Ratna
menggeleng untuk ke sekian kalinya. Kali ini keputusannya sudah bulat untuk
menjawab teka-teki yang selama ini membutuhkan jawaban. Dia memang benar-benar
tidak bisa mentolerir beberapa kekurangan yang ada pada diri Aji. Baginya, fase
ini adalah fase yang tidak bisa dijadikan permainan. Ratna tidak peduli dengan
segala julukan orang untuknya. Apa pun itu dia akan terima. Karena prinsipnya
hanya satu; memiliki suami yang sesuai dengan kriterianya. Karena ini hidupnya,
perjalanannya. Bukan milik orang lain.
=====================
Uap
mengepul dari secangkir teh yang baru saja disajikan oleh Tugiyem. Ketela rebus
menemani secangkir teh di meja ruang tamu rumahnya. Pagi masih berkabut. Di
halaman, embun-embun masih tertidur, menunggu fajar membangunkan. Tanah sedikit
becek sisa hujan sebentar semalam. Pohon mangga sedang berbuah musiman. Kali
ini buahnya lumayan banyak untuk dijual. Pintu depan rumah sudah terbuka
semenjak lepas sholat subuh tadi. Menunggu kepulangan putri tertua di rumah
itu. Putri kebanggaan Tugiyem.
Sudah
pukul setengah tujuh tapi jalanan desa masih sepi. Hanya ada ayam dan
anak-anaknya yang sedang mencari makan. Kabut masih tertinggal tipis di atas
pepohonan. Dari ufuk timur mendung menggantung. Tugiyem berjalan melewati
halaman lalu berdiri di pinggir jalan.
Menengok ke kanan serta kiri mencari suara mobil. Anaknya seharusnya
sudah sampai. Tapi lengangnya jalan menjawab semua rasa penasarannya. Tugiyem
gelisah, berharap tidak ada satu halangan pun di tengah jalan.
“Sebentar
lagi hujan, Mak. Menunggu di emperan saja. Mungkin di jalan terjebak macet.”
Tugiman
menggandeng Tugiyem untuk duduk di emperan. Istrinya masih gelisah. Sangat
terlihat dari raut wajah yang dibalut dengan jilbab merah maroon pemberian
menantunya. Tugiyem berdiri. Berjalan pelan-pelan ke halaman rumah mereka yang
sebagian becek terisi air hujan.
“Sudah
aku bilang, Mak. Tunggu saja di sini. Gerimis,” ujar Tugiman. Tangannya
memegang lengan Tugiyem agar tak ke halaman.
Seorang
ibu yang sudah rindu kepalang dengan anak semata wayangnya. Hanya bisa menahan
sesak di dada saat masa tuanya tidak ada yang menemani. Gerimis turun perlahan.
Halaman kembali disinggahi rintikan.
Sepasang
suami istri itu memasuki rumah mereka dengan wajah menunduk. Ini sudah hari
ketiga mereka menunggu kehadiran putri dan menantunya. Gerimis berubah menjadi
guyuran. Deras, seperti netra Tugiyem beberapa hari ini. Rambut putihnya sudah
semakin banyak. Bahkan suaminya, Tugiman, tidak ada sehelai pun yang tidak
beruban. Dia memikirkan masa tuanya sekarang. Ketakutan jika di masa tua,
mereka tidak bisa hidup bersama anak semata wayangnya.
“Telpon
Lek Kardi, Pak. Apakah sudah ditelpon sama Ratna belum,” pinta Tugiyem. Tugiman
mengeluarkan handphone pemberian anaknya. Mencari nomor telepon sopir mobil
menantunya.
Mereka
terduduk di ruang tamu. Teh sudah dingin begitu juga dengan ketelanya. Rumah
mereka sangat sepi. Hanya ada perabotan rumah beberapa. Termasuk kursi rotan
yang mereka duduki sekarang. Saksi mati mereka mengasuh putri semata wayangnya.
“Tidak
diangkat, Mak. Mungkin lagi di perjalanan. Mamak yang sabar. Kan Genduk sudah
bilang mau pulang minggu ini. Menjenguk kita tapi harinya memang belum tahu.
Menunggu ijin dari Septian.” Tugiman lah yang terlihat tegar menghadapi situasi
ini.
Tugiyem
beristighfar. Mengambil teh yang sudah dingin dan menyeruputnya. “Pak, jaman
kita dulu, menikah itu tidak perlu macam-macam syaratnya.”
Tugiman
tersenyum, “apa iya? Mamak dulu memberi syarat agar bapak setelah menikah kerja
banting tulang tanpa kenal lelah. Itu juga syarat.”
“Pak,
itu kan gara-gara kita masih numpang di rumah simbok. Mamak gak nyaman masak
sama mandi jadi satu,” kilah Tugiyem, “itu juga karena anggota keluarga bapak
banyak di rumah simbok.”
Senyum
hadir di tengah-tengah perbincangan mereka. Mengingat nostalgia masa lalu yang
selalu memancing tawa. Tapi itu kenangan. Penuh dengan perjuangan tapi terobati
saat melihat senyum serta tangis putri semata wayangnya. “Ada telepon dari
Kardi, Mak. Sebentar bapak jawab.”
Tugiman
berdiri untuk mencari sinyal. Suara Kardi terdengar jelas dari sana. Hanya
sebentar, belum ada satu menit Kardi menutup obrolan.
“Ada
apa, Pak? Mereka sudah sampai mana?” tanya Tugiyem antusias. Tugiman mencoba
tersenyum.
“Mak
... kita ke ladang saja hari ini. Memanen cabai yang sudah memerah,” jelas
Tugiman sembari menatap teduh raut istrinya yang menahan tangis. “Mungkin bulan
depan Ratna bisa ke sini. Mak sekarang ganti baju, sarapan dan kita menunggu
hujan reda lalu ke ladang.”
Tugiyem
menangis. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan untuk menunjukkan rasa
sesak di dadanya selain menangis? Jemari Tugiman mengusap lembut punggung istri
tercintanya. Memberi kekuatan bahwa hal ini dihadapi bersama. “Seandainya Ratna
menikah dengan Aji, Pak. Lelaki desa pilihan kita. Kita tidak perlu menghitung
hari untuk bertemu anak kandung sendiri,” gumam Tugiyem.
Oseng
bunga pepaya dan mendoan goreng tersaji di meja makan. Masih utuh, belum terambil
sedikit pun.
Klaten,
17 Januari 2017
Oleh Nanik Haryanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar