Powered By Blogger

Sabtu, 31 Desember 2016

TENTANG KAMU; sebuah resensi







Judul Buku   : Tentang Kamu
Penulis         : Tere Liye
Tebal Buku   : 530 Halaman
Penerbit       : Republika, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Oktober 2016
ISBN            : 9786020822341

Sinopsis

Sebuah buku yang sangat dinantikan oleh pembaca. Setelah sekian lama menunggu akhirnya buku dengan cover sepasang sepatu bertali ini dilepas oleh penulisnya. Ya, dengan judul Tentang Kamu, buku ini mengusung kisah mengharukan dan juga mengejutkan dari sesosok perempuan. Dengan kunci; sabar, kehidupan diawali oleh kelahiran dan tentu diakhiri dengan kematian.Penulis tidak muluk-muluk dalam memberikan alur kesedihan. Kisah-kisah yang tertuang sungguh bisa dilihat dalam kenyataan.

Sri Ningsih, nama orang Jawa. Tapi siapa sangka dia lahir di Pulau Bungin Sumbawa. Sangat jauh dari tanah Jawa. Dilahirkan dari rahim seorang ibu yang memiliki nama Rahayu. Ayahnya seorang nelayan dan juga pelaut, Nugroho.Kedua orang tuanya bukan seorang yang kaya raya. Sri Ningsih bukan lah anak pertama di keluarga mereka.Bayi pertama tak mampu bertahan sampai usia sembilan bulan kandungan. Rahayu adalah sosok ibu yang tak bisa menggendong bayinya di dunia.

Gadis keturunan Jawa itu menjadi piatu. Nugroho sangat menyayanginya, hingga sosok ibu tiri hadir di tengah keluarga kecil mereka. Namanya Nusi Maratta, perempuan asli Sumbawa yang mengetuk hati Nugroho. Sri Ningsih memiliki adik laki-laki, itu lah kabar yang membahagiakan.Tilamuta namanya.Sri Ningsih dan Tilamuta, dilahirkan bersama tapi tak ditakdirkan hidup bahagia berdua.

Ada kalimat; ibu tiri hanya mau menyayangi anak sendiri.Itu lah alur di buku ini.Sosok ibu yang kejam digambarkan dengan terhormat. Kenapa terhormat? Karena selama Nugroho hidup dan bisa bekerja. Sang ibu tiri baik dengan anak suaminya.Tapi setelah takdir merenggut kepala keluarga, jangankan perlindungan, siksaan demi siksaan Sri Ningsih dapatkan dari ibu tirinya.

Siapakah Sri Ningsih? Gadis kecil tak kenal kata bosan atas siksaan. Hei, dia selalu disalahkan atas kematian ayahnya sendiri. Tapi menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh ibu tirinya adalah sebuah perintah. Bukti bakti Sri Ningsih terhadap mendiang ayah dan ibu tirinya yang masih hidup. Ingat, Sri Ningsih punya adik laki-laki. Bagaimana pun, dia adalah seorang kakak, yang selalu menjaga dan melindungi adik satu-satunya.

Nugroho, Rahayu, Nusi Maratta, Sri Ningsih adalah sosok-sosok yang dimatikan di buku ini. Dengan menghadirkan sosok Zaman Zulkarnaen, pengacara firma tertua di Inggris; Thompson & Co. Sebagai pembuka cerita.Rasanya angin segar (bacasaja; ketertarikan) untuk melahap lembar demi lembar tulisan tak akan bisa berhenti hingga tuntas di halaman pamungkas. Zaman Zulkarnaen, pemuda Indonesia yang berkeliling dunia. Karena Sri Ningsih, Zaman melintasi benua hanya untuk mencari tahu siapa itu Sri Ningsih. Dimulai dari Prancis, panti jompo tempat Sri Ningsih berpulang.Lalu kembali ke Bungin, Surakarta, Jakarta, Inggris dan Prancis. Jangan lupa, Zaman adalah sosok pendengar setia, demi menuntaskan rasa penasarannya pada sosok Sri Ningsih (selama mencari, surat-surat Sri Ningsih selalu digenggamnya). Zaman berenang kenangan bersama orang-orang yang mengenal Sri Ningsih pada tahun1944 sampai surat warisan didapat.

Sri Ningsih belajar kemandirian dengan nasibnya menjadi yatim piatu.Cara Sri Ningsih bertahan melawan gempuran paham kebebasan.Dia dibesarkan di pesantren selama di Surakarta, mempunyai keluarga baru dan jangan lupakan Tilamuta, meski kisah Tilamuta tidak terlalu diperdalam di kisah ini. Bahkan pembaca akan mengira Tilamuta menjadi korban dendam antara Sulastri dan keluarga Nur’aini. Tapi penulis memberikan kejutan di akhir cerita.Tilamuta hidup, dan Zaman penyelamatnya.

Sri Ningsih adalah perempuan pemilik kekayaan 19 triliun rupiah. Dengan wujud saham, harta ini akan terus meningkat seiring waktu. Zaman berpacu dengan kesempatan. Harta terbagi sesuai surat warisan yang ditulis tangan oleh Sri Ningsih (yang entah tersimpan di mana) atau kerajaan Inggris mengambil sebagai hibahan. Ending kisah ini menghadirkan sosok Sulastri, sahabat lama Sri Ningsih yang kembali bertarung dengan Zaman untuk mendapatkan harta warisan sahabat lamanya.




“Selemah apapun fisik seseorang, semiskin apapun dia, sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya.” (Harian Sri Ningsih – hal 48)

Zaman Zulkarnaen dan Sri Ningsih adalah dua sosok tokoh utama yang berbeda jaman.Tapi di buku ini mereka ditempatkan di kisah yang sama. Zaman melamar seorang gadis Prancis di akhir cerita (gadis penunggu panti jompo tempat Sri Ningsih menghabiskan masa tua). Dan juga kisah penantian yang terbungkus perjuangan. Bahwa jodoh adalah buah dari kesabaran.

“Halo, Sri.” Hakan, pemuda Turki itu menyapa. Tentang Kamu; sebuah buku yang mengajarimu arti hidup dan berdamai dengan siapa pun. Termasuk kehilangan. Selamat membaca.






Selasa, 13 Desember 2016

MATA-MATA BERKELIARAN

Cermin-cermin itu mengelilingi. Aku tahu ada yang berbeda pada tubuh ini. Tidak berani menatap pantulan sendiri pada cermin. Mereka bisa berbicara. Diam dan menunduk adalah keputusan bijak. Daripada berbicara tapi mereka menuli karena menganggap aku berusaha membenarkan diri. Jalanan depan kian menyempit. Tak ada pijakan untuk berlari lagi. Salju merata di sekililing kota. Angin berhembus sedang, pohon-pohon mengayun. Dua anak berlarian di garis-garis penyeberangan. Mobil-mobil berhenti di sisi sebelah kiri, berderet menunggu benda bergantung berubah warna menjadi hijau. Nenek tua keluar dari taksi, meminta sang sopir mengambil barang bawaannya di bagasi. Bunyi klakson bersahutan. Lampu merah sudah menghitam beberapa detik lalu, tapi mobil yang ditumpangi nenek tua tadi belum bergeser. Nenek tua mengumpat, meneriaki mobil-mobil di belakangnya. Menyebut mereka bodoh. Barang-barang bawaan nenek itu diletakkan di pinggir jalan. Sopir taksi diam menahan amarah, dia dipermalukan di tengah jalan oleh seorang nenek yang tidak mengenal tempat berhenti. 
.
Aku berjalan ke tempat nenek itu berdiri. Dia kedinginan. Jemari keriputnya tertutup oleh sarung tangan rajutan yang sangat kukenal bentuknya. Cermin-cermin itu masih mengikuti. Kubiarkan saja mereka berjalan sama seperti langkah kaki. Lelaki bertopi mendekati nenek itu. Berbicara sebentar lalu mengangkat dua koper miliknya. Dengan pelan-pelan, dia berusaha menyamakan kaki dengan langkah tertatih si nenek. Salju masih saja mengguyur, bahkan cermin-cermin tertutup butiran-butiran putih dan siap membeku.  
.
Aku berteduh di teras sebuah kafe. Melirik sebentar ke kaca, aroma seduhan kopi menguar meski posisiku berdiri di luar. Hidung terasa gatal, air liur masuk ke kerongkongan. Kuteliti isi saku celana, masih sama, recehan belum terkumpul karena sejak semalam tangan ini belum bekerja. Sial, aku harus makan jika tidak ingin kelaparan. Uang pemberian ayah habis kubelikan hotdog di pinggir jalan kemarin siang. Beberapa anjing liar kelaparan saat salju turun deras. Orang-orang berdiam diri di rumah, menikmati hangatnya tungku pemanas. Menonton celotehan kotak besi. Atau mendengarkan berita dari mesin penangkap gelombang. Dengan menggigit roti-roti kecil yang baru saja keluar dari oven. Menyeruput hangatnya secangkir cokelat, ditemani teriakan anak-anak kecil bermain boneka salju dan putri cantik di ruang tengah. 
.
“Kau hanya ingin berdiri di sini?” Akhirnya seseorang yang kutunggu datang. Oh, lelaki penjemput nenek tadi kini menatapku. Hidung merahnya menggemaskan. Topinya tidak dipakai lagi. Serpihan salju berkumpul di atas kepalanya. Dia masih tersenyum dan itu membuat dadaku berdebar. “Aku harus menjemput nenek. Dia datang dari pulau hijau dan tidak mau turun di depan rumah.” 
.
Aku tersenyum ketika dia mengatakan pulau hijau. Dia semanis seperti di dunia maya. Wajahnya memang tak tampan. Janggutnya lebat tapi rapi. “Anda terlambat dari perjanjian,” ucapku sembari mengulurkan tangan dingin, “Setidaknya jangan potong gaji karena Anda telat menjemput.”   
.
Dia hanya tersenyum. Lalu menjabat tanganku erat, “Kau sudah kedinginan, lebih baik aku memberi kehangatan dulu sebelum dibunuh oleh perempuanku nanti. Dia tidak ingin kau menunggu. Aku juga tidak memberitahunya kalau nenek datang pagi ini.” 
.
Kami berjalan menyusuri pertokoan baju. Sekali pun ribuan kali aku melewatinya tidak ada rasa ingin untuk membeli. Uang adalah sesuatu yang didapat untuk membeli makanan. Soal pakaian, riasan dan sepatu, ada puluhan toko di pasar tradisional yang buka pada pertengahan bulan di pinggiran kota. Aku selalu membelinya di sana. Bukan barang-barang import. Baju-baju dan semua barang di sana adalah hasil pengusaha kecil pinggiran kota. Warna sama, bentuk sama tapi harga berbeda. 
.
“Secangkir cokelat hangat dan burger akan menghangatkanmu.” Dia memberiku sarapan. Uap masih mengepul dan aku mencium aroma yang tak bisa kunikmati setiap hari. Uang hasil kerjaku selalu terbagi. 
.
“Terima kasih,” ucapku saat kami kembali melangkahkan kaki. Dia tidak menjawabnya. Hanya lirikan mata dan dilanjutkan kerlingan. “Kau tidak secerewet di dunia maya. Ternyata kau pendiam. Dan sangat sopan di dunia nyata,” ujarnya jujur. Aku hanya tersenyum menanggapi komentarnya. 
.
Kami tiba di toko kecil bertuliskan ‘Home’ di gantungan yang tertempel di pintunya. Laki-laki itu masuk dan membunyikan bel lalu mengucap salam dalam bahasa yang tak bisa kumengerti. Masih sepi, kursi-kursi bergumul dengan meja. Lantai masih basah dan piring tertata di sudut meja sebelah kanan kasir. “Masuklah, toko akan buka dua jam lagi. jangan berdiri saja, hangatkan kedua kakimu di tungku. Setelah itu kita akan mengumpulkan recehan untuk tabungan liburan musim dinginmu.” 
.
Perempuan bertudung keluar dari dapur, dia tersenyum lalu meletakkan apronnya setelah aku masuk dan melihat sosoknya. Dia berjalan ke arahku. Memeluk dan badannya hangat. Perutnya membuncit. Pakaian yang menempel di tubuhnya menutup semua kulitnya. Hanya tangan dan wajah yang nampak. “Kenalkan, namaku Saina. Dan kau pasti Vivie.” Gigi gingsulnya terlihat manis saat dia memperkenalkan diri. 
“Saya Vivie dan terima kasih sudah mau mengajak untuk bekerja di sini.”      
.
“Suamiku memperkenalkanmu dua hari yang lalu. Aku pernah melihatmu di kereta bawah tanah seminggu yang lalu. Dan sekarang, aku tidak akan memberimu recehan,” jelas Saina. Perempuan itu memang hangat, bukan badannya tapi tutur kata. 
Lelaki itu mulai menurunkan satu per satu kursi. Melap lalu meletakkan wadah garpu sendok di sana. Kuletakkan jaket dan syal di lemari kaca belakang kursi kasir. Mengambil apron dan kain basah yang sudah disediakan. Ada beberapa orang masuk lalu memeluk laki-laki itu sebentar dan melakukan apa yang kukerjakan tadi. Mereka memasuki dapur, membaca sebentar tulisan yang tertempel di dinding. Saina membuka mesin kasir, meletakkan beberapa lembar uang lalu mencatatnya di buku sampul hijau. Dia mengeluarkan puluhan lembar menu. Lalu berdiri dan meletakkannya di tiap meja. Aku membersihkan meja itu satu per satu. Saina dan laki-laki itu berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti. Samar-samar mereka mengucap sebuah kata yang sering kudengar saat salah satu temanku mendapat nilai memuaskan, ‘Alhamdulillah’. 
 . 
“Vie!” teriak seorang gadis dari dapur, “tak kusangka kita bertemu di sini.” Dunia memang sempit atau Tuhan sengaja mempertemukanku dengan orang-orang berwajah Asia ini. Setidaknya mereka baik dan tidak memberiku pekerjaan mengantar bir pada laki-laki bertubuh gemuk dan bau. 
“Nisa!” sahutku. Dia berjalan hati-hati di lantai yang masih basah. Memakai apron dan jemarinya belepotan adonan. Dia memakai penutup kepala. Kain berwarna merah tua menutupi rambutnya. “Kau sedang memasak?” 
Dia menarik tanganku, berjalan melewati pintu kayu. Di sana ada beberapa laki-laki yang masuk setelahku tadi. Si janggut tipis menguleni adonan, si rambut pirang memotong sayuran dan si laki-laki yang menggunakan headphone mengaduk sesuatu di panci. Mereka tersenyum padaku. 
Perkenalan singkat tapi aku mampu menghapal nama mereka bertiga. Mereka baik dan tidak pernah menanyai macam-macam. Jarum berputar dan kini toko kecil ini sudah ramai pengunjung. Satu per satu pesanan dicatat. Ada perempuan dewasa lagi datang dan kini duduk di kursi kasir. Nisa memberitahu bahwa dia adalah anak dari pemilik tempat ini. Dia juga bekerja, tapi sayang karena kakinya tak normal dia susah mendapatkan pekerjaan. Dia asli warga kota ini. 
 . 
 “Kamu Vivie?” tanyanya saat aku berjalan melewati tempat dia duduk. Rambutnya diikat kuda, cat kukunya putih mengkilap dan bibirnya tersenyum. Dia cantik. 
 . 
“Iya,” ujarku pelan. 
 . 
“Selamat datang di kedai ramah. Sering-sering tersenyumlah. Tuhan pasti memberimu kemudahan.” 
Pelanggan mulai sepi dan senja mulai memasuki kota. Aku hanya bekerja mencatat pesanan dan mengantarkannya. Ada beberapa pelanggan yang mengambil sendiri atau malah membantuku membawa baki. Mereka saling melayani satu sama lain. Ada mesin kopi berbagai rasa di dekat kasir. Pelanggan mengambil sendiri lalu membayar di kasir. Aku hanya mencatat pesanan makanan. Berupa-rupa dan ini pertama kalinya aku melihat menu makanan Asia. 
 “Sebelum pulang kita akan makan malam. Jangan pulang sendirian, Vie. Suamiku akan mengantarmu nanti. Bersama dengan Nisa dan Sofie. Hujan salju mulai turun, mungkin beberapa transportasi berhenti beroperasi.” 
Saina perempuan yang sangat baik. Walaupun hamil dia tetap bergumul adonan di dapur, suaminya pun sibuk melayani pelanggan. Tidak ada rasa capek di wajah mereka. Apalagi setelah kami berkumpul satu meja seperti ini. Mencicipi makanan yang membuatku ketagihan. Dan cermin-cermin yang mengelilingiku tadi pagi menghilang sejak tubuhku bergelut menikmati pekerjaan. Dan di sekitarku sekarang adalah teman. Yang tidak memantulkan ketakutan saat melihat bibir sumbingku diam. 
.
Klaten, 13 Desember 2016
#nunox90
 

Jumat, 02 Desember 2016

KATEDRAL 4 NOVEMBER 2016

Media mungkin menyembunyikan ini. Sebuah pernikahan yang terjadi di Gereja Katedral tepat saat aksi bela islam kedua berlangsung. Masa aksi yang start dari masjid Istiqlal baru saja berangkat. Orang-orang ada di mana-mana. Berpakaian putih. Satu dua memakai atribut organisasi. Gereja, tempat pemberkatan pernikahan kami, berdekatan dengan masjid terbesar se Asia Tenggara itu. Karena jalan sudah ditutup. Pilihan satu-satunya adalah berjalan, melewati kerumunan aksi.
.
Polisi memberi bantuan. Membuka jalan aksi masa. Awalnya takut. Mendapat tatapan marah atau jengkel karena merasa terganggu. Aku dan keluarga diam dikawal polisi. Sambil melirik ke arah pengguna jalan lain. Mereka tersenyum, bahkan ada yang memberitahu gaunku akan kotor jika tidak diangkat. Mereka berhenti, memberi jalan. Melihat rombongan kami dengan keramahan.
.
Pernikahan di dalam gereja berjalan sesuai rencana. Tidak ada keributan atau hal yang mengganggu. Mereka, para aksi damai itu bukan pembenci umat Kristiani atau agama lainnya. Bukan juga pembenci orang Cina. Mereka mengetuk pintu rumah sang penguasa. Salah, jika umat Islam melakukan demo lalu disebut radikal. Salah, jika umat Islam bersuara mengutarakan hatinya yang terluka lalu dianggap ingin melakukan makar.
.
Masjid yang dibangun oleh presiden pertama itu dinamai Istiqlal, berarti merdeka. Berdekatan dengan sebuah gereja. Menandakan bahwa kerukunan harus lah dijaga. Menghargai setiap hak orang yang memiliki agama.
.
Bagaimana dengan sikap menghargai? Yaitu tidak membawa sebuah ayat kitab agama lain sebagai modal membentengi diri.
.
Terima kasih
.
Klaten, 06 November 2016
#nunox90

PEREMPUAN PENGHUNI KAMAR








“Pintunya terkunci, Dok. Dari kemarin, dia tidak mau makan. Bahkan dia menolak minum obat.” Perawat panik, terus mencoba membuka jendela yang ditutupi dengan kertas kardus. Kedua puluh jari-jari perawat terus membuka celah agar bisa melihat ke dalam ruangan. Mereka menggunakan pisau, membelah ketebalan kertas karton yang ditumpuk tiga.
.
“Nan, buka! Kamu jangan seperti ini lagi. Buka, Nan! Kita bicarakan baik-baik!”
.
Sidiq menggedor-gedor pintu tua itu dengan tubuhnya. Masih tak terbuka, dia tendang sekuat tenaga. Pintu masih geming, dia hancurkan handle pintu yang sudah lapuk. Kesabarannya sudah menipis, tidak mungkin terus-terusan membiarkan salah satu pasiennya mengurung dirinya sendiri di kamar. Apalagi tidak membiarkan satu orang pun masuk membawa makanan. “Siapa yang membiarkan dia sendirian di kamar???”
.
Dua perawat berhasil membuka celah di jendela. Dengan keterbatasan cahaya, dua mata mengintip keadaan di dalam kamar. Perawat itu mencari sosok kurus yang biasa dia sapa setiap pagi. Di ranjangnya tidak ada, dengan kontak mata dia mengajak temannya untuk membuka lebih banyak celah lagi. “Ada seutas kain panjang di lantai,” bisik perawat yang mengintip tadi karena tidak ingin membuat panik orang-orang yang sedang berusaha membuka pintu. “Ya Tuhan, beri kami tangan-Mu agar jendela ini roboh,” kata perawat satunya.
.
“Kita pukul pakai pemukul batu, tapi pintu ini hancur nanti,” usul salah satu satpam yang ikut membuka pintu.
.
“Terserah, aku ingin pintu ini terbuka!” teriak Sidiq. Satpam lalu berlari cepat, mengambil alat pemukul batu besar yang dia simpan beberapa hari lalu di pos satpam setelah membelinya. Sidiq terus memanggil perempuan yang menghuni kamar itu. Tidak ada jawaban.
.
“Dok! Dok! Jendela sudah terbuka!” jendela dengan tinggi satu meter dan lebar setengah meter itu tidak tertutup lagi. Meski masih ada tempelan kawat berjaring mereka sudah bisa melihat isi ruangan.
.
“Nan! Kamu di mana?” teriak Sidiq. “Jangan menguji kesabaranku, Nan! Buka pintu itu atau kurobohkan!”
.
Palu pemukul batu diayunkan. Dinding bergetar, kayu pintu itu mulai remuk diterjang pukulan. Satpam terus menggempur pintu tertutup itu, dan kaki Sidiq menendang kuat handle pintu yang masih tertahan.
.
Brakk. Pintu terbuka, ruangan terisi cahaya. Potongan-potongan kertas berhamburan. Sebuah notebook masih menyala, kasur di ranjang kosong. Pintu kamar mandi terbuka. Meja yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan dan minuman, sekarang hancur berantakan karena tendangan Sidiq.
.
“Pak, bereskan serpihan kayu-kayu itu,” bisik Sidiq.
.
Satpam lalu mengambil kantong yang sudah disiapkan oleh tim penyelamat darurat di luar. Dengan sigap, potongan-potongan kayu karena pukulan serta tendangan dimasukkan ke kantong. Salah satu tim penyelamat membantu menyapu, sedangkan dua orang yang lain. Satu seorang asisten dokter dan satu perawat.
.
Dua perawat yang berhasil membuka jendela tadi tidak diijinkan masuk. Mereka bertugas menyiapkan kamar baru untuk Kinan. “Aku tidak menyangka, jika dokter sehebat Dokter Sidiq bisa lepas kesabaran jika Kinan melakukan hal-hal bodoh lagi.”
.
“Kinan adalah pasien spesialnya,” celetuk perawat lain. Mereka menyiapkan satu kasur lantai dan meja yang berisi obat-obatan. “Selama ada beliau di sini, Kinan menjadi lebih ceria. Bahkan dia sudah menulis beberapa cerita. Kinan juga mulai mau berbicara kepada orang lain.”
.
“Apa Kinan menyukai Dokter Sidiq?”
.
“Aku rasa pertanyaan yang tepat itu apa Dokter Sidiq menyukai Kinan. Semenjak beliau magang dan resmi bertugas di sini, dia memilih Kinan sebagai pasien tetap yang dia tangani selama dua tahun ini.”
.
“Dokter Sidiq sudah punya calon istri.”
.
“Tapi rasa kasihannya hanya untuk Kinan. Beliau pernah menandatangani surat tagihan perawatan Kinan. Dan selebihnya menggunakan gaji bulanannya untuk menutup semua biaya pengobatan Kinan. Kalau dibilang kasihan tentu tidak, Dokter Sidiq itu berbeda, cara beliau menatap wajah Kinan tak lazim. Mungkin sebuah perasaan bisa terjadi diawali dengan kasihan.”
.
“Dokter Sidiq masih muda, dan semua kelebihan ada padanya.”
.
“Suka, cinta, benci, dan semua rasa itu membingungkan. Karena letaknya di hati dan pikiran, susah dijelaskan.”
.
Sidiq berlari dengan membawa Kinan di punggungnya. Satu perawat ikut berlari mengikuti Sidiq, memegangi Kinan dari belakang. Wajah pucat Kinan penuh dengan riasan; bedak tebal, alis dilukis, gincu memerah, eyeshadow coklat menghiasi kelopak matanya. Serta sebuah foto yang Kinan peluk selama dia pingsan. Foto seorang pemuda dengan syal merah tua melingkari lehernya.
.
Klaten, 29 November 2016
#nunox90

CINTA LAKI-LAKI BIASA

Laki-laki itu sederhana; dia yang sudi mencintaimu apa adanya.
.
“Mas Rafli lagi ngapain?” Rafli menyiapkan segala keperluannya pagi ini. Suara lembut tidak menghentikan cekatan tangannya memeriksa beberapa kertas. Ada acara di sebuah sekolah yang mendapatkan proyek bantuan pemerintah. Rafli, sebagai pria dengan pekerjaan mencari bangunan yang sekiranya harus mendapat perhatian dari kas negara. Dia bukan pegawai negeri, juga bukan lelaki dengan tumpukan kertas, pensil runcing serta penggaris.
.
“Siang ini Mas harus sampai ke Gunung Kidul. Tim sudah ada di sana, pak Gubernur nanti juga datang. Sedangkan Mas harus presentasi tentang kebutuhan-kebutuhan material.”
.
“Bukankah laporan yang sudah kuketik kemarin ada semua?” tanya Nania keheranan.
.
Rafli membuka notebooknya. Mencari tulisan di layar windows; SEKOLAH ALAM, lalu membukanya. Meneliti kembali setiap tulisan dengan kertas-kertas yang dia pegang. Sama, bahkan file di notebook ini sudah berwarna-warni. Lengkap dari susunan pengurus sampai dana anggaran. “Dek, kamu mengerjakan ini semua?” tanya Rafli dengan wajah sumringah.
.
Nania mengangguk, “Mas kemarin kehujanan. Kertas-kertas itu basah sebagian. Aku berusaha mengeringkan tapi sebelum benar-benar kering kulihat tulisannya malah mengabur. Ya sudah, aku buatkan di excel saja, takut kalau sudah kering malah hilang dan gak bisa dibaca.”
.
Rafli tidak bisa berkata apa-apa lagi. Langsung memeluk istrinya yang duduk di kursi roda. Mengucapkan terima kasih lewat hatinya. Selama ini, dia berusaha mengembalikan semua momen kebersamaan mereka dulu. Tapi Rafli kalah oleh takdir, Nania tidak mengingat apapun. Semakin dipaksa, Nania hanya merasakan sakit di kepalanya. “Mas lebih baik mandi dan bersiap-siap. Aku akan membereskan meja ini dan membantu menyiapkan sarapan. Meja kompor buatan Mas kemarin sudah kucoba dan sangat nyaman. Dan juga untuk meja kecil itu,” Nania menunjuk ke sebelah kanan, “sangat pas untuk memotong sayuran dan mengulek bumbu.”
.
Kenangan adalah sesuatu hal yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan. Sepahit apapun, semanis apapun, tetap saja mereka melekat meski berusaha untuk tidak diingat. Tapi berbeda, ketika Tuhan memberikan pilihan lain, mengganti kenangan dengan sebuah ujian lalu memberikan hal-hal baru untuk dirangkai bersama.
.
Saksikan Cinta Laki-Laki Biasa, di bioskop kota tempat anda berdiri sekarang. Jika tidak ada, larilah ke tetangga, membeli tiket lalu bertemu dengan penulisnya. Film serentak tayang di negara tercinta Indonesia, tanggal 1 Desember 2016. Bunda Asma Nadia akan melakukan roadshow di beberapa kota; Solo, Jogja, Surabaya dan Malang. Laki-laki boleh juga kok nonton film ini, apalagi yang jomblo, biar gak ketinggian pasang kriteria. Dan perempuan, wajib dan harus nonton, apalagi yang lagi di status penantian, “Ya Allah, sisakan satu ikhwan seperti akang Rafli dong.”
.
Saya Asmanadians, cerita di atas di luar isi novel dan adegan film itu sendiri. Hanya sedang melakukan tugas promosi film-film yang bermanfaat bagi kaum jomblo.
.
Saya jomblo, ada masalah?
.
Barakallah ^^
.
Klaten, 29 November 2016
#nunox90

KAKI-KAKI SEMUT


Besok, dua desember dua ribu enam belas. Ada Aksi Islam Super Damai III yang akan dilaksanakan di Monas. Bukan tanpa perjuangan mendapatkan ijin resmi dari kepolisian. Ulama dan MUI memberi janji, aksi akan damai, polisi juga akan mencegah aksi-aksi makar. Menyiagakan diri dari berbagai sisi untuk mencegah provokator mengikuti aksi. Siapa mereka? Siapa para provokator itu? Siapa mereka yang tega menodai keutuhan toleransi negeri ini? Siapa provokator yang terus berburu kesempatan agar impiannya tercapai? Siapa yang dengan terang menodai sebuah kebhinekaan lalu meminta maaf dengan alasan khilaf?
.
Awalnya, bus-bus dilarang mengangkut para peserta. Pemilik mobil sewaan pun ditakuti dengan scene-scene kerusuhan yang akan membuat kerugian. Tapi, ada satu aksi kaki-kaki semut, berjalan dari kota tempat mereka belajar, menelusuri aspal jalan agar sampai ibukota dengan kesunggguhan. Ya, pasukan Ciamis menjawab pelarangan yang dikeluarkan oleh kepolisian negara. Ada dua kaki, pikir mereka. Kenapa tidak digunakan untuk jalan ke Jakarta? Toh, capek istirahat. Lapar, minggir sebentar, makan. Haus, duduk minum. Salat, masjid ada di mana-mana. Mandi dsb, masjid pasti ada kamar mandinya. Tidur, masjid sudah tikarnya. Perbekalan, tangan-tangan saudara seiman siap menyambut mereka sepanjang perjalanan.
.
Ah, mereka kurang kerjaan. Baiknya mencari sesuap nasi demi anak istri. Ada juga, pengantin baru, istri tidak memberi restu. Ya sudah, tidak perlu memberi komentar kepada saudara seiman yang melakukan perjalanan untuk ikut salat jumaatan. Tidak perlu menyalahkan mereka, mereka ingin menyuarakan pendapatnya, menjadikan rohnya sebagai saksi membela agama. Apa dengan turun ke jalan disebut membela agama? Perbaiki diri sendiri dulu; celoteh mereka. Toh, kasus berjalan sebagaimana mestinya, apa karena tuntutan harus segera dipenjara? Jadi memaksa hukum untuk menyegerakan perkara? Ini negara hukum, bukan negara islam; teriak mereka. Di Indonesia ini, hukum dibuat atas nama Bhineka Tunggal Ika. Mengacu pada hukum-hukum agama yang berlaku di negara tercinta.
.
Ah, itu karena kalian terhasut oleh perkataan ulama ‘sotoy’. Mungkin iya, sama seperti kami terhasut oleh kata-kata sebuah video yang sangat membuat kami terluka. Proses-proses penghasutan tapi berbeda isi kata-kata hasutan. Diamlah di rumah lalu bilang,”aku akan berjihad lewat aksara.” Itu kalimat untuk perempuan, bagi laki-laki kalau ada yang bilang begini, “Aku gak mau ikut karena aksi-aksi seperti itu biasanya ribut dan malah membuat perpecahan.” Pakaikan saja dia mukena, menjelek-jelekkan ulama dan suka mencari alasan untuk menghindar dari membela agama.
.
Untuk laki-laki yang tidak mau menggerakkan kakinya ke ibukota. Ikut dzikir, istighosah dan salat jumat bersama, lebih baik diam dan mulai mencari cara agar proses hukum lancar tanpa kendala. Dengan apa? Toh kita hanya rakyat kecil biasa. Itu karena kamu sendiri, beda kalau berjamaah, kaki-kaki kecil kita akan dilihat oleh penguasa, bahkan dunia.
.
Akhir jaman itu pasti, Akhi. Mau dicegah bagaimana pun, umat islam akan menyerukan pergolakan di setiap negeri yang dipimpin oleh penguasa-penguasa yang tak sejalan dengan undang-undang.
.
Kita, umat Muslim adalah mayoritas. Dan mereka adalah minoritas. Toleransi adalah saling menjaga diri. Menyelamatkan bumi pertiwi ini dari calon-calon pemimpin yang tak pandai mengatur emosi.
.
Barakallah ^^
.
No debat, awas kalau debat.
.
Klaten, 01 Desember 2016
#nunox90