Powered By Blogger

Jumat, 02 Desember 2016

PEREMPUAN PENGHUNI KAMAR








“Pintunya terkunci, Dok. Dari kemarin, dia tidak mau makan. Bahkan dia menolak minum obat.” Perawat panik, terus mencoba membuka jendela yang ditutupi dengan kertas kardus. Kedua puluh jari-jari perawat terus membuka celah agar bisa melihat ke dalam ruangan. Mereka menggunakan pisau, membelah ketebalan kertas karton yang ditumpuk tiga.
.
“Nan, buka! Kamu jangan seperti ini lagi. Buka, Nan! Kita bicarakan baik-baik!”
.
Sidiq menggedor-gedor pintu tua itu dengan tubuhnya. Masih tak terbuka, dia tendang sekuat tenaga. Pintu masih geming, dia hancurkan handle pintu yang sudah lapuk. Kesabarannya sudah menipis, tidak mungkin terus-terusan membiarkan salah satu pasiennya mengurung dirinya sendiri di kamar. Apalagi tidak membiarkan satu orang pun masuk membawa makanan. “Siapa yang membiarkan dia sendirian di kamar???”
.
Dua perawat berhasil membuka celah di jendela. Dengan keterbatasan cahaya, dua mata mengintip keadaan di dalam kamar. Perawat itu mencari sosok kurus yang biasa dia sapa setiap pagi. Di ranjangnya tidak ada, dengan kontak mata dia mengajak temannya untuk membuka lebih banyak celah lagi. “Ada seutas kain panjang di lantai,” bisik perawat yang mengintip tadi karena tidak ingin membuat panik orang-orang yang sedang berusaha membuka pintu. “Ya Tuhan, beri kami tangan-Mu agar jendela ini roboh,” kata perawat satunya.
.
“Kita pukul pakai pemukul batu, tapi pintu ini hancur nanti,” usul salah satu satpam yang ikut membuka pintu.
.
“Terserah, aku ingin pintu ini terbuka!” teriak Sidiq. Satpam lalu berlari cepat, mengambil alat pemukul batu besar yang dia simpan beberapa hari lalu di pos satpam setelah membelinya. Sidiq terus memanggil perempuan yang menghuni kamar itu. Tidak ada jawaban.
.
“Dok! Dok! Jendela sudah terbuka!” jendela dengan tinggi satu meter dan lebar setengah meter itu tidak tertutup lagi. Meski masih ada tempelan kawat berjaring mereka sudah bisa melihat isi ruangan.
.
“Nan! Kamu di mana?” teriak Sidiq. “Jangan menguji kesabaranku, Nan! Buka pintu itu atau kurobohkan!”
.
Palu pemukul batu diayunkan. Dinding bergetar, kayu pintu itu mulai remuk diterjang pukulan. Satpam terus menggempur pintu tertutup itu, dan kaki Sidiq menendang kuat handle pintu yang masih tertahan.
.
Brakk. Pintu terbuka, ruangan terisi cahaya. Potongan-potongan kertas berhamburan. Sebuah notebook masih menyala, kasur di ranjang kosong. Pintu kamar mandi terbuka. Meja yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan dan minuman, sekarang hancur berantakan karena tendangan Sidiq.
.
“Pak, bereskan serpihan kayu-kayu itu,” bisik Sidiq.
.
Satpam lalu mengambil kantong yang sudah disiapkan oleh tim penyelamat darurat di luar. Dengan sigap, potongan-potongan kayu karena pukulan serta tendangan dimasukkan ke kantong. Salah satu tim penyelamat membantu menyapu, sedangkan dua orang yang lain. Satu seorang asisten dokter dan satu perawat.
.
Dua perawat yang berhasil membuka jendela tadi tidak diijinkan masuk. Mereka bertugas menyiapkan kamar baru untuk Kinan. “Aku tidak menyangka, jika dokter sehebat Dokter Sidiq bisa lepas kesabaran jika Kinan melakukan hal-hal bodoh lagi.”
.
“Kinan adalah pasien spesialnya,” celetuk perawat lain. Mereka menyiapkan satu kasur lantai dan meja yang berisi obat-obatan. “Selama ada beliau di sini, Kinan menjadi lebih ceria. Bahkan dia sudah menulis beberapa cerita. Kinan juga mulai mau berbicara kepada orang lain.”
.
“Apa Kinan menyukai Dokter Sidiq?”
.
“Aku rasa pertanyaan yang tepat itu apa Dokter Sidiq menyukai Kinan. Semenjak beliau magang dan resmi bertugas di sini, dia memilih Kinan sebagai pasien tetap yang dia tangani selama dua tahun ini.”
.
“Dokter Sidiq sudah punya calon istri.”
.
“Tapi rasa kasihannya hanya untuk Kinan. Beliau pernah menandatangani surat tagihan perawatan Kinan. Dan selebihnya menggunakan gaji bulanannya untuk menutup semua biaya pengobatan Kinan. Kalau dibilang kasihan tentu tidak, Dokter Sidiq itu berbeda, cara beliau menatap wajah Kinan tak lazim. Mungkin sebuah perasaan bisa terjadi diawali dengan kasihan.”
.
“Dokter Sidiq masih muda, dan semua kelebihan ada padanya.”
.
“Suka, cinta, benci, dan semua rasa itu membingungkan. Karena letaknya di hati dan pikiran, susah dijelaskan.”
.
Sidiq berlari dengan membawa Kinan di punggungnya. Satu perawat ikut berlari mengikuti Sidiq, memegangi Kinan dari belakang. Wajah pucat Kinan penuh dengan riasan; bedak tebal, alis dilukis, gincu memerah, eyeshadow coklat menghiasi kelopak matanya. Serta sebuah foto yang Kinan peluk selama dia pingsan. Foto seorang pemuda dengan syal merah tua melingkari lehernya.
.
Klaten, 29 November 2016
#nunox90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar