Powered By Blogger

Rabu, 12 April 2017

AZU DI BADAI TOKYO






Detik terus berjalan memaksa menit untuk berpindah. Sesekali matanya melirik benda di pergelangan tangan kanan. Menggerutu lirih lalu menambah kecepatan lari. Dua menit lagi kereta akan tiba, sedangkan dia masih di jalan -atas. Kereta di Tokyo tidak pernah berhenti lama. Nana cemas, dua hari lalu dia sudah terlambat. Jika kali ini terjadi lagi, uangnya tidak akan cukup untuk kebutuhan bulan depan.

Kakinya menuruni puluhan tangga stasiun kereta. Tubuh sudah dipenuhi keringat padahal Tokyo memasuki musim dingin. Nana menoleh ke rel di jalur empat, tak sengaja arah mata melihat jam besar yang tergantung di peron stasiun. Kosong, dia kehilangan kereta pertamanya. Lima menit lagi kereta kedua tiba, tapi tetap saja menit keterlambatan akan mengisi kartu hadirnya.

“Terlambat lagi?” sapa lelaki tua yang sering Nana temui. Memakai rompi oranye dengan topi kerjanya. “Musim dingin yang tidak menyenangkan, bahkan orang setua aku harus bekerja.”
Nana tersenyum, kenal atau tidak baginya sapaan merupakan tanda kepedulian. “Bapak masih sangat muda dan tentunya hobi mengumpulkan uang.”
Gelak mencairkan ketegangan. Nana menyukai cara lelaki tua ini menyapanya setiap pagi. “Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang.”

Seperti mempunyai orang tua, itu lah perasaan Nana. Sejak badai terbesar melanda Tokyo lima tahun lalu, banyak orang kehilangan keluarga. Tidak terkecuali Nana. Dari lima anggota keluarga, hanya dia dan neneknya yang selamat. Nana tidak ingin mengingatnya, sebuah kehilangan itu pasti terjadi. Begitu juga kesempatan, akan selalu diberikan oleh Tuhan.

Kereta cepat meluncur secepat kilat. Suara gesekan kedua logam teredam oleh berbagai tontonan di dalam kereta.

“Moshi … moshi,” jawab Nana setelah mendengar dering benda mungil kesayangannya. “Ah … saya terlambat, Tanaka-san … maaf, obat tidur membuat saya lelap.”
"Bukan itu, Nana-chan … hari ini mungkin aku tidak bisa menemanimu menjaga toko. Aku harus pulang ke desa, ada urusan keluarga. Oh ya, Nana-chan … tutuplah lebih awal jika cuaca tidak mendukung. Dingin sepertinya mulai tidak ramah."
“Baik, Tanaka-san. Semoga perjalanan Anda menyenangkan,” sahut Nana.
"Telfonlah Kou … jika pelanggan banyak. Dia sedang liburan." Pemilik toko mengakhiri perbincangan. Sepertinya pekerjaan akan banyak hari ini.

Nana menghembuskan napas panjang. Tawaran dari Tanaka-san jelas tidak menguntungkan bagi dirinya. Kou adalah seorang manusia yang harus selalu dia ingin hindari.

Nana berjalan pelan setelah keluar dari stasiun. Toko bukunya dua blok dari tempat dia turun. Pucat sudah menghampirinya, semalam dia sedikit demam. “Aku tidak mau mengajak Kou, lebih baik Azu saja. Dia lebih banyak membantu,” usulnya pada diri sendiri. Langkah mantap menuju tempat kerja. Hari ini, buku milik Ai Rie, teman masa SMA dulu tiba di rak toko bukunya. Akan ada buku bacaan baru dan serbuan pemburu buku.

Kou adalah keponakan Tanaka-san. Empat setengah tahun lalu, saat keterpurukan masih menyirami kehidupannya. Kou adalah sahabat yang selalu ada. Menemani Nana untuk melupakan serta mengikhlaskan kehilangan. Masa itu, semua pelajar bersekolah disatukan di tempat sama. Tidak ada perbedaan seragam, hanya kelas saja. Tokyo berbenah setelah hantaman menghilangkan hampir semua bangunan. Tidak mudah karena hampir semua data, buku atau ilmu yang tercatat. Ditelan oleh badai yang membuang semua benda entah ke mana. Saat itu, Tokyo terisolir. Yang selamat adalah transportasi bawah tanah. Badai menerbangkan rumah, mobil, bangunan, dan keluarga.

“Azu,” sapa Nana di telepon.
"Ne … Nee-Chan."
“Bisakah kau datang membantu Nee-chan siang ini? Nanti Nee-chan belikan makan siang dan mainan,” bujuknya. Jemarinya membuka pintu toko. Memencet sebuah tombol, semua tirai jendela terbuka. Menghidupkan pemanas, lalu berjalan ke meja kasir. “Paman sedang pulang ke desa, dia memintaku untuk mencari teman.”
"Kou-Oni chan lebih kuat mengangkat kardus-kardus itu, Nee-Chan. Aku terlalu pendek."
“Hei, Nee-chan yang akan mengangkatnya. Mau, kan?”
“Nee-chan harus berbaikan dengan Kou-Oni chan. Seminggu lagi sudah awal tahun, dan kita akan memperingati hari badai.”

Nana bersiap menghidupkan komputer. Perkataan Azu benar, mereka harus menyambung kembali komunikasi yang terputus. “Selalu salah!”

Prediksi Nana tidak salah. Banyak pemburu mengincar buku baru. Ai Rie terkenal dengan novel bergenre science fiction. Selalu laris dan tentunya; sequel. Dia tidak bisa menata kembali buku-buku di raknya. Mesin kasir harus dijaga. Terlalu banyak pengunjung memadati toko. Nana benar-benar melupakan makan siangnya.

“Nee-chan?”
“Oh … Azu. Kau membeli sesuatu?” Anak itu menggeleng, “kau membawa buku.” Tunjuk Nana. ”Ingin dibayar sekarang?”
“Tidak, aku ingin membantu.”
“Oh syukurlah, kau bisa mengawasi pembeli, Azu. Aku kira kau tidak datang.”
“Aku datang Nee-chan.” Azu tersenyum, “bersama Kou-Oni chan.”

Mimik Nana perlahan berubah tidak bersemangat.

Mereka terlalu sibuk untuk menyapa satu sama lain. Tokyo hanya memiliki beberapa toko buku setelah pemulihan besar-besaran. Tanpa bantuan asing, pemerintah berusaha tegak dengan tangan sendiri. Walaupun pelan, tapi napas-napas semangat itu kembali. Bangun dari tanah yang bercampur kematian.

Dan senja Tokyo mulai mempersilakan malam datang.

“Tak kusangka pembeli akan membeludak saat buku serial milik Ai Rie datang.” Nana masih duduk di kursi meja kasirnya. Perutnya keroncongan. Pesan lelaki tua di kereta tadi pagi hanya mampu dituruti dengan senyuman.
“Makanlah, ini makan malammu.” Tangan Kou memegang kotak bekal sederhana. “Tidak ada racun dan tentu tidak akan membuatmu sakit perut.”
“Aku tidak mau!” jawab Nana.
“Azu sedang makan, dan ini masakan lezat,” bujuk Azu sembari mengunyah. Dia mendekati tempat di mana mereka saling memandang meski tak bertukar mata. “Ayolah, baikan saja. Badai Tokyo sebentar lagi memasuki usia ke lima, Nee-chan.”
“Apa kau tidak sakit perut?” bisik Nana di telinga Azu.
“Akhiri salah paham Nee-chan dan Oni-chan. Tahun baru sudah minggu depan, aku harap ada adik baru berlari-lari di toko ini lalu memanggilku, ‘Nee-chan … bacakan buku ini.’ Aku ingin menjadi pendamping pengantin kalian.” Anak itu mengerti tentang harapan.

Wajah-wajah canggung itu berubah dalam sekejap. Kebencian yang menaungi menjadi sebuah harapan. Semu merah di ke empat pipi, menandakan masih ada rasa yang tertinggal meski sudah terkubur lama. Sekarang ia tumbuh dalam bentuk kecambah, bersiap menjadi pohon dan menguatkan akarnya.


Klaten, 15 Januari 2017
Cr photo; by google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar