Powered By Blogger

Rabu, 24 Mei 2017

BAPAK DALAM LEMARI





Pernah melihat sosok hantu yang berujud lengkap? Berdiri di depanmu, melihat ke arah mata, ia melotot, terdiam di sana, dan ia adalah sosok yang pernah kau lihat, mati. Tubuhnya terbalut kain kafan putih, tegak berdiri, sama seperti berdirinya gerakan sholat, tangannya tepat di atas dada, terikat tali putih, bercak tanah merah menodai kain yang seputih tulang itu.
==================== 

Dua tahun lalu, Nenek meninggal tanpa sebab. Ada yang bilang, Nenek menjadi tumbal oleh salah satu anggota keluarga yang mempunyai pesugihan. Aku ingin tidak percaya, keluarga besarku memang kaya. Rumah, tanah, sawah dan beberapa toko adalah bukti bahwa kami banyak harta sejak dulu. Buat apa pesugihan? Jika tanpa mereka pun, kita bisa kaya.

“Ada orang meninggal, Nduk,” ucap Ibu yang baru saja turun dari mobil.
“Siapa, Bu?”
Ibu menutup pagar halaman dan menguncinya. Membuka pintu garasi dan menyalakan lampu teras rumah.
“Itu, anaknya Pak Wibowo, meninggal karena kecelakaan tadi shubuh,” penjelasan Ibu membuatku merinding.

Aku kenal anaknya pak Wibowo, kakak kelasku di sekolah. Orangnya alim dan tidak banyak tingkah. Kecelakaan? Entah, sudah tiga kali ini dalam satu bulan, banyak orang meninggal di desaku, dan penyebabnya sama, kecelakaan di jalan.

“Emang, kecelakaan dimana, Bu?” tanyaku penasaran.
“Ayo, masuk dulu. Nanti dia denger, Ibu takut kalau ada apa-apa.”
Ibu menarikku  untuk masuk ke rumah, hari sudah senja. Keadaan desa semakin sunyi. Desus pencarian tumbal oleh seseorang yang mempunyai pesugihan masih menjadi misteri. Konon, mereka bertiga yang meninggal karena kecelakaan itu, mati di tempat yang sama. Pertigaan utara desa, yang dijaga oleh sosok yang tak nyata.

Mungkin benar jika isu pesugihan itu berkeliaran, buktinya desa ini sunyi setelah azan maghrib berkumandang. Senyap, tidak ada anak kecil yang berani bermain di luar halaman.  Pernah ada yang bilang, pesugihan itu berbentuk pocong dan terikat tali, tubuh mayat yang terbalut kain kafan putih. Semua orang membicarakannya, tapi tak satu pun dari mereka yang pernah melihatnya. Kecuali mereka yang pernah kecelakaan di tempat angker itu, rumah bagi si pesugihan.

“Tadi malam, di samping kamarku, aku mendengar ada seseorang yang lompatan bolak-balik, tepat di samping jendela. Mau nya ngintip dari celah jendela tapi aku kabur duluan, udah nyium bau itu sih,” bisik salah satu siswa di kantin.
Di sekolah pun, semua siswa membicarakan hal yang sama. Isu-isu tak jelas semakin membuatku ketakutan, bahkan kegiatan sekolah hanya boleh diadakan sampai jam empat sore.
“Kemarin, Mbahku melihat sosok pesugihan itu,” celetuk teman sebangku.
“Bagaimana rupanya?” tanyaku penasaran.
“Laki-laki, tinggi dan bermuka hitam,” jawabnya.
Semakin merinding aku mendengar penjelasannya. Bagaimana tidak? Setiap hari aku harus melewati jalan yang dianggap rumah oleh pesugihan itu. Jika melewati pertigaan itu, aku mencium bau aneh. Entah bau kembang atau sekedar bau yang tak sedap. Dan anehnya, setiap hari pasti ada sebaran bunga  mawar di jalan itu. Bukankah ini syirik?

Hari minggu ini sangat sepi, ba’da shubuh biasanya akan ada kajian di Mushola Ar Rahman. Tapi sampai jam enam pagi, tidak ada satupun orang di sini. Mushola ini terletak di pinggir desa, jauh dari keramaian. Memang hebat, efek dari desus yang beredar, bahkan sampai para jama’ah enggan pergi ke mushola.
“Pagi-pagi sudah di sini, La?” tanya kawan.
“Aku ingin ikut kajian ba’da shubuh tadi, tapi kenapa sepi, Rum?” tanyaku balik.
Rumi menarikku pergi dari halaman mushola. Dia memintaku untuk naik sepeda motor yang ia bawa. Raut wajahnya sedikit ketakutan.
“Kamu tahu gak, La, kenapa mushola jadi sepi?”
“Gak tahu, Rum, aku sudah lama tidak sholat di mushola,” jawabku.
“Kemarin malam, pesugihan itu mondar-mandir di halaman masjid. Sekitar jam satu pagi, kata orang, itu karena lampu mushola dihidupkan. Jadi setelah kejadian itu, semua warga desa tidak menyalakan lampu, dan para bapak melakukan ronda di rumah mereka masing-masing.”
Ya Tuhan, apa sosok yang bernama pocong itu sangat menakutkan? Dia kan hanya setan, yang Allah derajatnya lebih rendah dari manusia, bukan untuk di takuti tapi di lawan. Jika benar pocong itu mampu membunuh orang, apa bedanya dengan manusia?

Aku melihat Ibu merapikan beberapa lembar pakaian, terlipat rapi dan di masukkan ke dalam tas besar. Sepertinya Ibu sedikit terburu-buru, baju tidur masih terpasang dibadannya.
“Ibu, mau pergi?” tanyaku setelah Rumi mengantarkan sampai rumah.
“Kakek sakit, Nduk, Ibu harus ke sana untuk jenguk, kamu mau ikut?”
“Aku siap-siap sebentar,” ucapku sambil berlari ke kamar sebelah.

Kakek memang sakit sudah lama, hampir setahun ini Beliau sakit tua yang tak kunjung reda. Hampir setiap minggu check up ke Dokter, mengganti perban yang melilit kaki kanannya.
“Apa Kakek akan di opname, Bu?”
“Ibu tidak tahu, Nduk, tadi Bulek memberitahu kalau keadaan Kakek gak baik,” jawab Ibu.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, melewati rumah si pesugihan yang nampak kosong tak bertuan.

Tubuh Kakek hanya bisa terbaring, jarum infus menemani di titik nadinya. Semua keluarga berkumpul, kecuali Paman yang masih dalam perjalanan dari Surabaya. Rumah Kakek memang terkesan seram, lukisan dan berbagai barang Jawa ada di rumah ini.
“Nduk … tolong ambilkan baju Kakek yang ada di lemari kamar paling pojok, lemari yang berwarna coklat tua,” pinta Budhe.
“Tapi …,” tolakku
“Sudah cepat! Kakek tidak boleh memakai baju yang lain kecuali dari lemari itu.”
Aku bingung, bukannya semua baju sama. Entah di simpan dalam lemari manapun.

Kamar Kakek seperti tidak diurus, banyak debu dan terasa janggal. Aku tidak pernah memasuki kamar ini selama aku hidup, tidak boleh.
“Lemari warna coklat tua,” gumamku
Banyak lemari di sini, hampir ada empat, dan warnanya coklat semua. Lampu kamar mati, dan cahaya tidak cukup untuk membedakan mana yang lemari berwarna coklat tua.
“Mungkin ini,” gumamku lagi

Aku membuka lemari tua berwarna coklat ini, bulu kudukku berdiri, tertangkap di indera pendengaran bunyi-bunyi yang aneh, bisikan. Bau tak sedap mulai merasuk hidung, menuntutku untuk menahan napas.
Mata mulai menangkap benda yang tersimpan di lemari tua ini. Sisi kanan, yang di tutup oleh kain putih. Aku merasa penasaran, di satu sisi lemari berisi tumpukan benda kuno milik Kakek. Dan di sisi satunya tertutup kain penghalang ini.
Aku memberanikan diri, rasa penasaran penuh menguasai. Jemariku gemetar, bibirku mengucap tujuh ayat Al Fatihah, spontan saat aku merasa ketakutan.
Tabir terungkap, sosok putih tepat berada di depanku, matanya terbuka, wajah hitam dan penuh tanah. Terbalut kain kafan, dia memandangku dalam diam, tubuhku tidak mau pergi, sama dengan dirinya, diam dan saling memandang.
Sosok yang tinggi, apakah dia hidup? Aku memberanikan jemari untuk menyentuh. Semua tali yang melingkar di tubuhnya masih rapi, hanya noda tanah merah yang menghiasi kain yang menutup jasadnya. Aku pandang dalam diam wajahnya, matanya terbuka tapi mati, tak ada sinar kehidupan.
Aku mengenal wajah ini, lima tahun lalu saat terakhir sosok itu pergi. Sama, tak ada yang berbeda dengan wajah yang aku lihat sekarang. Meskipun, wajah yang aku lihat ternoda hitam. Aku mengumpulkan momen itu kembali, di saat terakhir kali aku melihatnya dalam liang lahat.

“Bapak,” lirihku.

Purwokerto, 08 Mei 2016

TANAH YANG MENGUBUR KEMATIAN







Fina menari-nari, setelah sekian lama tangan dan kakinya terkunci oleh ikatan posesif seorang laki-laki. Dia menyukainya, lambaian tangan ke udara, saat kepala memutar, kaki mengayun, terangkat, kembali lagi menapak tanah. Mengurai tali-tali yang erat mengekangnya selama ini. Hal pasti yang akan dia lakukan setelah hari bebasnya ini adalah berlari. Sekencang mungkin, melihat sinar mentari yang selama ini hanya bisa dia lihat dari lubang kecil kamar pribadinya. Bahkan, rembulan tidak pernah menyapa matanya selama bertahun-tahun. Dia ingat, saat terakhir kali menatap sebuah pemandangan cantik langit malam. Bertabur kerlipan batu-batu bercahaya. Diterangi sinar benderang, awan nampak putih pucat tapi berayun. Malam itu adalah malam terakhir dia mendekap hangat pelukan sang ibu. Setelah itu, dingin. Kaki-kaki kecilnya terangkat.Menjauh dari tubuh sang ibu yang berlumuran darah. Bahkan jeritan meronta dari bibir pucat ayah masih dia rekam sampai saat ini. Malam itu, pembunuhan dan segala drama keluarga menyimpan rahasia.Berujung pada satu kata; misteri.
***
“Kau gadis mana?”

Lamunan tentang masa kelamnya terhenti. Semalam, mimpi-mimpi buruk itu menyapa lagi. Seperti ular yang datang dan melilit tubuhnya.Atau seekor anjing mengejar. Bahkan ada satu dua pisau terlempar dan mengenai tubuhnya. Semua scene itu berputar seperti video usang yang tak berhenti jika saja dia tidak dibangunkan oleh sahabat baiknya.

“Aku Fina, anak lantai tiga, kamar nomor dua ratus empat. Apa waktu berkunjung sudah habis?”

“Kembalilah ke kamarmu. Langit sebentar lagi menutup, malam akan menakutkan jika kau sendirian di perpustakaan.”

“Aku rasa tidak.”

“Kau bilang apa?” Rendra mengamati gerik mimik lawan bicara. Dingin. Seakan pikirannya takada di sini. “Jangan bilang kau ingin mencuri buku bacaan di sini.Jika ada buku hilang, aku harus membayar separuh harga barang.”

“Aku ingin melihat bintang,” celetuk Fina.

“Di tanah ini, bintang sudah lama jatuh, hancur, bersama runtuhnya tembok kerajaan sang Baginda raja.”

Fina mengerti kalimat terakhir yang diucapkan oleh penjaga perpustakaan itu.Wajahnya berubah merah. Menahan amarah, seakan semua dosa, hancurnya keindahan alam kerajaan diserahkan kepada kematian sang ayah. Melebur, alam ikut berduka dan tak ingin kembali tumbuh karena harus menahan duka kehilangan langkah kaki sang raja.
***

“Kau mendapatkan sesuatu, Sel? Hari ini, yang menjaga perpustakaan adalah Rendra. Kakak kelas kita yang terkenal pemarah  itu.” Fina membuka lembaran novel berkisah tentang seorang kakek tua yang memiliki tanah ladang gandum luas. Bersama ketiga putranya, dia merawat tanah ladang itu menjadi tabungan gandum emas. Bahkan, harta yang tersimpan dari hasil panen selama sepuluh tahun itu jika dihitung melebihi harga mahkota raja yang Fina simpan selama ini.

“Kau menyukainya?” tanya Selomita.

“Kenapa kau bisa menyimpulkan begitu?” hardik Fina.

“Kau tidak pernah bisa menghapal nama orang secepat itu.Yang kau hapal,” Selomita merentangkan kelima jarinya ke wajah Fina. “Satu, nama ibu panti, dua, nama orang yang tak sengaja menyentuh mahkota baginda raja, ketiga, aku, keempat, laki-laki bejat yang membawamu jauh dari kerajaan, kelima, seseorang yang kau cintai dalam diam selama ini. Bahkan kau melupakan nama ayah dan ibumu, meski mereka ada di catatan sejarah pelajaran sekolah.”

“Mungkin karena mimpi semalam. Aku menjadi orang yang mudah mengingat hari ini. Bahkan di sekolah tadi, aku memanggil guru seni tari dengan namanya.”

“Benarkah?” Selomita melonjak, tersenyum, “aku harap ini kemajuan, kau bisa pelan-pelan, jangan terlalu memusingkan nama-nama orang itu.Aku akan membantu, menyembuhkan ingatan itu.”

Keduanya tertawa lepas. Selomita bercerita bahwa hari ini ada seorang laki-laki yang memberi dia sebuah surat. Dan ternyata, puisi kata-kata manis tertulis di sana. Selomita bukan lah perempuan penggoda. Karena jika ketahuan oleh ibu panti. Siapa yang menjalin hubungan lebih dari teman dengan seorang laki-laki, maka akan diberi gelar penggoda. Belum saatnya, bertukar kasih dengan keturunan Adam dalam usia muda. Ada banyak hal yang diinginkan negeri terpuruk ini dari generasinya.

“Ceritakan mimpimu semalam?” selidik Selomita.

“Mengerikan. Aku dikejar hewan bertaring dan mengeluarkan air liur di sela-sela gigi-gigi tajamnya. Matanya merah,” jawab Fina yang masih membuka lembaran gambar-gambar rumah serta ladang gandum novel yang dibawa Selomita.

“Itu serigala atau anjing?” telisik Selomita.

“Aku lupa perbedaan kedua hewan itu. Bukankah sama?”

Selomita membuka catatan buku harian mereka berdua. Kembali mengingatkan sahabatnya untuk memilih salah satu gambar hewan di lembar catatan. “Pilih, yang mana?” desak Selomita.

Fina berpikir kembali. Mencoba kembali kealam mimpinya tadi malam. Hewan itu jelas-jelas ada di hadapannya. Menatapnya tajam, penuh dendam. “Yang ini.” Telunjuk Fina mengarah ke gambar yang ditempel di sudut atas kertas. Kecil tapi terlihat bentuknya.

“Ini serigala. Ayo lihat apa artinya,” ajak Selomita. Membuka buku tebal. Setiap anak memiliki buku tersebut. Untuk jaga-jaga, karena mimpi yang mereka punya memiliki garis takdir. Apapun sosok yang datang kealam mimpi harus dicatat lalu dicari artinya. Misal; lentera yang hidup di kegelapan. Itu berarti baik.

“Seekor hewan yang buas, berburu dan hidup berkelompok,” gumam Selomita, “makanan mereka daging, di sini diceritakan mereka suka menculik bayi-bayi yang baru saja dilahirkan. Dulu ada desa yang selalu memberikan tumbal bayi kepada para kawanan serigala liar di hutan. Bermaksud untuk meminta perlindungan dari kawanan hewan-hewan pemakan buah dan sayuran. Mereka mengira, serigala adalah hewan jelmaan penduduk neraka.”

Fina semakin mengeratkan genggaman jemarinya pada buku. Dia bermimpi bertemu serigala setelah mengamuk karena ada beberapa anak kelas lain yang membicarakan kejelekan sang raja. Dia memang belum bisa mengingat nama ayahnya. Bahkan setelah mendapat pelajaran sejarah tentang kerajaan, Fina tiba-tiba merasakan sakit teramat di kepala bagian kanan belakang telinga.

“Gimana?Mau diteruskan?Pucat mukamu,” saran Selomita.
“Langsung ke jawabannya saja,” gidik Fina.
“Baiklah, tapi ini harus kubacakan. Meski aku tahu ini kisah terkenal di kerajaan ini, tapi kau pasti tidak mengingatnya.”

Fina memandang wajah Selomita. Matanya menandakan penasaran, pikirannya mengulang kembali saat serigala itu datang.

“Dulu Baginda Raja, ayahmu, mempunyai seorang kawan baik dari negeri yang jauh. Mereka bertemu di hutan setelah sepuluh tahun tidak berjumpa. Baginda mengajak kawannya itu untuk menginap di istana, awalnya menolak, tapi karena sungkan akhirnya mau.”

“Tibalah malam perjamuan, suasana di istana ramai. Karena ada pesta rakyat di beberapa desa juga. Anak dari Baginda raja, kamu, masih berumur dua tahunan, baru belajar jalan. Saat itu, kamu berjalan mendekati teman ayahmu, dan sesuatu hal terjadi. Tubuh teman sang baginda raja berubah menjadi seekor hewan. Tapi kamu masih saja berjalan ke arahnya dan tersenyum girang. Eh … kamu ingat kejadian ini?” tanya Selomita memotong.

Fina diam, “aku ingat namaku,” bisiknya.

Selomita berdiri lalu mengambil sebuah selimut. Dengan sigap membungkus tubuh kecil Fina dengan dua kain tebal sekaligus. Ini, potongan ingatan yang Fina ingat untuk kedua kalinya setelah pengasingan itu. “Nama panggilanku Mila. Aku dilahirkan tepat saat kerajaan memperoleh kemenangan melawan segerombol pasukan setan dari tanah terlarang.”

Kisah yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Jika benar Fina dilahirkan saat Raja mendapat kemenangan dari pasukan setan, berarti umur Fina bukan belasan tahun. “Apa maksudmu, Fina? Kau bukanlah mayat yang dihidupkan kembali, kan?”

Suasana kamar semakin mencekam.Ingatan Mila atau nama panjangnya Melamila berkumpul menjadi satu puzzle utuh. Dia ingat saat tubuhnya diletakkan di sebuah batu besar dan orang-orang berpakaian aneh mengelilinginya. Dia ingat melihat darah menggenang, menetes dari bahu bagian kanan. Dia mengingat saat orang tuanya kesakitan atas perlakuan kedua tangannya sendiri. Dia ingat lelaki yang membawanya jauh dan meninggalkan istana.

“Aku lah penghancur kerajaan ini. Aku dihidupkan kembali tapi tanah ini harus mati.”


Notes: belajar genre
Picture by google "Etsy"
Klaten, di suatu sudut ruang.