Pernah
melihat sosok hantu yang berujud lengkap? Berdiri di depanmu, melihat ke arah
mata, ia melotot, terdiam di sana, dan ia adalah sosok yang pernah kau lihat,
mati. Tubuhnya terbalut kain kafan putih, tegak berdiri, sama seperti
berdirinya gerakan sholat, tangannya tepat di atas dada, terikat tali putih,
bercak tanah merah menodai kain yang seputih tulang itu.
====================
Dua tahun
lalu, Nenek meninggal tanpa sebab. Ada yang bilang, Nenek menjadi tumbal oleh
salah satu anggota keluarga yang mempunyai pesugihan. Aku ingin tidak percaya,
keluarga besarku memang kaya. Rumah, tanah, sawah dan beberapa toko adalah
bukti bahwa kami banyak harta sejak dulu. Buat apa pesugihan? Jika tanpa mereka
pun, kita bisa kaya.
“Ada orang
meninggal, Nduk,” ucap Ibu yang baru saja turun dari mobil.
“Siapa, Bu?”
Ibu menutup
pagar halaman dan menguncinya. Membuka pintu garasi dan menyalakan lampu teras
rumah.
“Itu,
anaknya Pak Wibowo, meninggal karena kecelakaan tadi shubuh,” penjelasan Ibu
membuatku merinding.
Aku kenal
anaknya pak Wibowo, kakak kelasku di sekolah. Orangnya alim dan tidak banyak
tingkah. Kecelakaan? Entah, sudah tiga kali ini dalam satu bulan, banyak orang
meninggal di desaku, dan penyebabnya sama, kecelakaan di jalan.
“Emang,
kecelakaan dimana, Bu?” tanyaku penasaran.
“Ayo, masuk
dulu. Nanti dia denger, Ibu takut kalau ada apa-apa.”
Ibu menarikku
untuk masuk ke rumah, hari sudah senja. Keadaan desa semakin sunyi. Desus
pencarian tumbal oleh seseorang yang mempunyai pesugihan masih menjadi misteri.
Konon, mereka bertiga yang meninggal karena kecelakaan itu, mati di tempat yang
sama. Pertigaan utara desa, yang dijaga oleh sosok yang tak nyata.
Mungkin
benar jika isu pesugihan itu berkeliaran, buktinya desa ini sunyi setelah azan
maghrib berkumandang. Senyap, tidak ada anak kecil yang berani bermain di luar
halaman. Pernah ada yang bilang, pesugihan itu berbentuk pocong dan
terikat tali, tubuh mayat yang terbalut kain kafan putih. Semua orang
membicarakannya, tapi tak satu pun dari mereka yang pernah melihatnya. Kecuali
mereka yang pernah kecelakaan di tempat angker itu, rumah bagi si pesugihan.
“Tadi malam,
di samping kamarku, aku mendengar ada seseorang yang lompatan bolak-balik,
tepat di samping jendela. Mau nya ngintip dari celah jendela tapi aku kabur
duluan, udah nyium bau itu sih,” bisik salah satu siswa di kantin.
Di sekolah
pun, semua siswa membicarakan hal yang sama. Isu-isu tak jelas semakin
membuatku ketakutan, bahkan kegiatan sekolah hanya boleh diadakan sampai jam
empat sore.
“Kemarin,
Mbahku melihat sosok pesugihan itu,” celetuk teman sebangku.
“Bagaimana
rupanya?” tanyaku penasaran.
“Laki-laki,
tinggi dan bermuka hitam,” jawabnya.
Semakin
merinding aku mendengar penjelasannya. Bagaimana tidak? Setiap hari aku harus
melewati jalan yang dianggap rumah oleh pesugihan itu. Jika melewati pertigaan
itu, aku mencium bau aneh. Entah bau kembang atau sekedar bau yang tak sedap.
Dan anehnya, setiap hari pasti ada sebaran bunga mawar di jalan itu.
Bukankah ini syirik?
Hari minggu
ini sangat sepi, ba’da shubuh biasanya akan ada kajian di Mushola Ar Rahman.
Tapi sampai jam enam pagi, tidak ada satupun orang di sini. Mushola ini
terletak di pinggir desa, jauh dari keramaian. Memang hebat, efek dari desus
yang beredar, bahkan sampai para jama’ah enggan pergi ke mushola.
“Pagi-pagi sudah
di sini, La?” tanya kawan.
“Aku ingin
ikut kajian ba’da shubuh tadi, tapi kenapa sepi, Rum?” tanyaku balik.
Rumi
menarikku pergi dari halaman mushola. Dia memintaku untuk naik sepeda motor
yang ia bawa. Raut wajahnya sedikit ketakutan.
“Kamu tahu
gak, La, kenapa mushola jadi sepi?”
“Gak tahu,
Rum, aku sudah lama tidak sholat di mushola,” jawabku.
“Kemarin
malam, pesugihan itu mondar-mandir di halaman masjid. Sekitar jam satu pagi,
kata orang, itu karena lampu mushola dihidupkan. Jadi setelah kejadian itu,
semua warga desa tidak menyalakan lampu, dan para bapak melakukan ronda di
rumah mereka masing-masing.”
Ya Tuhan,
apa sosok yang bernama pocong itu sangat menakutkan? Dia kan hanya setan, yang
Allah derajatnya lebih rendah dari manusia, bukan untuk di takuti tapi di
lawan. Jika benar pocong itu mampu membunuh orang, apa bedanya dengan manusia?
Aku melihat
Ibu merapikan beberapa lembar pakaian, terlipat rapi dan di masukkan ke dalam
tas besar. Sepertinya Ibu sedikit terburu-buru, baju tidur masih terpasang
dibadannya.
“Ibu, mau
pergi?” tanyaku setelah Rumi mengantarkan sampai rumah.
“Kakek
sakit, Nduk, Ibu harus ke sana untuk jenguk, kamu mau ikut?”
“Aku
siap-siap sebentar,” ucapku sambil berlari ke kamar sebelah.
Kakek memang
sakit sudah lama, hampir setahun ini Beliau sakit tua yang tak kunjung reda.
Hampir setiap minggu check up ke Dokter, mengganti perban yang melilit kaki
kanannya.
“Apa Kakek
akan di opname, Bu?”
“Ibu tidak
tahu, Nduk, tadi Bulek memberitahu kalau keadaan Kakek gak baik,” jawab Ibu.
Mobil melaju
dengan kecepatan tinggi, melewati rumah si pesugihan yang nampak kosong tak
bertuan.
Tubuh Kakek
hanya bisa terbaring, jarum infus menemani di titik nadinya. Semua keluarga
berkumpul, kecuali Paman yang masih dalam perjalanan dari Surabaya. Rumah Kakek
memang terkesan seram, lukisan dan berbagai barang Jawa ada di rumah ini.
“Nduk …
tolong ambilkan baju Kakek yang ada di lemari kamar paling pojok, lemari yang
berwarna coklat tua,” pinta Budhe.
“Tapi …,”
tolakku
“Sudah cepat!
Kakek tidak boleh memakai baju yang lain kecuali dari lemari itu.”
Aku bingung,
bukannya semua baju sama. Entah di simpan dalam lemari manapun.
Kamar Kakek
seperti tidak diurus, banyak debu dan terasa janggal. Aku tidak pernah memasuki
kamar ini selama aku hidup, tidak boleh.
“Lemari
warna coklat tua,” gumamku
Banyak
lemari di sini, hampir ada empat, dan warnanya coklat semua. Lampu kamar mati,
dan cahaya tidak cukup untuk membedakan mana yang lemari berwarna coklat tua.
“Mungkin
ini,” gumamku lagi
Aku membuka
lemari tua berwarna coklat ini, bulu kudukku berdiri, tertangkap di indera
pendengaran bunyi-bunyi yang aneh, bisikan. Bau tak sedap mulai merasuk hidung,
menuntutku untuk menahan napas.
Mata mulai
menangkap benda yang tersimpan di lemari tua ini. Sisi kanan, yang di tutup
oleh kain putih. Aku merasa penasaran, di satu sisi lemari berisi tumpukan
benda kuno milik Kakek. Dan di sisi satunya tertutup kain penghalang ini.
Aku
memberanikan diri, rasa penasaran penuh menguasai. Jemariku gemetar, bibirku
mengucap tujuh ayat Al Fatihah, spontan saat aku merasa ketakutan.
Tabir
terungkap, sosok putih tepat berada di depanku, matanya terbuka, wajah hitam
dan penuh tanah. Terbalut kain kafan, dia memandangku dalam diam, tubuhku tidak
mau pergi, sama dengan dirinya, diam dan saling memandang.
Sosok yang
tinggi, apakah dia hidup? Aku memberanikan jemari untuk menyentuh. Semua tali
yang melingkar di tubuhnya masih rapi, hanya noda tanah merah yang menghiasi
kain yang menutup jasadnya. Aku pandang dalam diam wajahnya, matanya terbuka
tapi mati, tak ada sinar kehidupan.
Aku mengenal
wajah ini, lima tahun lalu saat terakhir sosok itu pergi. Sama, tak ada yang
berbeda dengan wajah yang aku lihat sekarang. Meskipun, wajah yang aku lihat
ternoda hitam. Aku mengumpulkan momen itu kembali, di saat terakhir kali aku
melihatnya dalam liang lahat.
“Bapak,”
lirihku.
Purwokerto,
08 Mei 2016