Diriwayatkan dari Anas ra,” Rosululloh SAW bersabda,
tidaklah seorang muslim, saat kematian tiga anaknya yang belum baligh, kecuali
Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayang-Nya kepada
anak-anaknya tersebut.” (H.R. Bukhori Muslim)
***
Anak adalah titipan. Mereka juga
bukti kasih sayang Allah untuk
hamba-Nya. Anak juga merupakan sebuah ujian. Yang kelak akan menjadi tanggungan
di hari perhitungan nanti. Kehilangan bukanlah hal yang diinginkan dari setiap makhluk
yang bernama manusia. Allah sudah
menetapkan takdir setiap hamba yang Dia kehendaki. Semua sudah tercatat sempurna di Lauhul Mahfudz.
Wajah Parjiyem terlihat sayu, tetesan
air matanya sudah tidak terhitung lagi.Tidak terisak, diam menatap sebujur tubuh
kaku yang terbaring di atas meja.Orang-orang yang berada di ruangan itu
melafalkan ayat-ayat Yasin, mereka saling menunduk terdiam. Sedangkan yang lain
sibuk merenda hiasan untuk rumah terakhir anak Parjiyem, bayi yang belum genap
satu tahun itu.
Para tetangga tahu, mereka tidak bisa
berbuat apapun.Bahkan menghibur.Mereka datang, duduk disamping Parjiyem dan
mengulas senyum.Ada yang menangis terisak, tidak tega dengan takdir yang
menimpa tetangga baik mereka.Kehilangan putra untuk yang ketiga kalinya.
“Sabar ya, Par.Aku ora isoh ngomong
opo-opo. Sabar … Lek Par,” ucap seorang pelayat yang sedang memeluk Parjiyem.
Terkulai duduk lemas menatap tubuh
kaku putra keempatnya.Matanya kosong, bibirnya terkunci.Sapaan takziah dari
para pelayat pun dia abaikan.
Sedangkan sang suami terlihat tegar,
dari luar. Batinnya juga tersayat perih. Mengalami ujian yang sama untuk ketiga
kalinya. Kehilangan sosok buah hati yang kelak bisa ia pandang di masa depan.
Supadi sibuk menyalami pelayat pria. Dan terkadang berjalan kesana kemari,
menengok sang istri yang terlihat tak berdaya.
“Gusti Allah pengen kowe mulyo ning
surgo, Padi,” ujar salah satu pelayat yang sedang memeluk Supadi erat,
”InshaAllah, mereka sudah meminta rumah kepada Allah untuk kalian.”
Supadi hanya menjawab dengan
senyuman.Tidak bisa berkata apapun lagi.Goresan luka yang dia rasakan sebagai
seorang suami sekaligus ayah bagi keempat putranya semakin menganga. Putra
pertama, gadis kecil yang saat itu baru memasuki umur lima tahun, meninggal
karena demam tinggi. Putra kedua, yang masih tersimpan aman di dalam kandungan,
telah diminta oleh Pemiliknya sebelum dilahirkan. Putra keempat, bayi yang
belum dikuburkan, meninggal dalam usia yang belum genap satu tahun, lahir saat
Ramadhan dan meninggal sepuluh hari sebelum satu Syawal.
Tangis dan duka mereka, tercatat
sebagai penghilang rasa panas saat hari kiamat nanti.Tinggalah putra keempat
mereka, Slamet Rahayu.Yang Allah titipkan kepada Supadi dan Parjiyem. Sebagai
pelipur lara dalam mengarungi kehidupan.
***
“Ini dibaca apa, Le?”
Tanya Parjiyem sedikit membentak saat
mengajari Slamet belajar membaca.Slamet sudah kelas tiga sekolah dasar.Tapi
belum mampu membaca ataupun menulis.Entah, orang tuanya juga bingung.Saat Taman
Kanak-kanak, Slamet terlihat biasa dan normal.Tapi setelah memasuki bangku
sekolah dasar, tidak ada satupun pelajaran yang dia ingat.Membaca angka pun,
Slamet tidak bisa.
Sulit untuk menjelaskan keadaan yang
terjadi pada Slamet.Kedua orang tuanya bukanlah orang yang mengeyam pendidikan
tinggi. Sebatas Sekolah Dasar, niat mengarungi kehidupan berkeluarga untuk mencari
keberkahan. Mendidik anak semata wayang, menjadi penghibur saat usia senja.
Hingga Slamet duduk di kelas lima
Sekolah Dasar. Tidak ada satupun kata yang bisa ia rangkai di atas kertas. Sang
Guru memindahkan Slamet ke kelas yang lebih tinggi, hanya karena rasa segan dan
kasihan. Takut membayangkan cemoohan para tetangga atas apa yang dialami oleh
buah hati Supadi dan Parjiyem.Ketidak mampuan dalam mengikuti pelajaran, adalah
bukti kegagalan dari didikan orang tua.
“Gimana kamu besar nanti, Le, kalau
nulis sama baca saja tidak bisa!”Supadi sudah hilang kesabaran dalam menghadapi
kekurangan anak semata wayangnya. Bahkan untuk meniru tulisan yang ada di
lembaran buku tugas sekolah saja, Slamet sama sekali tidak mampu.
Slamet hanya diam, dia tahu sang ayah
marah. Tapi entah, setiap kali sang ayah emosi, Slamet sama sekali tidak berani
menatap wajah sang pelindungnya. Dia memilih untuk menunduk, sama sekali tidak
tahu, kenapa harus pintar membaca dan menulis. Dalam dunianya, dunia suka
bermain. Menghabiskan waktu dengan sepeda atau bermain dengan anak-anak yang
lain.
Seluruh keluarga besar dikumpulkan,
membahas nasib cucu laki-laki satu-satunya dalam keturunan mereka.Ya, Slamet
Rahayu adalah satu-satunya cucu laki-laki di keluarga besar Supadi.Cucu yang
sangat diandalkan. Tapi Tuhan mempunyai rencana lain, Slamet berbeda, dia
istimewa.
“Aku ingin menyarankan sesuatu, Lek,”
ujar sang ponakan, Nanik. Cucu tertua di keluarga mereka.
“Kemarin, aku meminta saran ke semua
teman di kampus.Maaf, sebelumnya aku tidak meminta ijin dulu ke keluarga.Ini
masalah yang tidak bisa dianggap remeh, Lek.Slamet memiliki keistimewaan. Dia
berbeda, dan kita juga harus memiliki cara yang tidak sama dalam mendidiknya.”
Nanik berusaha untuk menjelaskan
keadaan putra Supadi ke semua anggota keluarga.Berat, menerima kekurangan salah
satu anggota keluarga mereka.
“Jadi, maksudmu, Slamet ini idiot?”
tanya salah satu anggota keluarga.
Nanik tidak lantas menjawab, dia tidak
sampai hati untuk menyandangkan nama ‘idiot’ kepada adik laki-lakinya.
“Slamet hanya berbeda, dia bukan
seperti itu,” jawab Nanik, melihat ke arah sang adik laki-laki semata
wayangnya. Yang dari tadi tidak berani mengangkat muka.
“Slamet istimewa, dia adalah hadiah
dari Allah untuk melengkapi kesabaran dalam keluarga kita.”
Masalah demi masalah datang tanpa
henti, hanya berjarak satu tahun setelah keluarga menerima keadaan Slamet, satu
demi satu anggota tertua dalam keluarga Supadi kembali ke pangkuan Illahi. Ayah
dari Supadi, meninggal dalam masa tuanya,sedangkan sang mertua perempuan, ibu
dari Parjiyem istrinya, juga mendadak pergi untuk selamanya. Inilah ujian yang
membuat Parjiyem rubuh, kekuatan yang ia bangun selama ini ikut lebur bersama
jasad sang Ibunda.
“Apa salahku, Mas?” tanya sang istri
kepada Supadi.
Ujian tanpa henti terus mengikis
dinding kesabarannya.Kematian serta kehilangan selalu menjadi nyanyian dalam
mengarungi kehidupan mereka.
“Mungkin Allah benar-benar menyayangi
kita, Par.” Sang suami berusaha tegar di depan sang istri.
Berusaha sebenarnya, tersenyum disaat
kondisi sang istri benar-benar jatuh. Menata kembali pecahan senyuman yang dulu
mereka rencanakan saat mengawali mahligai pernikahan. Allah, tidak akan
membebani sebuah takdir yang mana akan memberatkan hamba-Nya.
Keluarga mereka, mulai berbenah
kembali. Pernikahan selama dua puluh lima tahun, kehilangan tiga buah hati
mereka, menerima dengan lapang anak istimewa yang Allah titipkan. Ikhlas dengan
kehilangan, mengobati luka di hati dengan berbagi senyuman.Merasakan kuatnya
ikatan persaudaraan, menyambung kembali ikatan kebahagiaan dengan sabar. Bahwa
selama hidup di dunia, ujian akan selalu datang menerpa. Tidak mengenal waktu
atau usia.
Slamet Rahayu sudah terbiasa sekolah
di Sekolah Luar Biasa.Sekolah dengan sistem pembelajaran khusus bagi anak-anak
yang telah Allah istimewakan.Meskipun jauh, Slamet terbiasa berangkat dan
pulang dengan menaiki sepeda. Risau sebenarnya, hati kedua orang tua Slamet
jika sang anak berangkat dengan sepeda sendiri. Jaraknya jauh, sekitar sepuluh
kilometer.
“Mak, besok aku ikut lomba lari jarak
jauh,” cerita Slamet kepada Ibunya.
Setiap anak memiliki
keistimewaan yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama, meskipun lahir dari satu
rahim. Allah sudah menetapkan, semua terperinci dalam kitab Lauhul
Mahfudz-Nya.Tertata, manusia sudah disiapkan skenario hidup terbaik.Allah
adalah Sang Sutradara.Takdir mampu diubah, jika manusia juga mau berubah.
“Wah, Slamet sudah SMP sekarang?”
tanya Bulek Welas, adik dari Supadi yang baru datang dari Semarang.
“Iyo, lek.” jawab Slamet, “Oh, yo Lek,
kemarin aku menang juara lomba lari jarak jauh, ini hadiahnya.”
Slamet menunjukkan sebuah piagam dan
kalung yang sangat ia banggakan. Kemenangan pertama dalam hidupnya, bisa
memberi rasa bangga untuk ibunda tercinta.Tentu bukan kebanggaan dalam
akademik.Mengingat sampai sekarang buah hati mereka tidak mampu melafalkan satu
pun huruf yang tertulis di buku.
“Hebat, kamu Le, sini Bulek kasih
hadiah.”
Pemberian hadiah untuk sebuah
keberhasilan meskipun kecil adalah cara terbaik menunjukkan rasa bangga.
Perhatian dan kasih sayang, sangat diperlukan dalam menambal goresan kesedihan
yang telah terjadi.Hidup adalah tempatnya ujian.Tapi tali kekeluargaan tetap di
utamakan.
“Met, Adzan ….”
Slamet bergegas beranjak dari depan
televisi untuk pergi ke masjid. Keistimewaan tidak mengurangi caranya dalam
menjemput panggilan Kalam. Ilmu sekolah mungkin tidak akan pernah ia dapatkan,
tapi Allah memberi kemudahan dalam mengarungi indahnya meniti keta’atan dalam
kekurangan.
Semua anak istimewa. Meskipun ia
terlahir dan diberi rupa yang berbeda.
***
Klaten, di kursi penunggu senja
Pic; by google