Powered By Blogger

Jumat, 21 April 2017

CINTA LAKI-LAKI BIASA; selarik cerita


Laki-laki itu sederhana; dia yang sudi mencintaimu apa adanya.
.
“Mas Rafli lagi ngapain?” Rafli menyiapkan segala keperluannya pagi ini. Suara lembut tidak menghentikan cekatan tangannya memeriksa beberapa kertas. Ada acara di sebuah sekolah yang mendapatkan proyek bantan pemerintah. Rafli, sebagai pria dengan pekerjaan mencari bangunan yang sekiranya harus mendapat perhatian dari kas negara. Dia bukan pegawai negeri, juga bukan lelaki dengan tumpukan kertas, pensil runcing serta penggaris. 
.
“Siang ini Mas harus sampai ke Gunung Kidul. Tim sudah ada di sana, pak Gubernur nanti juga datang. Sedangkan Mas harus presentasi tentang kebutuhan-kebutuhan material.”
.
“Bukankah laporan yang sudah kuketik kemarin ada semua?” tanya Nania keheranan.
.
Rafli membuka notebooknya. Mencari tulisan di layar windows; SEKOLAH ALAM, lalu membukanya. Meneliti kembali setiap tulisan dengan kertas-kertas yang dia pegang. Sama, bahkan file di notebook ini sudah berwarna-warni. Lengkap dari susunan pengurus sampai dana anggaran. “Dek, kamu mengerjakan ini semua?” tanya Rafli dengan wajah sumringah.
.
Nania mengangguk, “Mas kemarin kehujanan. Kertas-kertas itu basah sebagian. Aku berusaha mengeringkan tapi sebelum benar-benar kering kulihat tulisannya malah mengabur. Ya sudah, aku buatkan di excel saja, takut kalau sudah kering malah hilang dan gak bisa dibaca.”
.
Rafli tidak bisa berkata apa-apa lagi. Langsung memeluk istrinya yang duduk di kursi roda. Mengucapkan terima kasih lewat hatinya. Selama ini, dia berusaha mengembalikan semua momen kebersamaan mereka dulu. Tapi Rafli kalah oleh takdir, Nania tidak mengingat apapun. Semakin dipaksa, Nania hanya merasakan sakit di kepalanya. “Mas lebih baik mandi dan bersiap-siap. Aku akan membereskan meja ini dan membantu menyiapkan sarapan. Meja kompor buatan Mas kemarin sudah kucoba dan sangat nyaman. Dan juga untuk meja kecil itu,” Nania menunjuk ke sebelah kanan, “sangat pas untuk memotong sayuran dan mengulek bumbu.”
.
Kenangan adalah sesuatu hal yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan. Sepahit apapun, semanis apapun, tetap saja mereka melekat meski berusaha untuk tidak diingat. Tapi berbeda, ketika Tuhan memberikan pilihan lain, mengganti kenangan dengan sebuah ujian lalu memberikan hal-hal baru untuk dirangkai bersama.
.
Saksikan Cinta Laki-Laki Biasa, di bioskop kota tempat anda berdiri sekarang. Jika tidak ada, larilah ke tetangga, membeli tiket lalu bertemu dengan penulisnya. Film serentak tayang di negara tercinta Indonesia, tanggal 1 Desember 2016. Bunda Asma Nadia akan melakukan roadshow di beberapa kota; Solo, Jogja, Surabaya dan Malang. Laki-laki boleh juga kok nonton film ini, apalagi yang jomblo, biar gak ketinggian pasang kriteria. Dan perempuan, wajib dan harus nonton, apalagi yang lagi di status penantian, “Ya Allah, sisakan satu ikhwan seperti akang Rafli dong.”
.
Saya Asmanadians, cerita di atas di luar isi novel dan adegan film itu sendiri. Hanya sedang melakukan tugas promosi film-film yang bermanfaat bagi kaum jomblo.
.
Saya jomblo, ada masalah?
.
Barakallah ^^
.
Klaten, 29 November 2016
#nunox90

Sabtu, 15 April 2017

PENJARA BAGI LAKI-LAKI TAK BERNAMA











Pipi tirus pria ini sedikit mengecewakanku. Berharap mendapatkan klien tampan adalah motto pertama. Tapi mata bantengnya tak bisa berpura-pura. Dia rupawan dan alisnya tebal. Ada luka mengiris iris tipis di pelipis. Masih merah dan aku yakin itu karena perlawanan. Kulepas borgolnya, dia menggeliat, urat-uratnya berbunyi. Aku disuguhi otot kekar -tipis- dan rahang kokoh meski tak sebaik binaragawan. Wajah lebamnya masih terlihat, sejak dua hari lalu dia membuat kegaduhan. Mataku terus mengawasi cara dia menyedot semua zat nikotin itu melewati bibirnya. Cara dia memegang tembakau yang digulung ke dalam kertas dan dicampuri zat penikmat. Dia memesan, aku berikan. Apapun keinginannya adalah perintah. Dia bak bocah tengik saat merayu.

“Kau sudah datang ke Batu Caves?”
“Tentu sudah, Sir. Sesuai permintaan Anda, aku ke sana untuk menemui seseorang.”

Dia mengelus-elus dagu tak berhelai rambut itu. Matanya selalu menewaskan. Dia selalu di posisi membidik, seperti pemburu yang mengintai buruannya. Dan aku bukan perempuan pandir. Kewarasanku masih utuh untuk jatuh dalam pesonanya.

“Aku membanting dia dulu setelah lidahnya berhasil menyicipi istriku. Dia bangsat! Setelah negosiasi beberapa kali, laki-laki plontos itu masih punya nyali.”

“Laki-laki itu sekarang sudah tumbuh uban. Meskipun beliau duduk di kursi roda tapi kata-katanya adalah titisan Tuhan. Anda kalah telak dari dirinya, Sir. Mantan istri Anda sudah bahagia di alam sana.”

Dia langsung menggebrak meja. Mata buasnya memelototiku. Tangan kanan mengepal begitu juga jemari kirinya, memegang pinggiran meja kuat. “Jangan main-main denganku, perempuan sundal! Kau salah menembak orang jika ingin menyudahi permainan!”

Kukeluarkan lembaran-lembaran bukti sebagai penguat. “Sir, Anda tertahan di sini sudah belasan tahun. Tak mendapat remisi dan tak dibiarkan keluar sel. Kelakuan Anda di dalam tahanan tak ubahnya pemburu yang dikelilingi buruan. Setiap tahun puluhan jiwa melayang karena kedua tangan Anda. Aku tak bisa mentolerir sikap Anda untuk saat ini.”

Meja terlempar tepat ke samping kanan tubuhku. Dua petugas penjaga sudah bersiap menarik senjata dari pinggang mereka. Aku mundur dua langkah, memberi kode dengan jemari kanan kepada dua polisi di luar sel tadi. “Sir, mari duduk dan membicarakan ini. Ceritaku belum memasuki babak akhir.”

Pria berpipi tirus itu kembali ke tempat duduk. Dia hanya perlu meluapkan kekesalan. Karena harapan tak sesuai dengan kenyataan. Kembali bergulat pada file-file yang sudah kususun menjadi sebuah film. Sambil bercerita bagaimana perjalananku ke negeri Jiran untuk mendapatkan semua informasi. “Sir, orang yang pernah Anda ceritakan tinggal di suatu tempat di Klang sudah pindah. Dia mendiami sebuah rumah di Brunei Darussalam. Tepatnya dia dilindungi oleh pihak kerajaan. Dia saksi hidup atas pembantaian yang Anda lakukan dulu. Saat ini, dia bahagia bersama anak-anak adopsinya.”

“Bangsat!” Bertahun-tahun aku hidup bersamanya dalam kemiskinan. Kini dia tidur di ranjang emas!”
“Dan lagi, Sir. Thailand melindungi gadis kecil yang Anda sekap dulu. Namanya berubah menjadi Ma Jung Nam. Setelah operasi plastik beberapa kali, dia berhasil keluar dari kondisi kritisnya. Selama tiga tahun gadis itu hidup di Korea Selatan untuk pengobatan. Kini gadis itu berubah menjadi artis papan atas.”

Bibir tipis itu mengeluarkan tawa, lepas. Suaranya berisik, seperti tabuhan iring-iringan kematian saat mengantarkan peti mati masuk alam penantian. “Gadis itu adalah anakku, dengan salah satu wanita tercantik di Thailand sana.”

Kembali berkutat dengan qwerty yang kusangga dengan kedua paha. Layar terang sudah menampilkan beberapa rekaman yang kususun menjadi tontonan. “Sir, ini adalah hadiah kecil dariku. Aku tidak bisa menemani waktu-waktu terakhir Anda. Terima kasih, semua perjalanan menulusuri kisah Anda sangat berharga untukku. Anda adalah laki-laki yang baik, tapi hidup tak mampu mengubah diri Anda ke arah lebih baik.”

Layar LCD menampilkan orang-orang yang dia kasihi. Sebuah pesan berantai dari orang-orang yang dulu pernah dia cintai. Setidaknya, dia punya memori indah saat bertemu malaikat kematian nanti.






Klaten, 28 Desember 2016

Jumat, 14 April 2017

BEDAK







Perempuan itu cantik karena mereka selalu ingin terlihat menarik.


Dia sudah mengganti penadah siklus darah kotornya saat mandi pagi. Dengan riang, mematut wajah di cermin lalu memainkan bibir sebentar. Hidungnya tak lebih mancung dari semalam. Sembari tersenyum kepada bayangannya sendiri, dia mengoleskan deo-lotion di kedua ketiak. Memutarkan jari telunjuk di sana, agar terserap. Gadis itu meringis ketika tak sengaja menggigit lidah. Dia suka mengabsen satu per satu giginya ketika bercermin. Dan tak sengaja, gigi tajam geram.

Mata bundar, banyak orang bilang sorotnya menandakan kesetiaan. Siapa sangka dia masih sendiri. Bisa saja karena sedang diuji, atau menyiratkan kuatnya bertahan. Setiap mata punya rahasia yang tidak bisa diterka. Begitu juga hati, tak ada yang tahu kecuali dia sendiri dan Illahi. Kamar masih perlu perhatian. Setidaknya sisa gulat sendirian di kamar masih ada bekas. Selimut, bantal dan semua yang berada di atas ranjang masih berantakan. Hanya melirik lalu kembali menikmati bentuk wajah dalam pantulannya. “Apakah sudah saatnya aku merias diri?” Dia mendekati meja samping ranjang. Make up dengan berbagai merk tak berjejer rapi di sana. “Bedakku masih utuh, sayang kalau disimpan lama.”

Dia berlari kecil kembali ke depan cermin, mengoleskan sebuah krim ajaib. Siang malam harus dipakai, sesuai brosur pemakaian krim bisa mengubah kulit legam menjadi cerah. Aneh saja, mengajak memakai teratur berarti boros pemakaian lalu beli lagi, pikirnya. Gadis itu jarang berdandan, biasanya hanya peeling berlanjut ke masker. Kulit eksotis masih alami, tak pernah didarati pewarna.

“Pijat … pijat terus pijat.” Dia berceloteh sendiri. Mengikuti cara pemakaian, setelah diolesi pijat area wajah sebentar sampai krim itu meresap. “Cermin … cermin ajaib, apa aku cantik?”

Senyuman mengembang, dia sedang memainkan peran sebagai Ratu Ravenna. Gila kecantikan, ah tidak, dia pemuja kecantikan. Rela menghalalkan semua cara agar cantiknya tidak terkalahkan. Cantik itu identik dengan perjuangan, harus sabar merawat wajah siang malam. “Cantik itu relatif, kalau jelek ....” Dahinya berkerut, “perempuan semuanya cantik. Titik!”

Kedua tangan cekatan menyisir rambut panjang. Dia harus tampak berbeda hari ini.

Bedak sudah disapukan merata, tipis. Ranjang rapi, selimut terlipat, bantal ditumpuk. Gadis itu melepaskan ikatan handuk dari tubuhnya, memakai pakaian dinas.

“Emak mau ke rumah simbah sebentar, goreng tempe buat sarapan!” Teriakan perempuan tertua di rumah itu sedikit mengusik dunianya. Barangkali gadis manis ini sekarang sedang membekali diri, tentang rumah tangga.

Klaten, 11 Januari 2017

MEMBAYAR PENDIDIKAN







Subuh masih belum menyapa. Tapi suasana di dapur sudah gaduh oleh tungku kayu lubang tiga. Tengah memasak nasi dalam kendil, pinggir kiri ada ceret untuk membuat teh, sebelah kanan wajan penggorengan siap untuk menumis lauk sarapan. Kayu terus dilahap api, setiap habis terus ditambah lagi. Sampai air mendidih dan nasi di kendil siap untuk dikaru. Emak tengah mengulek bumbu; garam, bawang merah, bawang putih dan merica.

“Wis tangi, Nduk.”

Begitu sampai di dapur, asap kepulan tungku ada di mana-mana. Melihat Emak menumis bumbu di wajan hitam dengan minyak goreng seadanya, membuatku lapar. Meskipun belum tahu, sarapan pagi ini akan menyantap lauk apa.

“Apa sudah azan, Mak? Jam di kamar rusak. Habis baterainya.”

Aku membuka pintu dapur. Dingin menyeruak. Sayup-sayup suara orang melantunkan dzikir terdengar dari seberang desa. Ternyata subuh belum datang. Kebiasaan orang-orang sepuh sini, membangunkan sesama untuk tahajud atau sekedar penanda sudah jam tiga pagi. Mengitari kebun belakang rumah yang gelap dengan penerangan seadanya. Menimba air, mengisi dirigen untuk keperluan wudhu. Tempat air wudhu buatan tetangga. Dia pasangkan kran di bagian bawah dirigen untuk mengalirkan air. Tempat yang dulu sudah pecah, untuk membeli tempat wudhu yang dari gerabah lagi sepertinya sayang.

Kebun belakang rumah ditanami lompong dan umbi-umbian; ketela, ganyong dan mbili. Bahkan tidak perlu menanam bibitnya. Semua tumbuh begitu saja. Air hujan menumbuhkan alami apa yang sudah tertanam sejak dulu di tanah ini. Tanpa pupuk atau perawatan. Dibiarkan saja, jika perlu untuk dimasak. Ambil secukupnya.

“Wi.”

“Iya, Mak.”

“Ujianmu kapan? Uang bulanan kan belum Mak lunasi.”

Teringat dengan lembar tagihan yang sudah kusimpan dua hari lalu. Sengaja tidak menyerahkan ke Emak. Karena takut kepikiran dan menambah beban. Perlu beberapa lembar uang ratusan untuk melunasi hutang SPP ke sekolah. Belum lagi uang buku dan LKS yang menunggak sejak tiga bulan lalu. Sengaja, aku ingin membayar sendiri dengan uang hasil bekerja saat liburan semesteran nanti. Raport tidak perlu diambil.

“Hari ini aku ujian, Mak. Uang SPP biar aku yang lunasi. Lagipula setelah ujian aku libur tiga minggu. Bisa bekerja di tempat bulek Warsi nanti. Membantu beliau menjahit serbet. Lumayan bisa melunasi tagihan. Uang punya Emak disimpan saja. Untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa.”

“Tapi, Wi. Kamu pasti tidak bisa ikut ujian kalau belum bayar. Gimana dengan nilaimu nanti?”

“Mak, aku tetap ikut ujian, hanya tidak dapat kartu ujian saja. Jika terpaksa tidak ikut pasti sekolah memberi keringanan. Paling disuruh tandatangan surat perjanjian. Akan melunasi tunggakan itu secepatnya.”

“Ojo isin yo, Nduk. Emakmu memang ora isoh nyukupi butuhmu.”

“Kita kan gak nyuri, Mak.” Kuletakkan ember berisi air yang kubawa dari sumur tadi. “yang penting Allah memberi rasa cukup.”

Azan merayap, memenuhi sudut-sudut kediaman dengan panggilan. Kusambar mukena di balik pintu. Lalu mengetuk kamar sebelah, membangunkan anak laki-laki tertua di rumah ini. Teringat dengan pesan almarhum bapak. Bangunkan orang untuk salat saat kita sudah dalam keadaan siap untuk beribadah.

“Wi.” Kepala Mas Dewa menyembul dari pintu kamarnya.

“Apa?”

“Aku pinjam catatan PRmu. Kemarin aku harus latihan paskibra di kabupaten.”

“Ada di meja. Awas kalau sama persis!” ancamku.

“Lah … sejak kapan aku nyontek jawabanmu?” tanyanya.

“Ayo nyang masjid. Gelak iqomat.”


Rumput halaman rumah basah oleh embun. Menapak kelengangan jalan di desa. Suara tawa mas Dewa dan Emak terdengar sampai tempat aku berdiri. Rumah bambu beralaskan lantai tanah menjadi pelengkap kebersamaan kami. Tuhan melengkapi semua rasa kurang dengan kesabaran. Jika pun di mata orang lain kami dilihat selalu kekurangan. Rasa syukur melengkapi perjuangan dalam meniti kehidupan.

Barakallah ^^

Klaten, 11 November 2016

Kamis, 13 April 2017

MAS, SUDAHI KEMESRAAN INI!







“Aku malu, Mas.”

Konsekuensi dari kejujuran ini mungkin akan mempersulit hubungan kami. Bagaimanapun, suami istri mempunyai tanggungjawab untuk saling mengingatkan. Bercerita masalah yang janggal dan mengusik hubungan. Sekali pun menyakitkan. Kurasa lebih baik mengungkapkan apa yang dirasa. Rumah tangga di awal pernikahan memang menyenangkan. Salah langkah permulaan bisa mengakibatkan luka di tengah jalan.

Dua bulan lalu, dia mempersuntingku. Meski jauhnya kota tempat kita berada dan umur terpaut tiga tahun, tidak menyurutkan langkahnya untuk datang ke rumah. Dia masih muda, rasa senangnya masih menggebu-gebu. Sesekali bisa diredam. Dan lebihnya, sering diumbar. Sebagai istri, kendali tentu di bawah suami. Tapi bukan berarti harus berdiam diri ketika ada yang salah dalam melangkahkan kaki. Mungkin tujuannya baik, berbagi kebahagiaan. Tapi hatiku tetap tidak tenang, ketakutan akan riya’, keresahaan atas pikiran orang-orang.

“Kenapa harus malu. Toh, kita sudah halal,” sahutnya dengan nada kesal.

“Kegiatan halal yang tidak harus diterangkan, Mas. Allah menutupi aib-aib kita, kenapa harus membuka hal-hal privasi kita,” lirihku, menunduk.

“Dek … tujuanku itu baik. Biar banyak didoakan dan menyemangati para jomblo dalam pencarian. Aku pernah dalam posisi itu, dan sangat menyakitkan.”

Seorang suami memang harus ditaati. Sadar dengan kewajiban itu, aku lebih memilih menghentikan obrolan. Keras kepala, batinku. “Aku juga pernah mengalami masa penantian. Berharap kepada seseorang yang pernah kusebut namanya dalam doa. Tapi Allah menakdirkan lain. Sakit memang, apalagi melihat momen-momen bertebaran di beranda media sosial. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama semakin menjengkelkan. Dia bahagia, di atas rasa sakitku atas takdir yang tidak memihak. Bukan iri, Mas. Tapi ini sebuah ketidakberdayaan dalam menyukai seseorang.”

“Aku takut, ada orang-orang yang terluka di balik pernikahan kita. Aku takut, ada orang-orang yang menangis saat membaca momen kemesraan kita. Mereka saudara muslim kita, Mas. Mungkin satu dua pernah berharap kita menjadi pendampingnya. Mereka juga sama seperti kita, punya rasa.”

“Aku tidak ingin mendikte Mas dalam mengungkapkan sebuah perasaan. Tapi aku malu, karena Allah sudah menutupi seluruh aib-aibku.”

“Kamu risih?” Mas Putra memandangku lekat.

Aku hanya tersenyum, “Kan sudah dijelaskan tadi. Sudahlah, Mas tidak mendengarkan, kan?”

“Mungkin bahagianya kelewatan,”

“Tapi tidak untuk diumbar-umbar. Malu, Mas. Takut juga dibilang pamer. Sekalipun halal, kita mesti jaga perasaan orang.”

“Perasaan siapa yang kamu jaga? Mantan?” tanyanya penasaran.

“Loh, kok nyasar ke situ? Aku mau mandi. Laki-laki kalau dinasehatin, ndableg!”

Percuma sepertinya, tapi lebih baik sudah jujur daripada diam dan menyimpan murka. Kata buku, perempuan itu tidak pandai menyimpan cemburu. Ya, benar. Aku cemburu bila masa-masa kemesraan kita diketahui banyak orang. Takut bila satu dua orang merasa didzolimi. Bukan doa tapi malah sengsara yang ada. Sibuk menjelaskan ke orang bahwa tulisan-tulisan ini berbau fiksi semata. Padahal realita berbau dosa.


Barakallah ^^

Klaten, 23 Oktober 2016

MANTRA






Sepertinya tadi malam aku salah merapalkan mantra. Kini, dia berubah menjadi tampan. Sial, halaman yang kubaca tergesa saat diucapkan. Peringatan dengan kalimat berhuruf miring serta diblok tidak terekam mata. Sekarang, hari panjang menanti. Jika tidak salah, seminggu ke depan wajah itu akan membuat hariku muak. Seharusnya dia menjadi laki-laki culun, penuh jerawat di sekitaran wajah.

Memandang lembaran novel sepertinya lebih mengasyikkan. Teriakkan memenuhi lubang telinga. Semua perempuan di sekolahan ini selalu menyebut namanya. Anggap saja, kali ini aku lalai balas dendam. Sudah dua kali, mantra meleset. Sedangkan dia sudah berkali-kali mengerjaiku, dari warna rambut yang tiba-tiba berwarna putih saat masuk kamar mandi sekolah sampai gatal di sekujur badan dan itu mengakibatkan bau.







“Kau memelototi dia, mantramu juga tidak bekerja,” ujar Naina. “Lebih baik kau cari mantra ulang. Siapa tahu bisa kena.”

Mantra ulang? Aku pernah mendengar beberapa kali rapal itu diucapkan oleh seseorang dulu. Sayang, di buku itu tidak dituliskan. “Kamu hapal mantra itu, Na?”

Naina memandangku lalu tertawa, terlihat seperti mengejek, “Saina, sejak kapan aku hapal mantra. Aku tahu mantra pembunuh. Otakku terlalu sulit untuk menyimpan kalimat panjang mantra yang ada di buku itu.”

“Atau jangan-jangan dia memakai mantra tolak? Setahuku mantra yang di buku itu tidak bisa ditolak.”

“Kau yakin? Setahuku bisa dengan mantra tolak bala.”

Aku semakin penasaran, “Mantra tolak bala? Apa itu?”

Jemari lentik Naina menyentil hidungku, “Hei, bodoh. Itu diajarkan di tingkat dasar saat kita masuk sekolah alam. Kau lupa?”

Mataku menerawang ke kisah lalu. “Tapi itu untuk mantra sederhana. Kalau berat tidak ampuh. Kau lupa ya?”

Kami berdua kembali memikirkan penyebab mantra itu tertolak dan berubah menjadi hal baik. “Haa … itu ternyata!” seru kami berbarengan.

Rahasia besarnya sudah didapat. Ada satu kalimat yang membuat mantra ini tak bisa mengenainya. “Kalian baikan saja.” Naina melirikku, “dia sudah memberi sinyal menyudahi peperangan mantra. Kau pernah mendengar dongeng seperti ini saat kita kecil dulu; Putri yang mengucapkan mantra tapi tertolak karena cinta maka mereka dipastikan hidup bersama.”


Klaten, 08 Januari 2017

Rabu, 12 April 2017

Penyakit "Musiman" Menjelang Hari Ujian Akhir Nasional di Indonesia






Pertama
Berusaha menjadi sholeh dan sholehah sejak satu bulan atau dua minggu sebelum hari ujian. Bukan gosip tapi fakta seakan semua murid di negeri ini yang duduk di bangku akhir sekolah ( 6 SD, 9 SMP, 12 SMA ) berlomba untuk datang ke rumah-rumah ( baca Masjid ) Alloh untuk mendekatkan diri dan berdo'a agar diberi kemudahan. Banyak caranya, yang sering kali dilakukan sholat tahajud ( la'il / malam ) setiap hari, sholat dhuha juga akan hampir dilakukan tiap hari, tilawah ( membaca Al Qur'an ) juga tidak absen tiap malam, Al Ma'tsurot pagi dan malam, bersujud lebih lama untuk memanjatkan do'a ke Illahi, banyak berdzikir baik setelah sholat ataupun di kelas. Masih ada lagi usaha untuk menjadi sholeh dan sholehah dalam penyakit musiman ini? Sebutkan,

Kedua
Murah senyum dan berusaha menghormati guru. Siswa yang akan melaksanakan ujian, pikiran dan hatinya akan berusaha untuk menenangkan perasaannya agar merasa cukup "bahan" untuk menghadapi soal - soal ujian akhir. Dengan menuruti semua perintah dari sang guru, begitu juga wejangan - wejangan beliau, siswa akan merasa sedikit tenang dalam membayangkan soal - soal apa yang akan keluar. karena sebagai guru apalagi yang bertugas sebagai guru di tingkat akhir akan memiliki tanggung jawab yang porsinya lebih sedikit besar yaitu berusaha membuat lulus siswa didikannya. Para siswa akan lebih murah senyum baik kepada semua guru dan karyawan sekolah juga tak luput berjualan "senyum" kepada adik - adik kelas yang pada hari biasa jarang atau bahkan tidak pernah terjadi. Mau Bukti?
 
 

Ketiga
Menebar kata maaf, hampir ini terjadi hampir disetiap sekolah. Sebelum hari senin yaitu hari minggu atau sabtu sekolah akan mengadakan pesta kecil - kecillan seperti pengajian yang biasanya berisi tausiyah penyemangat. Dalam acara pengajian tersebut selalunya akan ada perwakilan baik dari siswa atau guru yang akan saling meminta maaf jika selama ini selalu menjadi siswa yang "bandel" atau guru yang "killer".
Seorang siswa akan berusaha untuk mengirim ucapan kata maaf ke semua teman satu angkatan yang ia kenal, pesannya selalu sama meminta do'a dan dukungan serta maaf karena besok akan menghadapi ujian akhir nasional. Saya waktu mengalami penyakit ini pernah mengirim sms ke semua sahabat dan teman ataupun saudara satu kampung untuk mendo'akan saya. Anda salah satu siswa yang terjangkit penyakit ini?
 
 

Keempat
Menyadari pentingnya arti kedua orang tua dan keluarga dalam perjuangannya menjadi seorang siswa. Tidak ada satu pun orang tua didunia ini yang ingin anaknya tidak lulus ujian akhir, kedua orang tua saat tahu anaknya akan mengikuti ujian akhir maka seluruh do'a dan kekuatannya akan mereka berikan untuk si anak. Tentu setiap hari mereka akan meminta sang Illahi agar memudahkan si anak dalam mengerjakan soal, setiap hari sebelum si anak pergi ke sekolah ataupun pulang sekolah akan membuatkan makanan kesukaan sang anak ( kecuali yang kos ). Saat itulah sang anak merasa butuh dukungan dan dekapan hangat dari keluarga.
 
 
Semoga bermanfaat, tetaplah menjadi siswa jujur kebanggaan orang tua.
Cr photos; by google

AZU DI BADAI TOKYO






Detik terus berjalan memaksa menit untuk berpindah. Sesekali matanya melirik benda di pergelangan tangan kanan. Menggerutu lirih lalu menambah kecepatan lari. Dua menit lagi kereta akan tiba, sedangkan dia masih di jalan -atas. Kereta di Tokyo tidak pernah berhenti lama. Nana cemas, dua hari lalu dia sudah terlambat. Jika kali ini terjadi lagi, uangnya tidak akan cukup untuk kebutuhan bulan depan.

Kakinya menuruni puluhan tangga stasiun kereta. Tubuh sudah dipenuhi keringat padahal Tokyo memasuki musim dingin. Nana menoleh ke rel di jalur empat, tak sengaja arah mata melihat jam besar yang tergantung di peron stasiun. Kosong, dia kehilangan kereta pertamanya. Lima menit lagi kereta kedua tiba, tapi tetap saja menit keterlambatan akan mengisi kartu hadirnya.

“Terlambat lagi?” sapa lelaki tua yang sering Nana temui. Memakai rompi oranye dengan topi kerjanya. “Musim dingin yang tidak menyenangkan, bahkan orang setua aku harus bekerja.”
Nana tersenyum, kenal atau tidak baginya sapaan merupakan tanda kepedulian. “Bapak masih sangat muda dan tentunya hobi mengumpulkan uang.”
Gelak mencairkan ketegangan. Nana menyukai cara lelaki tua ini menyapanya setiap pagi. “Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang.”

Seperti mempunyai orang tua, itu lah perasaan Nana. Sejak badai terbesar melanda Tokyo lima tahun lalu, banyak orang kehilangan keluarga. Tidak terkecuali Nana. Dari lima anggota keluarga, hanya dia dan neneknya yang selamat. Nana tidak ingin mengingatnya, sebuah kehilangan itu pasti terjadi. Begitu juga kesempatan, akan selalu diberikan oleh Tuhan.

Kereta cepat meluncur secepat kilat. Suara gesekan kedua logam teredam oleh berbagai tontonan di dalam kereta.

“Moshi … moshi,” jawab Nana setelah mendengar dering benda mungil kesayangannya. “Ah … saya terlambat, Tanaka-san … maaf, obat tidur membuat saya lelap.”
"Bukan itu, Nana-chan … hari ini mungkin aku tidak bisa menemanimu menjaga toko. Aku harus pulang ke desa, ada urusan keluarga. Oh ya, Nana-chan … tutuplah lebih awal jika cuaca tidak mendukung. Dingin sepertinya mulai tidak ramah."
“Baik, Tanaka-san. Semoga perjalanan Anda menyenangkan,” sahut Nana.
"Telfonlah Kou … jika pelanggan banyak. Dia sedang liburan." Pemilik toko mengakhiri perbincangan. Sepertinya pekerjaan akan banyak hari ini.

Nana menghembuskan napas panjang. Tawaran dari Tanaka-san jelas tidak menguntungkan bagi dirinya. Kou adalah seorang manusia yang harus selalu dia ingin hindari.

Nana berjalan pelan setelah keluar dari stasiun. Toko bukunya dua blok dari tempat dia turun. Pucat sudah menghampirinya, semalam dia sedikit demam. “Aku tidak mau mengajak Kou, lebih baik Azu saja. Dia lebih banyak membantu,” usulnya pada diri sendiri. Langkah mantap menuju tempat kerja. Hari ini, buku milik Ai Rie, teman masa SMA dulu tiba di rak toko bukunya. Akan ada buku bacaan baru dan serbuan pemburu buku.

Kou adalah keponakan Tanaka-san. Empat setengah tahun lalu, saat keterpurukan masih menyirami kehidupannya. Kou adalah sahabat yang selalu ada. Menemani Nana untuk melupakan serta mengikhlaskan kehilangan. Masa itu, semua pelajar bersekolah disatukan di tempat sama. Tidak ada perbedaan seragam, hanya kelas saja. Tokyo berbenah setelah hantaman menghilangkan hampir semua bangunan. Tidak mudah karena hampir semua data, buku atau ilmu yang tercatat. Ditelan oleh badai yang membuang semua benda entah ke mana. Saat itu, Tokyo terisolir. Yang selamat adalah transportasi bawah tanah. Badai menerbangkan rumah, mobil, bangunan, dan keluarga.

“Azu,” sapa Nana di telepon.
"Ne … Nee-Chan."
“Bisakah kau datang membantu Nee-chan siang ini? Nanti Nee-chan belikan makan siang dan mainan,” bujuknya. Jemarinya membuka pintu toko. Memencet sebuah tombol, semua tirai jendela terbuka. Menghidupkan pemanas, lalu berjalan ke meja kasir. “Paman sedang pulang ke desa, dia memintaku untuk mencari teman.”
"Kou-Oni chan lebih kuat mengangkat kardus-kardus itu, Nee-Chan. Aku terlalu pendek."
“Hei, Nee-chan yang akan mengangkatnya. Mau, kan?”
“Nee-chan harus berbaikan dengan Kou-Oni chan. Seminggu lagi sudah awal tahun, dan kita akan memperingati hari badai.”

Nana bersiap menghidupkan komputer. Perkataan Azu benar, mereka harus menyambung kembali komunikasi yang terputus. “Selalu salah!”

Prediksi Nana tidak salah. Banyak pemburu mengincar buku baru. Ai Rie terkenal dengan novel bergenre science fiction. Selalu laris dan tentunya; sequel. Dia tidak bisa menata kembali buku-buku di raknya. Mesin kasir harus dijaga. Terlalu banyak pengunjung memadati toko. Nana benar-benar melupakan makan siangnya.

“Nee-chan?”
“Oh … Azu. Kau membeli sesuatu?” Anak itu menggeleng, “kau membawa buku.” Tunjuk Nana. ”Ingin dibayar sekarang?”
“Tidak, aku ingin membantu.”
“Oh syukurlah, kau bisa mengawasi pembeli, Azu. Aku kira kau tidak datang.”
“Aku datang Nee-chan.” Azu tersenyum, “bersama Kou-Oni chan.”

Mimik Nana perlahan berubah tidak bersemangat.

Mereka terlalu sibuk untuk menyapa satu sama lain. Tokyo hanya memiliki beberapa toko buku setelah pemulihan besar-besaran. Tanpa bantuan asing, pemerintah berusaha tegak dengan tangan sendiri. Walaupun pelan, tapi napas-napas semangat itu kembali. Bangun dari tanah yang bercampur kematian.

Dan senja Tokyo mulai mempersilakan malam datang.

“Tak kusangka pembeli akan membeludak saat buku serial milik Ai Rie datang.” Nana masih duduk di kursi meja kasirnya. Perutnya keroncongan. Pesan lelaki tua di kereta tadi pagi hanya mampu dituruti dengan senyuman.
“Makanlah, ini makan malammu.” Tangan Kou memegang kotak bekal sederhana. “Tidak ada racun dan tentu tidak akan membuatmu sakit perut.”
“Aku tidak mau!” jawab Nana.
“Azu sedang makan, dan ini masakan lezat,” bujuk Azu sembari mengunyah. Dia mendekati tempat di mana mereka saling memandang meski tak bertukar mata. “Ayolah, baikan saja. Badai Tokyo sebentar lagi memasuki usia ke lima, Nee-chan.”
“Apa kau tidak sakit perut?” bisik Nana di telinga Azu.
“Akhiri salah paham Nee-chan dan Oni-chan. Tahun baru sudah minggu depan, aku harap ada adik baru berlari-lari di toko ini lalu memanggilku, ‘Nee-chan … bacakan buku ini.’ Aku ingin menjadi pendamping pengantin kalian.” Anak itu mengerti tentang harapan.

Wajah-wajah canggung itu berubah dalam sekejap. Kebencian yang menaungi menjadi sebuah harapan. Semu merah di ke empat pipi, menandakan masih ada rasa yang tertinggal meski sudah terkubur lama. Sekarang ia tumbuh dalam bentuk kecambah, bersiap menjadi pohon dan menguatkan akarnya.


Klaten, 15 Januari 2017
Cr photo; by google

Kamis, 06 April 2017

MIE REBUS DAN LIMA BELAS RIBU



Masih jam lima sore. Perempuan beruban tiduran sembari melihat acara percintaan remaja di televisi. Tersenyum-senyum sendiri. Aksi kocak laki-laki di layar kaca menjadi hiburannya. Seperti sinetron, ia membatin. Mengejar cinta dari perempuan maya lalu dihadirkan ke program layar kaca.
Dengan tenang, ia mengganti acara televisi. Mencari tayangan yang layak dijadikan tontonan. Kali ini ada sebuah siaran audisi. Meski berbahasa inggris, ia menikmati gerik atau suara peserta di panggung. Ada yang menyanyi menggunakan bahasa yang sama sekali tak ia pahami. Begitu juga boneka berbicara, penonton dalam televisi terbahak. Namun ia diam saja menikmati cerita. Sesekali bola mata melihat translate. Benar, ia kurang cepat membaca terjemahan di layar. Jadi tidak paham apa yang terjadi di tayangan.
“Mak, jadi beli obat buat Bapak?” Titin baru saja selesai mandi. Seharian di rumah membuatnya enggan membasuh badan. Irit, jika tidak ada kegiatan di luar, kenapa harus mandi pagi. Terlalu banyak tagihan air, juga akan memberatkan ibunya.
“Kalau jadi sekalian beli gula pasir,” sahut Mamaknya. Ia mencari hiburan lain lagi di kotak besi listrik. Memindah-mindah program. Jika yang tayangan tadi sedang iklan, pindah ke stasiun televisi lain.
“Gula pasir berapa, Mak?” teriak Titin dari kamar.
“Setengah kilo saja,” jeda sebentar. Perempuan beruban itu berdiri mengambil dompet yang ia simpan di tas. Tergantung di dinding, dekat ranjang bambunya. “Sama beli mie rebus kesukaanmu.”
“Warungnya sudah tutup, Mak.”
“Beli di tempat lain kan bisa.”
“Yang mie rebus rasa itu cuma ada di warung itu.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Yang penting dapat gula juga obat buat Bapakmu.”
Titin bergegas memakai kerudung, jaket lalu kaos kaki. Mengambil uang yang diletakkan di tempat rebahan ibunya. Ia juga ingin mengecek saldo ATM, siapa tahu bertambah.
“Mak, cuma lima belas ribu?” Titin ikut duduk di ranjang. Melihat tontonan sebentar. “Emang cukup, Mak?”
“Obat punya Bapakmu harganya berapa?” tanyanya sembari mengambil dompet lagi. “Uang listrik kemarin belum kembali lagi, uangnya cuma ada itu.”
Titin tidak menjawab lagi. Mungkin ia harus menahan sebentar keinginannya untuk makan mie. Padahal sudah sangat ingin dari seminggu lalu.
=====
Titin mengayuh sepeda federalnya ke bank. Tidak terlalu jauh, kira-kira lima ratus meter. Sepanjang jalan ia terus saja menunduk. Tidak lupa tersenyum jika dirasa ada tetangga yang menyapa atau bersua di jalan. Setelah merantau, ia jarang keluar rumah. Ada rasa takut, canggung dan malu yang bercampur menjadi satu. Ia normal, gadis dua puluh lima tahun dengan paras wajah desa. Mata bundar, pipi berisi, hidung bangir. Memiliki warna kulit sawo matang dan selalu berpakaian sederhana.
Titin bukan gadis biasa. Hatinya punya asa.
Sesampai di bank, ada beberapa orang mengantri. Titin duduk di emperan. Matanya melirik seorang gadis manis yang terduduk di atas motor. Ia menghela napas, menyayangkan helai hitam gadis yang dilihatnya. Jika boleh menegur, begitu sayang warna merah pada rambut hitamnya.
Motor lalu-lalang di jalan. Titin menatap seraya berdoa.
“Ya Allah, berikan sebuah kabar baik, untuk Emak.”
Nihil. Angka itu masih sama dengan saldo beberapa bulan lalu. Titin sudah berdiri di depan mesin ATM. Melihat saldo lalu menilik pilihan lain. Pulsanya sudah habis sejak beberapa minggu lalu.
“Apa gak ada yang sepuluh ribu?”
Titin berbicara sendiri di depan mesin pengambil uang itu. Mengurungkan niatnya meski jika mengisi pun uang di ATM masih akan tersisa puluhan ribu. “Kabar baik untuk Emak belum ada.”
Dan ia keluar dengan wajah kecewa. Sebuah doa tidak harus dijawab sekarang juga. Lain kali atau jangan-jangan diganti yang lebih baik lagi. Rejeki tidak akan pernah lari. Jatahmu mungkin untuk sekarang masih tertahan atau karena belum waktunya.
Sepeda dikayuh melewati beberapa pedagang makanan sore. Titin menoleh sebentar, ia kangen dengan tahu isi dan mana tahan.
Hatinya tak tega, amanah Mamak terus terngiang. Hanya mie rebus, obat buat Bapaknya juga gula pasir setengah kilo.
Kayuhan berhenti di halaman apotek. Titin melepaskan alas kakinya. Menunggu pembeli di depannya sebentar.
“Mbak, ada yang perlu dibantu?” tanya pelayan ramah.
“Iya, Mbak,” jawab Titin, “ada obat buat sakit kecethit boyok, Mbak?”
Pelayan dengan khimar coklat diam berpikir. “Ada, Mbak. Sebentar.” Ia bergegas mencari obat yang dimaksud Titin. Pelayan memberi tiga jenis obat. Titin khawatir jika uangnya kurang.
“Apa tidak bisa satu jenis saja, Mbak?” Pelayan menggeleng. “Kalau begitu ada obat selain yang ini, Mbak?”
“Ada, Mbak. Obat racik, satu sachet sekali minum dua ribu.”
Titin kembali menghitung uangnya. “Ya sudah, Mbak. Aku ambil obat ini saja.”
Titin langsung pulang ke rumah. Pesan Mamaknya ia kesampingkan. Mie rebus dan gula pasir tidak terbeli. Harga obat milik bapaknya diluar perhitungan. Uang yang tersisa hanya satu lembar seribuan. Membayangkan malam ini makan mie rebus kesukaan hanya meninggalkan harapan.

Klaten, 21 Januari 2017