Oleh
Nanik Haryanti
Fajar
menyisihkan beberapa irisan bawang goreng yang sudah nyaman berenang di
mangkoknya. Tidak peduli dengan omelan Sri Purwati yang nyaring terdengar dari
dapur. Bahwa dia harus melahap aja saja
masakan yang sudah dibuat olehnya. Tapi tetap saja Fajar tidak memperdulikan.
Baginya, irisan bawang goreng itu rasanya pahit. Meskipun Sri Purwati sudah
menaburi sedikit perasa instan dan sejumpit garam pada irisan-irisan bawang
merah goreng yang dibuatnya. Itu tidak membuat Fajar langsung menyukai pemanis
makanan yang satu itu.
Lelaki
dua puluh lima tahun yang sekarang masih berstatus pengelana pekerjaan. Selama
setahun ini Fajar hanya di rumah membantu Sri Purwati merawat ayam-ayam
kampung. Ijasah SMK jurusan teknik listrik harus disimpan di lemari tua milik
ibunya. Terakhir, sepatu hitam yang dikenakan oleh Fajar adalah sepatu untuk
pekerjaannya sebagai debt collector di sebuah bank swasta. Karirnya cukup
bagus, didukung oleh rupa yang menambah semangat nasabah untuk membayar cicilannya
di bank. Tidak membuat Fajar betah meniti karir di sana. Dia bosan menagih
hutang.
Ayam-ayam
kampung milik Sri Purwati tidak lebih dari dua puluhan. Mereka adalah peranakan
dari ayam peninggalan almarhum suaminya dulu yang tidak boleh dijual. Dua ayam
jantan dan tiga ayam betina menghasilkan belasan anak ayam yang kini sudah bisa
dinikmati dagingnya. Sri Purwati dengan telaten merawat warisan suaminya. Pesan
terakhir dari suami yang selalu diingatnya, “jangan dijual, ayam-ayam ini bisa
mencukupi biaya sekolah anak-anak nanti. Jangan pernah dijual.”
Kata-kata
yang selalu terngiang saat semangatnya berjuang mencukupi kebutuhan keluarga sudah
menipis. Sri Purwati bukan perempuan hebat dengan banyak keahlian. Dia pintar
meracik bumbu dan mengolah berbagai masakan. Tapi tidak tahu harus dikemanakan
semua hasil olahan yang sering dipuji enak oleh anak-anaknya itu. Hanya untuk
perut keluarganya, pikirnya saat itu. Sampai nasib membawanya bertemu dengan
orang-orang baik.
“Ibu
... sore ini pesanan diantar ke mana?” seru Fajar.
Sri
Purwati tidak menyahut. Fajar membawa mangkok yang sudah habis isinya tadi ke
dapur. Meletakkan di ember kecil dekat kran wudhu lalu menghampiri ibunya yang
sedang duduk di samping pintu dapur.
Tangan
kanan Sri Purwati terampil mencabuti satu per satu bulu ayam kampung yang sudah
mati. Disiramkannya air panas dari ceret ke ayam itu tadi dengan tangan
kirinya. Sore ini pesanannya harus segera dihantarkan. Sudah pukul dua siang,
sedangkan sayuran belum dipotong dan direbus. “Fajar, Ibu boleh minta tolong?”
Fajar
yang duduk jongkok di samping Ibunya bersiap ingin membantu membersihkan
bulu-bulu ayam langsung mengangguk. Menunggu suara ibunya. “Bantuan apa, Bu?
Jangan mengulek lagi. Itu pekerjaan perempuan.”
Sri
Purwati mengulas senyum mengingat kejadian beberapa bulan lalu. Waktu itu dia
kesiangan. Jam empat pagi baru bangun sedangkan bumbu belum disiapkan sejak
sore. Ayam kampung sudah direbus
semalam. Tapi segala macam bumbu belum disiapkan. Terpaksa membangunkan
Fajar, anak lelaki satu-satunya. Kedua anak perempuannya masih kecil-kecil,
usia sekolah dasar. Dengan gontai Fajar mengupas bumbu yang sudah
diperhitungkan Sri Purwati satu per satu. Sesekali dia menguap. Semenjak ibunya
memutuskan untuk berjualan. Fajar tidak pernah membantu ibunya di dapur. Tapi
hari itu Fajar melihat sendiri bagaimana sosok perempuan yang sudah
melahirkannya itu berjuang mencari lembaran rupiah sendiri tanpa seorang suami.
Sosok yang sering dipanggil ‘janda’ oleh orang-orang yang tidak mengenal dekat
kehidupannya. “Aku kuat bukan rapuh. Aku perempuan dengan amanah tiga anak dari
suamiku. Aku tidak akan pernah lari dari kenyataan itu,” ucap Sri Purwati saat
orang-orang sangsi dengan kehidupannya setelah suaminya meninggal.
“Bantu
Ibu mengupas bawang merah lalu diiris-iris. Ibu harus membuatkan bumbu untuk
ayam ini.”
Fajar
menatap bawang merah yang ada di besek [1] lama. Sambil mengingat kalimat tadi,
ucapan pada bawang goreng yang disisihkannya. “Dasar pemanis tidak bermanfaat.”
========
Sri
Purwati menghitung lembaran uang yang diterimanya setelah acara berakhir. Kuah
di dandang tidak tersisa. Suwiran ayam, toge, irisan kubis, irisan bawang
goreng yang dicampur sedikit irisan sledri ludes. Fajar menggosok luaran
dandang dengan hati-hati agar tak lecet.
Itu dandang baru. Dibeli ibu dua bulan lalu. Kredit dari salah satu pedagang
pasar kenalannya.
“Ibu
belum makan,” ujar Fajar yang melihat ibunya duduk di dingklek [2] dekat tungku
kayu. Masih ada beberapa peralatan dapur
yang belum dia cuci. Malam sudah semakin larut. Suara ‘ceguk’ dari burung hantu
yang bertengger di pohon samping rumah terdengar jelas.
“Tadi
Ibu sudah makan di acara tadi. Ada sisa semangkok soto yang tidak diambil. Ibu
makan diam-diam,” jawab Sri Purwati sembari merenggangkan otot-otot kakinya,
“ibu harus membuat bawang goreng lagi untuk esok. Tadi kamu sudah beli bawang
merah kan, Fajar?”
Sri
Purwati harus berjualan soto esok hari. Agar lembaran uang yang dihantarkan ke
bank cukup untuk angsuran bulan ini.
“Fajar
sudah menggorengnya, Bu. Sudah Fajar simpan di lemari.”
“Gak
gosong kan, Fajar?” Sri Purwati panik berlari, membuka lemari tempat menyimpan
lauk pauk. Bawang goreng penuh berada di dalam toples kaca. Warnanya cantik
seperti senja yang hampir tenggelam.
Sri
Purwati langsung lega. Selama ini Fajar tidak pernah mau menyentuh bawang merah
dengan alasan hanya mengotori penampilan semangkok soto saja. “Bu, ternyata membuat
bawang goreng itu tidak semudah menyisihkannya.”
Fajar
tersenyum lebar, “Apa aku mengembangkan usaha Ibu saja ya dari pada menjadi
orang kantoran? Soto buatan ibu kan tidak ada duanya.”
Ah,
Sri Purwati tidak bisa berkata apa-apa lagi. Doanya terkabul. Doa yang dia
haturkan ke Illahi sejak Fajar tidak semangat bekerja lagi. Kini diganti dengan
takdir yang lebih baik.
Klaten,
15 Januari 2018
Notes;
[1]
Besek : kardus makanan yang terbuat dari
anyaman bambu.
[2]
Dingklek : kursi duduk kecil yang terbuat dari kayu.