Powered By Blogger

Kamis, 05 Januari 2017

PULAU SOGOM; resensi The Apuila’s Child


Judul Buku : The Apuila’s Child
Penulis : Ruwi Meita
Tebal Buku : 168 Halaman
Penerbit : de Teens
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, September 2013
ISBN : -
.
Oren memanggilku, lirih.
Naskah terbaik fans fantasy yang diselenggarakan oleh event Diva Press. Penulis ini terkenal dengan aura mistisnya, beberapa karya novel adaptasinya; Missing, Terowongan Casablanca, Hantu Bangku Kosong dan masih banyak lagi. Pedomannya dalam dunia kepenulisan adalah bertahan. Dengan tidak putus asa saat kekalahan melanda. Serta tidak sombong saat  kemenangan tiba. 
.
Gemuruh Krakatau menggucang perairan Sunda. Hara berusaha keluar dari Pulau Sogom untuk menghindari amukan Krakatau. Padahal saat itu ada Nyai Sumbing yang harus dia selamatkan. Hara selamat atau mereka mati berdua. Nyai itu adalah orang tua keduanya. Dengan batu intan di tangan, Hara melewati alam roh dan berlayar ke masa depan.
.
Novelet ini mengambil setting Yogjakarta sebagai tempat bercerita. Donahue Rubi, seorang Apuila yang bertahan dalam peperangan memantaskan kekuatan. Mengajari serta melindungi Kemuning dari pengejaran para Torerim. Kemuning adalah gadis yang ditakdirkan menjadi balin. Ramalan Groterin sudah menuliskan semua, roh jahat merencanakan pembalasan. Menunggu Torerim mengeluarkan semua amarahnya. Manusia-manusia tak berdosa dijadikan tumbal.
.
Novelet ini mengenalkan kita tentang jubah-jubah perang yang manusia punya. Yang dapat rusak jika manusia itu sama sekali tidak mau menjaganya. Rasa amarah, benci, iri, dengki, sombong, kekecewaan, keputus asaan hanya akan membuat koyak jubah itu untuk bertempur di alam roh nanti. Tugas Apuila diberatkan di sini, selain harus mempertahankan nyawanya, dia juga harus menyelamatkan manusia dari kesesatan hidup.
.
Bibir mereka tidak bergerak. Dan sebuah kalimat terekam telinga tanpa sebuah suara nyata. “Bukankah itu lebih baik? Mengirit suara?” Oren memincingkan matanya. (Halaman 41)
.
Ini bukan novelet dengan dunia imajinasi yang berat, santai saja untuk bacaan ringan selama perjalanan. Selamat Membaca.

Rabu, 04 Januari 2017

LUCIA-KU


“Rasa rindu, rasa cinta atau persahabatan, semua itu benar-benar merepotkan. Apalagi perasaan iri dengan semua itu.” (Rukia Kuchiki)
.
.
Ada desir di dada, saat mata ini tak sengaja bertemu dengan teduh tatapnya. Berkali-kali mengelak, jika rasa ini hanya karena terbiasa. Tiga tahun, mereka berkumpul dan tersimpan di ruangan yang kututup rapat. Selama itu pula, banyak bara yang harus diredam. Berusaha membuat kristal-kristal es di hati, mengawal perasaan sendiri agar tak terlihat. Sebuah rasa yang ingin kutanyakan pada pencurinya. Tiap bertemu, lidah seakan beku. Kedua bola mata terbuka memandang irisnya. Kedua pendengaranku fokus merekam suaranya. Gemericik rintik membasahi hati yang gersang karena kehilangan. Kini rumput ilalang bahkan bunga-bunga rindu tumbuh lebat. Aku bingung harus melakukan apa, hati Lucia mati bersama kematian calon suaminya.
.
Acara perusahaan mengharuskan beberapa orang untuk menginap di hotel Seiretei. Masing-masing mendapat kamar sendiri. Aku, Ichigo Kurosaki, pimpinan cabang sementara perusahaan yang ditinggal oleh sepupu. Penjelajahan selama di Eropa harus diakhiri karena sebuah berita kematian. Kehilangan bukanlah hal buruk, aku sudah pernah melaluinya. Meski kalah, tak ada salahnya untuk menerima. Kehilangan memang menciptakan luka, sebuah trauma terbentuk dan menjadikan diri menjadi posesif. Aku melawan keposesifan, menantang pikiranku sendiri. Berpetualang menyisir alam, membuka tanah-tanah tak bertuan, melawan rasa bosan dengan menyiksa kesempatan.
.
“Makan malam jam delapan, ada jamuan khusus dari pemilik hotel ini untuk perusahaan kita. Ichigo, jackpot menanti.”
.
“Kalian pergi saja, aku ingin istirahat malam ini. Besok ada kerjaan yang harus kuselesaikan,” sergahku menutup perbincangan. Tapi jangan panggil dia Baboon, jika tak bisa mengajak orang ke pesta. “Kenapa masih di sini, aku sudah bilang kan?”
.
“Ichigo, kamu sadar kita di mana? Hei, bodoh! Kau ini pemimpin perusahaan, apa tidak ada kewajiban bertemu klien di acara makan malam!” Tanpa alih-alih Renji berteriak. Orang-orang yang mengerti hanya sekadar melihat, tapi untuk karyawan hotel yang sedang melintas. Teriakan tersebut bak petir yang menyambar pepohonan. Menggelegar.
.
“Sudahlah Abarai, Kurosaki cukup kelelahan hari ini. Dia harus mempersiapkan mental esok pagi. Masa depan perusahaan ada di kedua tangannya. Cukup kita yang bertemu klien, atur saja alasannya.” Toshiro menarik lengan Renji yang masih memegangi pundakku. Dia mengumpat, membuat suasana lorong hotel meriah. 
.
Kembali merebahkan diri. Setelah kepergian Kaien, banyak masalah menghantam perusahaan. Sebagai pemula, tentu hal pertama yang kurasakan adalah ketidakmampuan. Warisan ayah hanya meninggalkan banyak hutang. Asset-aset yang membebankan perusahaan akhirnya dijual. Kini bersama kedua adikku, menyewa apartement kecil di tengah kota. Tak ada mobil mewah dan barang-barang mahal. Semua harus mengikuti laba keuangan perusahaan.
.
“Bagaimana kabar Lucia-ku?” Hanya itu hal yang mampu kuucapkan ketika kerinduan membunuh perasaan. Debar-debar menggelitik pikiran. Sampai kapan mampu menahan semua beban ini. Ibu …  ingin memelukmu.
*** 
“Hinamori-san?” Toshiro menyapa seseorang. Baru kali ini melihatnya bercengkerama dengan gadis. Dia tipe pendiam dan juga workaholic. Jarang berbicara dengan lawan jenis, bahkan asistennya sendiri. “Kenalkan pewaris Kurosaki Corp. Ichigo Kurosaki.”
Gadis dengan balutan kemeja putih itu menatapku lalu membungkukkan badannya. “Kami akan sangat beruntung jika bisa bekerja sama dengan perusahaan Anda, Ichigo Sir. Kami menanti kejayaan Kurosaki kembali.”
Tamparan permulaan sebelum perang dimulai. Ada begitu banyak perusahaan di ruangan ini, persaingan begitu ketat. Orang-orang berlomba mencari keuntungan. Satu per satu menampilkan kelebihan perusahaan. 
.
“Kau siap untuk pagi ini, Sir.”
“Tentu, Abarai … kita harus mendapatkan proyek itu atau –“
“Perusahaan akan tetap bertahan. Aku jamin dana akan mengucur ketika mereka tahu pemegang sah yang menjalankan.” Pandangan Renji tak lepas dari menatapku. “Menghabiskan masa bermainku di perusahaan ini, mengingat ayahmu menerima karena kasihan, bersikeras terus bertahan meski pernah mendapat ancaman pemecatan.”
“Kau tidak pernah bercerita tentang itu, Renji?” 
.
Suasana ballroom semakin ramai. Pria-pria dengan setelan jas mahal memasuki ruangan. Menempati meja sesuai nama perusahaan. Banyak tender yang akan dilelang hari ini. Dengan tujuan  proyek-proyek dijalankan sesuai keahlian. Pejabat-pejabat publik diikutkan untuk menyaksikan. Lelang akan berjalan terbuka dengan memperkenalkan kepada media tentang pemenang tender. Membuka mata media tentang ketidakadaan suap dan perjanjian di muka. Negara sedang meributkan kasus-kasus korupsi sebuah perusahaan asing.  Gelontoran bank negara berpusat di sana tapi proyek tidak ada.
.
“Itu Kuchiki Byakuya, kakak dari Lucia-mu.”
Aku menoleh ke arah Renji, sejak kapan dia tahu tentang Lucia, “Lucia siapa?”
Abarai Renji bukan hanya seorang bawahan, dia jeli membaca mimic wajah orang. Bahkan beberapa proyek yang kudapatkan setelah pergantian pimpinan diperoleh karena instingnya. Ayah tidak salah mempercayakan hidup perusahaan di tangannya ketika Kaien menjabat. Penengah dan sekaligus menyeimbang perusahaan, walaupun sampai sekarang Renji tidak memikirkan apa yang dia akan dapat dari perusahaan. Tapi sesuai wasiat ayah, Abarai Renji berhak mendapat mendapat tiga persen bagian saham perusahaan. Dan belum ada yang membaca surat itu kecuali aku.
“Rukia adalah pewaris sah kekayaan Klan Kuchiki. Meski sekarang perusahaan dan beberapa usaha masih di tangan Byakuya. Tapi semua kepemilikan berada di genggaman Kuchiki Rukia. Anak yang sah.”
.
Klaten, 04 Januari 2016
#nunox90

Selasa, 03 Januari 2017

MALAM MINGGU LISA

Cerita untuk sahabat-sahabat di Asmanadians ^_^
.
.
Gerimis di Jogja belum tuntas sempurna. Masih ada mendung menyebar di kota. Pesan manis di BBM dua hari lalu kudiamkan saja. Padahal butuh jawaban, entah dengan kalimat apa harus mengutarakan. Menerima atau menolak sepertinya sama-sama keputusan yang tak bisa ditolak. Menerima berarti harus siap dengan terbukanya luka tapi jika harus menolak, tentu banyak suara yang mengusulkan tanya. Mengeratkan kembali khimar yang sudah terpasang menutupi  helaian hitam. Mengaitkan jarum ke sisi kiri dan kanan, kain khimar yang tersisa harus dirapikan. Khimar lebar bukan berarti tidak bisa bermain kepantasan. 
.
“Bu … apa benar kata Om Gumilang. Kalau jodoh Lisa masih jauh?”
“Hush … kata-kata Om kamu itu jangan diambil hati.” Nasehat Ibu terus terngiang hingga saat ini.
.
Serasa ingin meghantamkan kepala ke kaca almari. Pertanyaan itu terus saja menghantui. Kembali kulayangkan pandangan pada tumpukan buku di meja belajar, wisuda atau KUA. Masih ada puluhan agenda yang tertempel erat di dinding. Apakah harus menanggalkannya hanya gara-gara ledekan Om Gumilang. Bermula dari dua minggu lalu, pertemuan singkat di sebuah walimahan teman. Laki-laki berkaca mata itu menyihirku, tentu bukan karena ketampanannya, sedikit saja yang tahu, dulu kami pernah mempunyai cerita saat masa-masa SMA.
.
“Miss Malam Minggu!” Dia memanggil seperti itu. Di kerumunan banyak tamu, tanpa sapa karena lama tak bertemu, teriakan itu seperti durian runtuh menimpa tubuh. Bukan hanya gelak tawa yang kudapat tapi juga serentetan pertanyaan tentang siapa dia.
.
“Menolak lamaran lelaki saleh berarti menghancurkan sebuah negara dengan bom Nagasaki Hiroshima. Lebur, asap membumbung. Harapan pecah, cinta dipersusah.” Begitu kalau sudah diskusi sama Om sendiri. Menggalakkan nikah muda, targetnya. Tapi ujung-ujungnya selalu memaksa calon yang beliau bawa. Sudah tiga laki-laki yang kutolak karena belum merasa dihati. Tapi kali ini entah kenapa rasa itu datang lagi. Ya, masa abu-abu yang meresapi kalbu. Kaca mata itu tak pernah terlepas dari wajahnya. Tubuh jangkung dengan badan tak terlalu kurus. Kakak kelas masa SMA itu semakin membuatku gila. Bukan karena ketampanannya, karena wajahnya biasa saja. Tapi kenangan yang kembali ke ingatan. ‘Miss Malam Minggu’, apakah dia benar-benar menyimpan cerita itu?
.
“Kenapa kamu selalu menolak laki-laki yang Om bawa?”
“Bukan begitu, Om Gumilang. Om tahu sendiri, Lisa masih fokus ke skripsi dan goal wisuda di tahun 2017 ini. Apa nikah bisa menjadi pemecah masalah dari semua itu?” tanyaku.
“Nikah itu ibadah, Lis. Semakin diundur ceritanya malah semakin ngawur. Kenapa berlama-lama sendiri jika sudah ada ikhwan yang mau menikahi? Hidup itu goalnya akhirat. Dan separuh agama bisa dibina melalui pernikahan. Jangan menolak lagi, Om bakal bawa Dio ke rumah bulan ini!”
.
Keputusan akhir tetap di tangan tetua, sepertinya itu tradisi keluarga besar. Tidak bisa menolak karena seminggu lalu undangan sidang sudah kupegang dan kemungkinan pertengahan tahun ini wisuda sudah dilaksanakan. Kembali melihat pesan di layar, hanya kalimat tapi bisa membuat pikiran kiamat. ‘Lis, siap menjadi teman malam mingguku setiap malam? Aku sudah membaca proposalmu dan jika kau bersedia, Demi Allah aku ingin meminangmu segera.’
.
“Berarti acara akan dimulai besok pagi. Jangan lupa bawa semua peralatan, sebelum hari Senin semua medan sudah dipasangi perlengkapan. Cek daftar bawaanmu, Lis. Bolak-balik rumah kan lumayan, atau kamu beli semua di toko kelontong bapakku. Pasti ada,” ucap Kak Dio, menghitung jumlah bendera merah putih. 
“Kak Dio, malam minggu kok sepi ya?” tanyaku.
“Kamu sudah makan, Lis?” Nurul menoleh.
“Sudah, tadi sebelum maghrib sama Kak Dio makan mie ayam seberang jalan.” Sepintas melihat wajah teduhnya.
“Ciee … yang duluan malam mingguan,” ejek Nurul.
“Lah, kan ini memang malam minggu. Ada apa sih orang cuma makan karena kelaparan,” tukasku kesal.
“Tadi siang ada ceramah jumatan gak?” Kak Dio memasang mimik datar.
“Iya ada!” Aku menjawab lantang, “Eh, sebentar … kalau tadi siang jumatan berarti ini malam …,”
“Miss Malam Minggu.”
.
Aku malu, kebetulan atau tidak, muka serta kejujuran dalam menunjukkan perasaan terbaca oleh kawan-kawan. Begitu juga Kak Dio, gosip menyebar karena obrolan di lapangan sekolah malam itu. Pengalaman pertama menyukai seseorang masa SMA. Bukan hanya berita yang kudapat tapi sikap laki-laki yang memberi panggilan dengan ‘Miss Malam Minggu’. Kedekatan itu merenggang, hal-hal yang membuat kami dekat karena ukhuwah sebisa mungkin Kak Dio putus untuk menjaga fitrah. Dia menghindari semua kegiatan yang sama, mengurangi waktu di sekolah. Ada jarak tercipta saat semua rasa mengumpul di dada. Yang kutahu, rasa itu meninggalkan luka. Tidak bisa terungkap meski raga ingin mendekap.
.
“Om.”
“Iya, Lisa … tumben telepon,” sahut suara serak di seberang.
“Lisa ingin mengakhiri kesendirian.”
Senyap. Tak ada jawaban atas pernyataan. “Aku tidak punya alasan untuk menolak ajakannya. Setidaknya dia juga yang mampu menutup kisah malam mingguku. Om pasti sudah dengar semua ceritanya.”
.
Obrolan berakhir, hanya salam yang kudapat sebagai jawaban. Detik berganti menit dan hati semakin didera ketidakpastian. Tidak mungkin Om Gumilang mencabut kesepakatan dengan cepat. Kembali ke kamar, masih ada tas besar dan beberapa helai baju yang belum rapi dimasukkan. Lantunan istighfar terus membasahi rongga, tapi tetap saja hati tak bisa tenang sampai muara kegelisahan ini melebur menjadi perjanjian.
.
‘Tahun ini, EVERYNIGHT IS SATURDAY NIGHT, just for you, Lisa.’
Pesan WA mengusir gelapnya sangkaan. Mendung berlari setelah kedatangan mentari. Awan-awan berjejer menempatkan diri di birunya langit. Tetes-tetes sisa air hujan menyegarkan kembali ingatan. Tuhan tidak pernah memberikan pilihan, jika kita sendiri tidak bersedia untuk berikhtiar.
.
Barakallah ^^
.
Klaten, 03 Januari 2017
#nunox90