Powered By Blogger

Rabu, 24 Mei 2017

TANAH YANG MENGUBUR KEMATIAN







Fina menari-nari, setelah sekian lama tangan dan kakinya terkunci oleh ikatan posesif seorang laki-laki. Dia menyukainya, lambaian tangan ke udara, saat kepala memutar, kaki mengayun, terangkat, kembali lagi menapak tanah. Mengurai tali-tali yang erat mengekangnya selama ini. Hal pasti yang akan dia lakukan setelah hari bebasnya ini adalah berlari. Sekencang mungkin, melihat sinar mentari yang selama ini hanya bisa dia lihat dari lubang kecil kamar pribadinya. Bahkan, rembulan tidak pernah menyapa matanya selama bertahun-tahun. Dia ingat, saat terakhir kali menatap sebuah pemandangan cantik langit malam. Bertabur kerlipan batu-batu bercahaya. Diterangi sinar benderang, awan nampak putih pucat tapi berayun. Malam itu adalah malam terakhir dia mendekap hangat pelukan sang ibu. Setelah itu, dingin. Kaki-kaki kecilnya terangkat.Menjauh dari tubuh sang ibu yang berlumuran darah. Bahkan jeritan meronta dari bibir pucat ayah masih dia rekam sampai saat ini. Malam itu, pembunuhan dan segala drama keluarga menyimpan rahasia.Berujung pada satu kata; misteri.
***
“Kau gadis mana?”

Lamunan tentang masa kelamnya terhenti. Semalam, mimpi-mimpi buruk itu menyapa lagi. Seperti ular yang datang dan melilit tubuhnya.Atau seekor anjing mengejar. Bahkan ada satu dua pisau terlempar dan mengenai tubuhnya. Semua scene itu berputar seperti video usang yang tak berhenti jika saja dia tidak dibangunkan oleh sahabat baiknya.

“Aku Fina, anak lantai tiga, kamar nomor dua ratus empat. Apa waktu berkunjung sudah habis?”

“Kembalilah ke kamarmu. Langit sebentar lagi menutup, malam akan menakutkan jika kau sendirian di perpustakaan.”

“Aku rasa tidak.”

“Kau bilang apa?” Rendra mengamati gerik mimik lawan bicara. Dingin. Seakan pikirannya takada di sini. “Jangan bilang kau ingin mencuri buku bacaan di sini.Jika ada buku hilang, aku harus membayar separuh harga barang.”

“Aku ingin melihat bintang,” celetuk Fina.

“Di tanah ini, bintang sudah lama jatuh, hancur, bersama runtuhnya tembok kerajaan sang Baginda raja.”

Fina mengerti kalimat terakhir yang diucapkan oleh penjaga perpustakaan itu.Wajahnya berubah merah. Menahan amarah, seakan semua dosa, hancurnya keindahan alam kerajaan diserahkan kepada kematian sang ayah. Melebur, alam ikut berduka dan tak ingin kembali tumbuh karena harus menahan duka kehilangan langkah kaki sang raja.
***

“Kau mendapatkan sesuatu, Sel? Hari ini, yang menjaga perpustakaan adalah Rendra. Kakak kelas kita yang terkenal pemarah  itu.” Fina membuka lembaran novel berkisah tentang seorang kakek tua yang memiliki tanah ladang gandum luas. Bersama ketiga putranya, dia merawat tanah ladang itu menjadi tabungan gandum emas. Bahkan, harta yang tersimpan dari hasil panen selama sepuluh tahun itu jika dihitung melebihi harga mahkota raja yang Fina simpan selama ini.

“Kau menyukainya?” tanya Selomita.

“Kenapa kau bisa menyimpulkan begitu?” hardik Fina.

“Kau tidak pernah bisa menghapal nama orang secepat itu.Yang kau hapal,” Selomita merentangkan kelima jarinya ke wajah Fina. “Satu, nama ibu panti, dua, nama orang yang tak sengaja menyentuh mahkota baginda raja, ketiga, aku, keempat, laki-laki bejat yang membawamu jauh dari kerajaan, kelima, seseorang yang kau cintai dalam diam selama ini. Bahkan kau melupakan nama ayah dan ibumu, meski mereka ada di catatan sejarah pelajaran sekolah.”

“Mungkin karena mimpi semalam. Aku menjadi orang yang mudah mengingat hari ini. Bahkan di sekolah tadi, aku memanggil guru seni tari dengan namanya.”

“Benarkah?” Selomita melonjak, tersenyum, “aku harap ini kemajuan, kau bisa pelan-pelan, jangan terlalu memusingkan nama-nama orang itu.Aku akan membantu, menyembuhkan ingatan itu.”

Keduanya tertawa lepas. Selomita bercerita bahwa hari ini ada seorang laki-laki yang memberi dia sebuah surat. Dan ternyata, puisi kata-kata manis tertulis di sana. Selomita bukan lah perempuan penggoda. Karena jika ketahuan oleh ibu panti. Siapa yang menjalin hubungan lebih dari teman dengan seorang laki-laki, maka akan diberi gelar penggoda. Belum saatnya, bertukar kasih dengan keturunan Adam dalam usia muda. Ada banyak hal yang diinginkan negeri terpuruk ini dari generasinya.

“Ceritakan mimpimu semalam?” selidik Selomita.

“Mengerikan. Aku dikejar hewan bertaring dan mengeluarkan air liur di sela-sela gigi-gigi tajamnya. Matanya merah,” jawab Fina yang masih membuka lembaran gambar-gambar rumah serta ladang gandum novel yang dibawa Selomita.

“Itu serigala atau anjing?” telisik Selomita.

“Aku lupa perbedaan kedua hewan itu. Bukankah sama?”

Selomita membuka catatan buku harian mereka berdua. Kembali mengingatkan sahabatnya untuk memilih salah satu gambar hewan di lembar catatan. “Pilih, yang mana?” desak Selomita.

Fina berpikir kembali. Mencoba kembali kealam mimpinya tadi malam. Hewan itu jelas-jelas ada di hadapannya. Menatapnya tajam, penuh dendam. “Yang ini.” Telunjuk Fina mengarah ke gambar yang ditempel di sudut atas kertas. Kecil tapi terlihat bentuknya.

“Ini serigala. Ayo lihat apa artinya,” ajak Selomita. Membuka buku tebal. Setiap anak memiliki buku tersebut. Untuk jaga-jaga, karena mimpi yang mereka punya memiliki garis takdir. Apapun sosok yang datang kealam mimpi harus dicatat lalu dicari artinya. Misal; lentera yang hidup di kegelapan. Itu berarti baik.

“Seekor hewan yang buas, berburu dan hidup berkelompok,” gumam Selomita, “makanan mereka daging, di sini diceritakan mereka suka menculik bayi-bayi yang baru saja dilahirkan. Dulu ada desa yang selalu memberikan tumbal bayi kepada para kawanan serigala liar di hutan. Bermaksud untuk meminta perlindungan dari kawanan hewan-hewan pemakan buah dan sayuran. Mereka mengira, serigala adalah hewan jelmaan penduduk neraka.”

Fina semakin mengeratkan genggaman jemarinya pada buku. Dia bermimpi bertemu serigala setelah mengamuk karena ada beberapa anak kelas lain yang membicarakan kejelekan sang raja. Dia memang belum bisa mengingat nama ayahnya. Bahkan setelah mendapat pelajaran sejarah tentang kerajaan, Fina tiba-tiba merasakan sakit teramat di kepala bagian kanan belakang telinga.

“Gimana?Mau diteruskan?Pucat mukamu,” saran Selomita.
“Langsung ke jawabannya saja,” gidik Fina.
“Baiklah, tapi ini harus kubacakan. Meski aku tahu ini kisah terkenal di kerajaan ini, tapi kau pasti tidak mengingatnya.”

Fina memandang wajah Selomita. Matanya menandakan penasaran, pikirannya mengulang kembali saat serigala itu datang.

“Dulu Baginda Raja, ayahmu, mempunyai seorang kawan baik dari negeri yang jauh. Mereka bertemu di hutan setelah sepuluh tahun tidak berjumpa. Baginda mengajak kawannya itu untuk menginap di istana, awalnya menolak, tapi karena sungkan akhirnya mau.”

“Tibalah malam perjamuan, suasana di istana ramai. Karena ada pesta rakyat di beberapa desa juga. Anak dari Baginda raja, kamu, masih berumur dua tahunan, baru belajar jalan. Saat itu, kamu berjalan mendekati teman ayahmu, dan sesuatu hal terjadi. Tubuh teman sang baginda raja berubah menjadi seekor hewan. Tapi kamu masih saja berjalan ke arahnya dan tersenyum girang. Eh … kamu ingat kejadian ini?” tanya Selomita memotong.

Fina diam, “aku ingat namaku,” bisiknya.

Selomita berdiri lalu mengambil sebuah selimut. Dengan sigap membungkus tubuh kecil Fina dengan dua kain tebal sekaligus. Ini, potongan ingatan yang Fina ingat untuk kedua kalinya setelah pengasingan itu. “Nama panggilanku Mila. Aku dilahirkan tepat saat kerajaan memperoleh kemenangan melawan segerombol pasukan setan dari tanah terlarang.”

Kisah yang tidak pernah ditulis dalam sejarah. Jika benar Fina dilahirkan saat Raja mendapat kemenangan dari pasukan setan, berarti umur Fina bukan belasan tahun. “Apa maksudmu, Fina? Kau bukanlah mayat yang dihidupkan kembali, kan?”

Suasana kamar semakin mencekam.Ingatan Mila atau nama panjangnya Melamila berkumpul menjadi satu puzzle utuh. Dia ingat saat tubuhnya diletakkan di sebuah batu besar dan orang-orang berpakaian aneh mengelilinginya. Dia ingat melihat darah menggenang, menetes dari bahu bagian kanan. Dia mengingat saat orang tuanya kesakitan atas perlakuan kedua tangannya sendiri. Dia ingat lelaki yang membawanya jauh dan meninggalkan istana.

“Aku lah penghancur kerajaan ini. Aku dihidupkan kembali tapi tanah ini harus mati.”


Notes: belajar genre
Picture by google "Etsy"
Klaten, di suatu sudut ruang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar