Powered By Blogger

Kamis, 20 Juli 2017

AIR MATA ROSULULLOH












Diriwayatkan dari Anas ra,” Rosululloh SAW bersabda, tidaklah seorang muslim, saat kematian tiga anaknya yang belum baligh, kecuali Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayang-Nya kepada anak-anaknya tersebut.” (H.R. Bukhori Muslim)
                                                               ***
Anak adalah titipan. Mereka juga bukti  kasih sayang Allah untuk hamba-Nya. Anak juga merupakan sebuah ujian. Yang kelak akan menjadi tanggungan di hari perhitungan nanti. Kehilangan bukanlah hal yang diinginkan dari setiap makhluk yang bernama manusia. Allah sudah menetapkan takdir setiap hamba yang Dia kehendaki. Semua sudah tercatat sempurna di Lauhul Mahfudz.
Wajah Parjiyem terlihat sayu, tetesan air matanya sudah tidak terhitung lagi.Tidak terisak, diam menatap sebujur tubuh kaku yang terbaring di atas meja.Orang-orang yang berada di ruangan itu melafalkan ayat-ayat Yasin, mereka saling menunduk terdiam. Sedangkan yang lain sibuk merenda hiasan untuk rumah terakhir anak Parjiyem, bayi yang belum genap satu tahun itu.
Para tetangga tahu, mereka tidak bisa berbuat apapun.Bahkan menghibur.Mereka datang, duduk disamping Parjiyem dan mengulas senyum.Ada yang menangis terisak, tidak tega dengan takdir yang menimpa tetangga baik mereka.Kehilangan putra untuk yang ketiga kalinya.
“Sabar ya, Par.Aku ora isoh ngomong opo-opo. Sabar … Lek Par,” ucap seorang pelayat yang sedang memeluk Parjiyem.
Terkulai duduk lemas menatap tubuh kaku putra keempatnya.Matanya kosong, bibirnya terkunci.Sapaan takziah dari para pelayat pun dia abaikan.
Sedangkan sang suami terlihat tegar, dari luar. Batinnya juga tersayat perih. Mengalami ujian yang sama untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok buah hati yang kelak bisa ia pandang di masa depan. Supadi sibuk menyalami pelayat pria. Dan terkadang berjalan kesana kemari, menengok sang istri yang terlihat tak berdaya.
“Gusti Allah pengen kowe mulyo ning surgo, Padi,” ujar salah satu pelayat yang sedang memeluk Supadi erat, ”InshaAllah, mereka sudah meminta rumah kepada Allah untuk kalian.”
Supadi hanya menjawab dengan senyuman.Tidak bisa berkata apapun lagi.Goresan luka yang dia rasakan sebagai seorang suami sekaligus ayah bagi keempat putranya semakin menganga. Putra pertama, gadis kecil yang saat itu baru memasuki umur lima tahun, meninggal karena demam tinggi. Putra kedua, yang masih tersimpan aman di dalam kandungan, telah diminta oleh Pemiliknya sebelum dilahirkan. Putra keempat, bayi yang belum dikuburkan, meninggal dalam usia yang belum genap satu tahun, lahir saat Ramadhan dan meninggal sepuluh hari sebelum satu Syawal.
Tangis dan duka mereka, tercatat sebagai penghilang rasa panas saat hari kiamat nanti.Tinggalah putra keempat mereka, Slamet Rahayu.Yang Allah titipkan kepada Supadi dan Parjiyem. Sebagai pelipur lara dalam mengarungi kehidupan.
***
“Ini dibaca apa, Le?”
Tanya Parjiyem sedikit membentak saat mengajari Slamet belajar membaca.Slamet sudah kelas tiga sekolah dasar.Tapi belum mampu membaca ataupun menulis.Entah, orang tuanya juga bingung.Saat Taman Kanak-kanak, Slamet terlihat biasa dan normal.Tapi setelah memasuki bangku sekolah dasar, tidak ada satupun pelajaran yang dia ingat.Membaca angka pun, Slamet tidak bisa.
Sulit untuk menjelaskan keadaan yang terjadi pada Slamet.Kedua orang tuanya bukanlah orang yang mengeyam pendidikan tinggi. Sebatas Sekolah Dasar, niat mengarungi kehidupan berkeluarga untuk mencari keberkahan. Mendidik anak semata wayang, menjadi penghibur saat usia senja.

Hingga Slamet duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Tidak ada satupun kata yang bisa ia rangkai di atas kertas. Sang Guru memindahkan Slamet ke kelas yang lebih tinggi, hanya karena rasa segan dan kasihan. Takut membayangkan cemoohan para tetangga atas apa yang dialami oleh buah hati Supadi dan Parjiyem.Ketidak mampuan dalam mengikuti pelajaran, adalah bukti kegagalan dari didikan orang tua.
“Gimana kamu besar nanti, Le, kalau nulis sama baca saja tidak bisa!”Supadi sudah hilang kesabaran dalam menghadapi kekurangan anak semata wayangnya. Bahkan untuk meniru tulisan yang ada di lembaran buku tugas sekolah saja, Slamet sama sekali tidak mampu.
Slamet hanya diam, dia tahu sang ayah marah. Tapi entah, setiap kali sang ayah emosi, Slamet sama sekali tidak berani menatap wajah sang pelindungnya. Dia memilih untuk menunduk, sama sekali tidak tahu, kenapa harus pintar membaca dan menulis. Dalam dunianya, dunia suka bermain. Menghabiskan waktu dengan sepeda atau bermain dengan anak-anak yang lain.
Seluruh keluarga besar dikumpulkan, membahas nasib cucu laki-laki satu-satunya dalam keturunan mereka.Ya, Slamet Rahayu adalah satu-satunya cucu laki-laki di keluarga besar Supadi.Cucu yang sangat diandalkan. Tapi Tuhan mempunyai rencana lain, Slamet berbeda, dia istimewa.
“Aku ingin menyarankan sesuatu, Lek,” ujar sang ponakan, Nanik. Cucu tertua di keluarga mereka.
“Kemarin, aku meminta saran ke semua teman di kampus.Maaf, sebelumnya aku tidak meminta ijin dulu ke keluarga.Ini masalah yang tidak bisa dianggap remeh, Lek.Slamet memiliki keistimewaan. Dia berbeda, dan kita juga harus memiliki cara yang tidak sama dalam mendidiknya.”
Nanik berusaha untuk menjelaskan keadaan putra Supadi ke semua anggota keluarga.Berat, menerima kekurangan salah satu anggota keluarga mereka.
“Jadi, maksudmu, Slamet ini idiot?” tanya salah satu anggota keluarga.
Nanik tidak lantas menjawab, dia tidak sampai hati untuk menyandangkan nama ‘idiot’ kepada adik laki-lakinya.
“Slamet hanya berbeda, dia bukan seperti itu,” jawab Nanik, melihat ke arah sang adik laki-laki semata wayangnya. Yang dari tadi tidak berani mengangkat muka.
“Slamet istimewa, dia adalah hadiah dari Allah untuk melengkapi kesabaran dalam keluarga kita.”
Masalah demi masalah datang tanpa henti, hanya berjarak satu tahun setelah keluarga menerima keadaan Slamet, satu demi satu anggota tertua dalam keluarga Supadi kembali ke pangkuan Illahi. Ayah dari Supadi, meninggal dalam masa tuanya,sedangkan sang mertua perempuan, ibu dari Parjiyem istrinya, juga mendadak pergi untuk selamanya. Inilah ujian yang membuat Parjiyem rubuh, kekuatan yang ia bangun selama ini ikut lebur bersama jasad sang Ibunda.
“Apa salahku, Mas?” tanya sang istri kepada Supadi.
Ujian tanpa henti terus mengikis dinding kesabarannya.Kematian serta kehilangan selalu menjadi nyanyian dalam mengarungi kehidupan mereka.
“Mungkin Allah benar-benar menyayangi kita, Par.” Sang suami berusaha tegar di depan sang istri.
Berusaha sebenarnya, tersenyum disaat kondisi sang istri benar-benar jatuh. Menata kembali pecahan senyuman yang dulu mereka rencanakan saat mengawali mahligai pernikahan. Allah, tidak akan membebani sebuah takdir yang mana akan memberatkan hamba-Nya.
Keluarga mereka, mulai berbenah kembali. Pernikahan selama dua puluh lima tahun, kehilangan tiga buah hati mereka, menerima dengan lapang anak istimewa yang Allah titipkan. Ikhlas dengan kehilangan, mengobati luka di hati dengan berbagi senyuman.Merasakan kuatnya ikatan persaudaraan, menyambung kembali ikatan kebahagiaan dengan sabar. Bahwa selama hidup di dunia, ujian akan selalu datang menerpa. Tidak mengenal waktu atau usia.
Slamet Rahayu sudah terbiasa sekolah di Sekolah Luar Biasa.Sekolah dengan sistem pembelajaran khusus bagi anak-anak yang telah Allah istimewakan.Meskipun jauh, Slamet terbiasa berangkat dan pulang dengan menaiki sepeda. Risau sebenarnya, hati kedua orang tua Slamet jika sang anak berangkat dengan sepeda sendiri. Jaraknya jauh, sekitar sepuluh kilometer.
“Mak, besok aku ikut lomba lari jarak jauh,” cerita Slamet kepada Ibunya.
Setiap anak memiliki keistimewaan yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama, meskipun lahir dari satu rahim. Allah sudah menetapkan, semua terperinci dalam kitab Lauhul Mahfudz-Nya.Tertata, manusia sudah disiapkan skenario hidup terbaik.Allah adalah Sang Sutradara.Takdir mampu diubah, jika manusia juga mau berubah.
“Wah, Slamet sudah SMP sekarang?” tanya Bulek Welas, adik dari Supadi yang baru datang dari Semarang.
“Iyo, lek.” jawab Slamet, “Oh, yo Lek, kemarin aku menang juara lomba lari jarak jauh, ini hadiahnya.”
Slamet menunjukkan sebuah piagam dan kalung yang sangat ia banggakan. Kemenangan pertama dalam hidupnya, bisa memberi rasa bangga untuk ibunda tercinta.Tentu bukan kebanggaan dalam akademik.Mengingat sampai sekarang buah hati mereka tidak mampu melafalkan satu pun huruf yang tertulis di buku.
“Hebat, kamu Le, sini Bulek kasih hadiah.”
Pemberian hadiah untuk sebuah keberhasilan meskipun kecil adalah cara terbaik menunjukkan rasa bangga. Perhatian dan kasih sayang, sangat diperlukan dalam menambal goresan kesedihan yang telah terjadi.Hidup adalah tempatnya ujian.Tapi tali kekeluargaan tetap di utamakan.
“Met, Adzan ….”
Slamet bergegas beranjak dari depan televisi untuk pergi ke masjid. Keistimewaan tidak mengurangi caranya dalam menjemput panggilan Kalam. Ilmu sekolah mungkin tidak akan pernah ia dapatkan, tapi Allah memberi kemudahan dalam mengarungi indahnya meniti keta’atan dalam kekurangan.
Semua anak istimewa. Meskipun ia terlahir dan diberi rupa yang berbeda.
***

Klaten, di kursi penunggu senja 
Pic; by google