengubah takdir sekarang ini, memborgol kepercayaan warga desa yang jauh dari Tuhan. Salah orang-orang dulu, menyebabkan anak turunannya menjadi bingung. Ingin diubah, takut dengan masalah yang akan dihadapi. Jika tidak berani melangkah, mereka akan terkungkung dalam pemikiran sempit.

“Kesalahan orang-orang dulu harus ditanggung generasi penerusnya, Mak. Perjanjian mereka, jadi kita yang harus menanggungnya. Sumpah-sumpah mereka untuk melindungi desa berakibat celaka. Agama tidak diakui keberadaannya. Ada tapi seakan hanya tulisan.” Lasiyem berjalan menuju ayunan bayinya. Tangisan menghentikan pembicaraan mereka berdua.

Emak merenung. Kembali ke masa ketika dia masih kecil dulu. Membuka dongeng-dongeng pengantar tidurnya. Janda-janda sengaja disimpan oleh tentara Belanda. Dijadikan sandera untuk memancing prajurit lain desa. Anak-anak kelaparan, tindakan tak senonoh terjadi di mana-mana. Perempuan-perempuan telanjang tergeletak di halaman rumah-rumah mereka. Jalan-jalan penuh dengan mayat para lelaki tak berbaju. Darah mencemari keperawanan tanah. Rumah-rumah menjadi saksi bisu pembantaian manusia tanpa kenal rasa.

“Kita harus membuat perjanjian kembali!” Emak berkata dengan berapi-api, “mempertemukan kembali antara si pembuat janji dengan mahluk yang dia mintai janji.”

“Eling … Mak. Si pembuat janji sudah dipeluk tanah.” Lasiyem masih berusaha menenangkan anaknya. “Mak tidak boleh melanggar sumpah yang sudah Mak buat sendiri.”

Emak berjalan memasuki kamarnya. Mengambil sebuah benda; kotak perak tanpa ukiran. Membukanya lalu mengambil sebuah gulungan terbuat dari kayu. Membacanya kembali, melantunkan sebatas bibir.
“Las … kata Simbok dulu, perjanjian itu bisa batal jika ada salah satu keturunan si pembuat janji melanggar perjanjian.”
“Emak jangan main-main. Mana ada orang yang mau ditumbalkan!” Lasiyem teriak. Anaknya ketakutan, merasakan hawa lain di rumahnya.
“Untuk menyudahi sumpah janda mati ini. Harus ada satu yang mati,” bela Emak lirih.
***
Lasiyem menangis, mengikut jeritan sang anak yang didekap. Tuhan tidak membenarkan memberikan tumbal sebagai penghapus dosa-dosa silam.
“Tapi tidak harus mengorbankan Mas Daryono, Mak. Bagaimana nasib anakku kelak? Aku juga akan dipanggil janda mati.”
Perempuan-perempuan bernasib malang saling menguatkan. Menangisi kisah-kisah pilu kematian. Lupa, bahwa masih ada Dzat yang berkuasa atas segala. Setan bisa menjanjikan perlindungan tapi bukan keselamatan. Perjanjian yang disematkan kepada selain Tuhan hanya akan berakhir dengan kehilangan.

Klaten, 23 Oktober 2013
#nunox90