Powered By Blogger

Selasa, 23 Januari 2018

SEMANGKOK SOTO












Oleh Nanik Haryanti


Fajar menyisihkan beberapa irisan bawang goreng yang sudah nyaman berenang di mangkoknya. Tidak peduli dengan omelan Sri Purwati yang nyaring terdengar dari dapur. Bahwa dia harus  melahap aja saja masakan yang sudah dibuat olehnya. Tapi tetap saja Fajar tidak memperdulikan. Baginya, irisan bawang goreng itu rasanya pahit. Meskipun Sri Purwati sudah menaburi sedikit perasa instan dan sejumpit garam pada irisan-irisan bawang merah goreng yang dibuatnya. Itu tidak membuat Fajar langsung menyukai pemanis makanan yang satu itu.

Lelaki dua puluh lima tahun yang sekarang masih berstatus pengelana pekerjaan. Selama setahun ini Fajar hanya di rumah membantu Sri Purwati merawat ayam-ayam kampung. Ijasah SMK jurusan teknik listrik harus disimpan di lemari tua milik ibunya. Terakhir, sepatu hitam yang dikenakan oleh Fajar adalah sepatu untuk pekerjaannya sebagai debt collector di sebuah bank swasta. Karirnya cukup bagus, didukung oleh rupa yang menambah semangat nasabah untuk membayar cicilannya di bank. Tidak membuat Fajar betah meniti karir di sana. Dia bosan menagih hutang.

Ayam-ayam kampung milik Sri Purwati tidak lebih dari dua puluhan. Mereka adalah peranakan dari ayam peninggalan almarhum suaminya dulu yang tidak boleh dijual. Dua ayam jantan dan tiga ayam betina menghasilkan belasan anak ayam yang kini sudah bisa dinikmati dagingnya. Sri Purwati dengan telaten merawat warisan suaminya. Pesan terakhir dari suami yang selalu diingatnya, “jangan dijual, ayam-ayam ini bisa mencukupi biaya sekolah anak-anak nanti. Jangan pernah dijual.”

Kata-kata yang selalu terngiang saat semangatnya berjuang mencukupi kebutuhan keluarga sudah menipis. Sri Purwati bukan perempuan hebat dengan banyak keahlian. Dia pintar meracik bumbu dan mengolah berbagai masakan. Tapi tidak tahu harus dikemanakan semua hasil olahan yang sering dipuji enak oleh anak-anaknya itu. Hanya untuk perut keluarganya, pikirnya saat itu. Sampai nasib membawanya bertemu dengan orang-orang baik.

“Ibu ... sore ini pesanan diantar ke mana?” seru Fajar.

Sri Purwati tidak menyahut. Fajar membawa mangkok yang sudah habis isinya tadi ke dapur. Meletakkan di ember kecil dekat kran wudhu lalu menghampiri ibunya yang sedang duduk di samping pintu dapur.

Tangan kanan Sri Purwati terampil mencabuti satu per satu bulu ayam kampung yang sudah mati. Disiramkannya air panas dari ceret ke ayam itu tadi dengan tangan kirinya. Sore ini pesanannya harus segera dihantarkan. Sudah pukul dua siang, sedangkan sayuran belum dipotong dan direbus. “Fajar, Ibu boleh minta tolong?”

Fajar yang duduk jongkok di samping Ibunya bersiap ingin membantu membersihkan bulu-bulu ayam langsung mengangguk. Menunggu suara ibunya. “Bantuan apa, Bu? Jangan mengulek lagi. Itu pekerjaan perempuan.”

Sri Purwati mengulas senyum mengingat kejadian beberapa bulan lalu. Waktu itu dia kesiangan. Jam empat pagi baru bangun sedangkan bumbu belum disiapkan sejak sore. Ayam kampung sudah direbus  semalam. Tapi segala macam bumbu belum disiapkan. Terpaksa membangunkan Fajar, anak lelaki satu-satunya. Kedua anak perempuannya masih kecil-kecil, usia sekolah dasar. Dengan gontai Fajar mengupas bumbu yang sudah diperhitungkan Sri Purwati satu per satu. Sesekali dia menguap. Semenjak ibunya memutuskan untuk berjualan. Fajar tidak pernah membantu ibunya di dapur. Tapi hari itu Fajar melihat sendiri bagaimana sosok perempuan yang sudah melahirkannya itu berjuang mencari lembaran rupiah sendiri tanpa seorang suami. Sosok yang sering dipanggil ‘janda’ oleh orang-orang yang tidak mengenal dekat kehidupannya. “Aku kuat bukan rapuh. Aku perempuan dengan amanah tiga anak dari suamiku. Aku tidak akan pernah lari dari kenyataan itu,” ucap Sri Purwati saat orang-orang sangsi dengan kehidupannya setelah suaminya meninggal.

“Bantu Ibu mengupas bawang merah lalu diiris-iris. Ibu harus membuatkan bumbu untuk ayam ini.”
Fajar menatap bawang merah yang ada di besek [1] lama. Sambil mengingat kalimat tadi, ucapan pada bawang goreng yang disisihkannya. “Dasar pemanis tidak bermanfaat.”
========
Sri Purwati menghitung lembaran uang yang diterimanya setelah acara berakhir. Kuah di dandang tidak tersisa. Suwiran ayam, toge, irisan kubis, irisan bawang goreng yang dicampur sedikit irisan sledri ludes. Fajar menggosok luaran dandang  dengan hati-hati agar tak lecet. Itu dandang baru. Dibeli ibu dua bulan lalu. Kredit dari salah satu pedagang pasar kenalannya.

“Ibu belum makan,” ujar Fajar yang melihat ibunya duduk di dingklek [2] dekat tungku kayu.  Masih ada beberapa peralatan dapur yang belum dia cuci. Malam sudah semakin larut. Suara ‘ceguk’ dari burung hantu yang bertengger di pohon samping rumah terdengar jelas.

“Tadi Ibu sudah makan di acara tadi. Ada sisa semangkok soto yang tidak diambil. Ibu makan diam-diam,” jawab Sri Purwati sembari merenggangkan otot-otot kakinya, “ibu harus membuat bawang goreng lagi untuk esok. Tadi kamu sudah beli bawang merah kan, Fajar?”
Sri Purwati harus berjualan soto esok hari. Agar lembaran uang yang dihantarkan ke bank cukup untuk angsuran bulan ini.

“Fajar sudah menggorengnya, Bu. Sudah Fajar simpan di lemari.”

“Gak gosong kan, Fajar?” Sri Purwati panik berlari, membuka lemari tempat menyimpan lauk pauk. Bawang goreng penuh berada di dalam toples kaca. Warnanya cantik seperti senja yang hampir tenggelam.

Sri Purwati langsung lega. Selama ini Fajar tidak pernah mau menyentuh bawang merah dengan alasan hanya mengotori penampilan semangkok soto saja. “Bu, ternyata membuat bawang goreng itu tidak semudah menyisihkannya.”

Fajar tersenyum lebar, “Apa aku mengembangkan usaha Ibu saja ya dari pada menjadi orang kantoran? Soto buatan ibu kan tidak ada duanya.”
Ah, Sri Purwati tidak bisa berkata apa-apa lagi. Doanya terkabul. Doa yang dia haturkan ke Illahi sejak Fajar tidak semangat bekerja lagi. Kini diganti dengan takdir yang lebih baik.

Klaten, 15 Januari 2018

Notes;
[1] Besek : kardus makanan  yang terbuat dari anyaman bambu.

[2] Dingklek : kursi duduk kecil yang terbuat dari kayu.

BUNGA PEPAYA




Ratna menggeleng untuk ke sekian kalinya. Kali ini keputusannya sudah bulat untuk menjawab teka-teki yang selama ini membutuhkan jawaban. Dia memang benar-benar tidak bisa mentolerir beberapa kekurangan yang ada pada diri Aji. Baginya, fase ini adalah fase yang tidak bisa dijadikan permainan. Ratna tidak peduli dengan segala julukan orang untuknya. Apa pun itu dia akan terima. Karena prinsipnya hanya satu; memiliki suami yang sesuai dengan kriterianya. Karena ini hidupnya, perjalanannya. Bukan milik orang lain.
=====================
Uap mengepul dari secangkir teh yang baru saja disajikan oleh Tugiyem. Ketela rebus menemani secangkir teh di meja ruang tamu rumahnya. Pagi masih berkabut. Di halaman, embun-embun masih tertidur, menunggu fajar membangunkan. Tanah sedikit becek sisa hujan sebentar semalam. Pohon mangga sedang berbuah musiman. Kali ini buahnya lumayan banyak untuk dijual. Pintu depan rumah sudah terbuka semenjak lepas sholat subuh tadi. Menunggu kepulangan putri tertua di rumah itu. Putri kebanggaan Tugiyem.

Sudah pukul setengah tujuh tapi jalanan desa masih sepi. Hanya ada ayam dan anak-anaknya yang sedang mencari makan. Kabut masih tertinggal tipis di atas pepohonan. Dari ufuk timur mendung menggantung. Tugiyem berjalan melewati halaman lalu berdiri di pinggir jalan.  Menengok ke kanan serta kiri mencari suara mobil. Anaknya seharusnya sudah sampai. Tapi lengangnya jalan menjawab semua rasa penasarannya. Tugiyem gelisah, berharap tidak ada satu halangan pun di tengah jalan.

“Sebentar lagi hujan, Mak. Menunggu di emperan saja. Mungkin di jalan terjebak macet.”

Tugiman menggandeng Tugiyem untuk duduk di emperan. Istrinya masih gelisah. Sangat terlihat dari raut wajah yang dibalut dengan jilbab merah maroon pemberian menantunya. Tugiyem berdiri. Berjalan pelan-pelan ke halaman rumah mereka yang sebagian becek terisi air hujan.

“Sudah aku bilang, Mak. Tunggu saja di sini. Gerimis,” ujar Tugiman. Tangannya memegang lengan Tugiyem agar tak ke halaman.

Seorang ibu yang sudah rindu kepalang dengan anak semata wayangnya. Hanya bisa menahan sesak di dada saat masa tuanya tidak ada yang menemani. Gerimis turun perlahan. Halaman kembali disinggahi rintikan.


Sepasang suami istri itu memasuki rumah mereka dengan wajah menunduk. Ini sudah hari ketiga mereka menunggu kehadiran putri dan menantunya. Gerimis berubah menjadi guyuran. Deras, seperti netra Tugiyem beberapa hari ini. Rambut putihnya sudah semakin banyak. Bahkan suaminya, Tugiman, tidak ada sehelai pun yang tidak beruban. Dia memikirkan masa tuanya sekarang. Ketakutan jika di masa tua, mereka tidak bisa hidup bersama anak semata wayangnya.

“Telpon Lek Kardi, Pak. Apakah sudah ditelpon sama Ratna belum,” pinta Tugiyem. Tugiman mengeluarkan handphone pemberian anaknya. Mencari nomor telepon sopir mobil menantunya.

Mereka terduduk di ruang tamu. Teh sudah dingin begitu juga dengan ketelanya. Rumah mereka sangat sepi. Hanya ada perabotan rumah beberapa. Termasuk kursi rotan yang mereka duduki sekarang. Saksi mati mereka mengasuh putri semata wayangnya.

“Tidak diangkat, Mak. Mungkin lagi di perjalanan. Mamak yang sabar. Kan Genduk sudah bilang mau pulang minggu ini. Menjenguk kita tapi harinya memang belum tahu. Menunggu ijin dari Septian.” Tugiman lah yang terlihat tegar menghadapi situasi ini.

Tugiyem beristighfar. Mengambil teh yang sudah dingin dan menyeruputnya. “Pak, jaman kita dulu, menikah itu tidak perlu macam-macam syaratnya.”

Tugiman tersenyum, “apa iya? Mamak dulu memberi syarat agar bapak setelah menikah kerja banting tulang tanpa kenal lelah. Itu juga syarat.”

“Pak, itu kan gara-gara kita masih numpang di rumah simbok. Mamak gak nyaman masak sama mandi jadi satu,” kilah Tugiyem, “itu juga karena anggota keluarga bapak banyak di rumah simbok.”

Senyum hadir di tengah-tengah perbincangan mereka. Mengingat nostalgia masa lalu yang selalu memancing tawa. Tapi itu kenangan. Penuh dengan perjuangan tapi terobati saat melihat senyum serta tangis putri semata wayangnya. “Ada telepon dari Kardi, Mak. Sebentar bapak jawab.”

Tugiman berdiri untuk mencari sinyal. Suara Kardi terdengar jelas dari sana. Hanya sebentar, belum ada satu menit Kardi menutup obrolan.

“Ada apa, Pak? Mereka sudah sampai mana?” tanya Tugiyem antusias. Tugiman mencoba tersenyum.

“Mak ... kita ke ladang saja hari ini. Memanen cabai yang sudah memerah,” jelas Tugiman sembari menatap teduh raut istrinya yang menahan tangis. “Mungkin bulan depan Ratna bisa ke sini. Mak sekarang ganti baju, sarapan dan kita menunggu hujan reda lalu ke ladang.”

Tugiyem menangis. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan untuk menunjukkan rasa sesak di dadanya selain menangis? Jemari Tugiman mengusap lembut punggung istri tercintanya. Memberi kekuatan bahwa hal ini dihadapi bersama. “Seandainya Ratna menikah dengan Aji, Pak. Lelaki desa pilihan kita. Kita tidak perlu menghitung hari untuk bertemu anak kandung sendiri,” gumam Tugiyem.

Oseng bunga pepaya dan mendoan goreng tersaji di meja makan. Masih utuh, belum terambil sedikit pun.


Klaten, 17 Januari 2017
Oleh Nanik Haryanti