Fina menari-nari, setelah
sekian lama tangan dan kakinya terkunci oleh ikatan posesif seorang
laki-laki. Dia menyukainya, lambaian tangan ke udara, saat kepala memutar, kaki
mengayun, terangkat, kembali lagi menapak tanah. Mengurai tali-tali yang erat
mengekangnya selama ini. Hal pasti yang akan dia lakukan setelah hari bebasnya
ini adalah berlari. Sekencang mungkin, melihat sinar mentari yang selama ini
hanya bisa dia lihat dari lubang kecil kamar pribadinya. Bahkan, rembulan tidak
pernah menyapa matanya selama bertahun-tahun. Dia ingat, saat terakhir kali
menatap sebuah pemandangan cantik langit malam. Bertabur kerlipan batu-batu
bercahaya. Diterangi sinar benderang, awan nampak putih pucat tapi berayun. Malam
itu adalah malam terakhir dia mendekap hangat pelukan sang ibu. Setelah itu,
dingin. Kaki-kaki kecilnya terangkat.Menjauh dari tubuh sang ibu yang
berlumuran darah. Bahkan jeritan meronta dari bibir pucat ayah masih dia rekam
sampai saat ini. Malam itu, pembunuhan dan segala drama keluarga menyimpan
rahasia.Berujung pada satu kata; misteri.
***
“Kau gadis mana?”
Lamunan tentang masa kelamnya
terhenti. Semalam, mimpi-mimpi buruk itu menyapa lagi. Seperti ular yang datang
dan melilit tubuhnya.Atau seekor anjing mengejar. Bahkan ada satu dua pisau
terlempar dan mengenai tubuhnya. Semua scene itu berputar seperti video usang
yang tak berhenti jika saja dia tidak dibangunkan oleh sahabat baiknya.
“Aku Fina, anak lantai tiga,
kamar nomor dua ratus empat. Apa waktu berkunjung sudah habis?”
“Kembalilah ke kamarmu. Langit
sebentar lagi menutup, malam akan menakutkan jika kau sendirian di
perpustakaan.”
“Aku rasa tidak.”
“Kau bilang apa?” Rendra
mengamati gerik mimik lawan bicara. Dingin. Seakan pikirannya takada di
sini. “Jangan bilang kau ingin mencuri buku bacaan di sini.Jika ada buku hilang,
aku harus membayar separuh harga barang.”
“Aku ingin melihat bintang,”
celetuk Fina.
“Di tanah ini, bintang sudah
lama jatuh, hancur, bersama runtuhnya tembok kerajaan sang Baginda raja.”
Fina mengerti kalimat terakhir
yang diucapkan oleh penjaga perpustakaan itu.Wajahnya berubah merah. Menahan
amarah, seakan semua dosa, hancurnya keindahan alam kerajaan diserahkan kepada
kematian sang ayah. Melebur, alam ikut berduka dan tak ingin kembali tumbuh karena
harus menahan duka kehilangan langkah kaki sang raja.
***
“Kau mendapatkan sesuatu,
Sel? Hari ini, yang menjaga perpustakaan adalah Rendra. Kakak kelas kita yang
terkenal pemarah itu.” Fina membuka lembaran novel berkisah tentang
seorang kakek tua yang memiliki tanah ladang gandum luas. Bersama ketiga
putranya, dia merawat tanah ladang itu menjadi tabungan gandum emas. Bahkan,
harta yang tersimpan dari hasil panen selama sepuluh tahun itu jika dihitung
melebihi harga mahkota raja yang Fina simpan selama ini.
“Kau menyukainya?” tanya
Selomita.
“Kenapa kau bisa menyimpulkan
begitu?” hardik Fina.
“Kau tidak pernah bisa
menghapal nama orang secepat itu.Yang kau hapal,” Selomita merentangkan kelima
jarinya ke wajah Fina. “Satu, nama ibu panti, dua, nama orang yang tak sengaja
menyentuh mahkota baginda raja, ketiga, aku, keempat, laki-laki bejat yang
membawamu jauh dari kerajaan, kelima, seseorang yang kau cintai dalam diam
selama ini. Bahkan kau melupakan nama ayah dan ibumu, meski mereka ada di catatan
sejarah pelajaran sekolah.”
“Mungkin karena mimpi
semalam. Aku menjadi orang yang mudah mengingat hari ini. Bahkan di sekolah tadi,
aku memanggil guru seni tari dengan namanya.”
“Benarkah?” Selomita melonjak,
tersenyum, “aku harap ini kemajuan, kau bisa pelan-pelan, jangan terlalu
memusingkan nama-nama orang itu.Aku akan membantu, menyembuhkan ingatan itu.”
Keduanya tertawa lepas.
Selomita bercerita bahwa hari ini ada seorang laki-laki yang memberi dia sebuah
surat. Dan ternyata, puisi kata-kata manis tertulis di sana. Selomita bukan lah
perempuan penggoda. Karena jika ketahuan oleh ibu panti. Siapa yang menjalin
hubungan lebih dari teman dengan seorang laki-laki, maka akan diberi gelar
penggoda. Belum saatnya, bertukar kasih dengan keturunan Adam dalam usia muda.
Ada banyak hal yang diinginkan negeri terpuruk ini dari generasinya.
“Ceritakan mimpimu semalam?”
selidik Selomita.
“Mengerikan. Aku dikejar hewan
bertaring dan mengeluarkan air liur di sela-sela gigi-gigi tajamnya. Matanya
merah,” jawab Fina yang masih membuka lembaran gambar-gambar rumah serta ladang
gandum novel yang dibawa Selomita.
“Itu serigala atau anjing?”
telisik Selomita.
“Aku lupa perbedaan kedua hewan
itu. Bukankah sama?”
Selomita membuka catatan buku
harian mereka berdua. Kembali mengingatkan sahabatnya untuk memilih salah satu
gambar hewan di lembar catatan. “Pilih, yang mana?” desak Selomita.
Fina berpikir kembali. Mencoba
kembali kealam mimpinya tadi malam. Hewan itu jelas-jelas ada di
hadapannya. Menatapnya tajam, penuh dendam. “Yang ini.” Telunjuk Fina mengarah ke
gambar yang ditempel di sudut atas kertas. Kecil tapi terlihat bentuknya.
“Ini serigala. Ayo lihat apa
artinya,” ajak Selomita. Membuka buku tebal. Setiap anak memiliki buku
tersebut. Untuk jaga-jaga, karena mimpi yang mereka punya memiliki garis
takdir. Apapun sosok yang datang kealam mimpi harus dicatat lalu dicari
artinya. Misal; lentera yang hidup di kegelapan. Itu berarti baik.
“Seekor hewan yang buas,
berburu dan hidup berkelompok,” gumam Selomita, “makanan mereka daging, di sini
diceritakan mereka suka menculik bayi-bayi yang baru saja dilahirkan. Dulu ada
desa yang selalu memberikan tumbal bayi kepada para kawanan serigala liar di
hutan. Bermaksud untuk meminta perlindungan dari kawanan hewan-hewan pemakan
buah dan sayuran. Mereka mengira, serigala adalah hewan jelmaan penduduk
neraka.”
Fina semakin mengeratkan
genggaman jemarinya pada buku. Dia bermimpi bertemu serigala setelah mengamuk
karena ada beberapa anak kelas lain yang membicarakan kejelekan sang raja. Dia
memang belum bisa mengingat nama ayahnya. Bahkan setelah mendapat pelajaran
sejarah tentang kerajaan, Fina tiba-tiba merasakan sakit teramat di kepala
bagian kanan belakang telinga.
“Gimana?Mau diteruskan?Pucat
mukamu,” saran Selomita.
“Baiklah, tapi ini harus
kubacakan. Meski aku tahu ini kisah terkenal di kerajaan ini, tapi kau pasti
tidak mengingatnya.”
Fina memandang wajah
Selomita. Matanya menandakan penasaran, pikirannya mengulang kembali saat
serigala itu datang.
“Dulu Baginda Raja, ayahmu,
mempunyai seorang kawan baik dari negeri yang jauh. Mereka bertemu di hutan
setelah sepuluh tahun tidak berjumpa. Baginda mengajak kawannya itu untuk
menginap di istana, awalnya menolak, tapi karena sungkan akhirnya mau.”
“Tibalah malam perjamuan,
suasana di istana ramai. Karena ada pesta rakyat di beberapa desa juga. Anak dari
Baginda raja, kamu, masih berumur dua tahunan, baru belajar jalan. Saat itu,
kamu berjalan mendekati teman ayahmu, dan sesuatu hal terjadi. Tubuh teman sang
baginda raja berubah menjadi seekor hewan. Tapi kamu masih saja berjalan ke
arahnya dan tersenyum girang. Eh … kamu ingat kejadian ini?” tanya Selomita
memotong.
Fina diam, “aku ingat namaku,”
bisiknya.
Selomita berdiri lalu mengambil
sebuah selimut. Dengan sigap membungkus tubuh kecil Fina dengan dua kain tebal
sekaligus. Ini, potongan ingatan yang Fina ingat untuk kedua kalinya setelah
pengasingan itu. “Nama panggilanku Mila. Aku dilahirkan tepat saat kerajaan
memperoleh kemenangan melawan segerombol pasukan setan dari tanah terlarang.”
Kisah yang tidak pernah ditulis
dalam sejarah. Jika benar Fina dilahirkan saat Raja mendapat kemenangan dari
pasukan setan, berarti umur Fina bukan belasan tahun. “Apa maksudmu, Fina? Kau
bukanlah mayat yang dihidupkan kembali, kan?”
Suasana kamar semakin
mencekam.Ingatan Mila atau nama panjangnya Melamila berkumpul menjadi satu
puzzle utuh. Dia ingat saat tubuhnya diletakkan di sebuah batu besar dan
orang-orang berpakaian aneh mengelilinginya. Dia ingat melihat darah menggenang,
menetes dari bahu bagian kanan. Dia mengingat saat orang tuanya kesakitan atas
perlakuan kedua tangannya sendiri. Dia ingat lelaki yang membawanya jauh dan
meninggalkan istana.
“Aku lah penghancur kerajaan
ini. Aku dihidupkan kembali tapi tanah ini harus mati.”
Notes: belajar genre
Picture by google "Etsy"
Klaten, di suatu sudut ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar