Powered By Blogger

Kamis, 06 April 2017

MIE REBUS DAN LIMA BELAS RIBU



Masih jam lima sore. Perempuan beruban tiduran sembari melihat acara percintaan remaja di televisi. Tersenyum-senyum sendiri. Aksi kocak laki-laki di layar kaca menjadi hiburannya. Seperti sinetron, ia membatin. Mengejar cinta dari perempuan maya lalu dihadirkan ke program layar kaca.
Dengan tenang, ia mengganti acara televisi. Mencari tayangan yang layak dijadikan tontonan. Kali ini ada sebuah siaran audisi. Meski berbahasa inggris, ia menikmati gerik atau suara peserta di panggung. Ada yang menyanyi menggunakan bahasa yang sama sekali tak ia pahami. Begitu juga boneka berbicara, penonton dalam televisi terbahak. Namun ia diam saja menikmati cerita. Sesekali bola mata melihat translate. Benar, ia kurang cepat membaca terjemahan di layar. Jadi tidak paham apa yang terjadi di tayangan.
“Mak, jadi beli obat buat Bapak?” Titin baru saja selesai mandi. Seharian di rumah membuatnya enggan membasuh badan. Irit, jika tidak ada kegiatan di luar, kenapa harus mandi pagi. Terlalu banyak tagihan air, juga akan memberatkan ibunya.
“Kalau jadi sekalian beli gula pasir,” sahut Mamaknya. Ia mencari hiburan lain lagi di kotak besi listrik. Memindah-mindah program. Jika yang tayangan tadi sedang iklan, pindah ke stasiun televisi lain.
“Gula pasir berapa, Mak?” teriak Titin dari kamar.
“Setengah kilo saja,” jeda sebentar. Perempuan beruban itu berdiri mengambil dompet yang ia simpan di tas. Tergantung di dinding, dekat ranjang bambunya. “Sama beli mie rebus kesukaanmu.”
“Warungnya sudah tutup, Mak.”
“Beli di tempat lain kan bisa.”
“Yang mie rebus rasa itu cuma ada di warung itu.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Yang penting dapat gula juga obat buat Bapakmu.”
Titin bergegas memakai kerudung, jaket lalu kaos kaki. Mengambil uang yang diletakkan di tempat rebahan ibunya. Ia juga ingin mengecek saldo ATM, siapa tahu bertambah.
“Mak, cuma lima belas ribu?” Titin ikut duduk di ranjang. Melihat tontonan sebentar. “Emang cukup, Mak?”
“Obat punya Bapakmu harganya berapa?” tanyanya sembari mengambil dompet lagi. “Uang listrik kemarin belum kembali lagi, uangnya cuma ada itu.”
Titin tidak menjawab lagi. Mungkin ia harus menahan sebentar keinginannya untuk makan mie. Padahal sudah sangat ingin dari seminggu lalu.
=====
Titin mengayuh sepeda federalnya ke bank. Tidak terlalu jauh, kira-kira lima ratus meter. Sepanjang jalan ia terus saja menunduk. Tidak lupa tersenyum jika dirasa ada tetangga yang menyapa atau bersua di jalan. Setelah merantau, ia jarang keluar rumah. Ada rasa takut, canggung dan malu yang bercampur menjadi satu. Ia normal, gadis dua puluh lima tahun dengan paras wajah desa. Mata bundar, pipi berisi, hidung bangir. Memiliki warna kulit sawo matang dan selalu berpakaian sederhana.
Titin bukan gadis biasa. Hatinya punya asa.
Sesampai di bank, ada beberapa orang mengantri. Titin duduk di emperan. Matanya melirik seorang gadis manis yang terduduk di atas motor. Ia menghela napas, menyayangkan helai hitam gadis yang dilihatnya. Jika boleh menegur, begitu sayang warna merah pada rambut hitamnya.
Motor lalu-lalang di jalan. Titin menatap seraya berdoa.
“Ya Allah, berikan sebuah kabar baik, untuk Emak.”
Nihil. Angka itu masih sama dengan saldo beberapa bulan lalu. Titin sudah berdiri di depan mesin ATM. Melihat saldo lalu menilik pilihan lain. Pulsanya sudah habis sejak beberapa minggu lalu.
“Apa gak ada yang sepuluh ribu?”
Titin berbicara sendiri di depan mesin pengambil uang itu. Mengurungkan niatnya meski jika mengisi pun uang di ATM masih akan tersisa puluhan ribu. “Kabar baik untuk Emak belum ada.”
Dan ia keluar dengan wajah kecewa. Sebuah doa tidak harus dijawab sekarang juga. Lain kali atau jangan-jangan diganti yang lebih baik lagi. Rejeki tidak akan pernah lari. Jatahmu mungkin untuk sekarang masih tertahan atau karena belum waktunya.
Sepeda dikayuh melewati beberapa pedagang makanan sore. Titin menoleh sebentar, ia kangen dengan tahu isi dan mana tahan.
Hatinya tak tega, amanah Mamak terus terngiang. Hanya mie rebus, obat buat Bapaknya juga gula pasir setengah kilo.
Kayuhan berhenti di halaman apotek. Titin melepaskan alas kakinya. Menunggu pembeli di depannya sebentar.
“Mbak, ada yang perlu dibantu?” tanya pelayan ramah.
“Iya, Mbak,” jawab Titin, “ada obat buat sakit kecethit boyok, Mbak?”
Pelayan dengan khimar coklat diam berpikir. “Ada, Mbak. Sebentar.” Ia bergegas mencari obat yang dimaksud Titin. Pelayan memberi tiga jenis obat. Titin khawatir jika uangnya kurang.
“Apa tidak bisa satu jenis saja, Mbak?” Pelayan menggeleng. “Kalau begitu ada obat selain yang ini, Mbak?”
“Ada, Mbak. Obat racik, satu sachet sekali minum dua ribu.”
Titin kembali menghitung uangnya. “Ya sudah, Mbak. Aku ambil obat ini saja.”
Titin langsung pulang ke rumah. Pesan Mamaknya ia kesampingkan. Mie rebus dan gula pasir tidak terbeli. Harga obat milik bapaknya diluar perhitungan. Uang yang tersisa hanya satu lembar seribuan. Membayangkan malam ini makan mie rebus kesukaan hanya meninggalkan harapan.

Klaten, 21 Januari 2017


2 komentar: