Powered By Blogger

Selasa, 23 Januari 2018

BUNGA PEPAYA




Ratna menggeleng untuk ke sekian kalinya. Kali ini keputusannya sudah bulat untuk menjawab teka-teki yang selama ini membutuhkan jawaban. Dia memang benar-benar tidak bisa mentolerir beberapa kekurangan yang ada pada diri Aji. Baginya, fase ini adalah fase yang tidak bisa dijadikan permainan. Ratna tidak peduli dengan segala julukan orang untuknya. Apa pun itu dia akan terima. Karena prinsipnya hanya satu; memiliki suami yang sesuai dengan kriterianya. Karena ini hidupnya, perjalanannya. Bukan milik orang lain.
=====================
Uap mengepul dari secangkir teh yang baru saja disajikan oleh Tugiyem. Ketela rebus menemani secangkir teh di meja ruang tamu rumahnya. Pagi masih berkabut. Di halaman, embun-embun masih tertidur, menunggu fajar membangunkan. Tanah sedikit becek sisa hujan sebentar semalam. Pohon mangga sedang berbuah musiman. Kali ini buahnya lumayan banyak untuk dijual. Pintu depan rumah sudah terbuka semenjak lepas sholat subuh tadi. Menunggu kepulangan putri tertua di rumah itu. Putri kebanggaan Tugiyem.

Sudah pukul setengah tujuh tapi jalanan desa masih sepi. Hanya ada ayam dan anak-anaknya yang sedang mencari makan. Kabut masih tertinggal tipis di atas pepohonan. Dari ufuk timur mendung menggantung. Tugiyem berjalan melewati halaman lalu berdiri di pinggir jalan.  Menengok ke kanan serta kiri mencari suara mobil. Anaknya seharusnya sudah sampai. Tapi lengangnya jalan menjawab semua rasa penasarannya. Tugiyem gelisah, berharap tidak ada satu halangan pun di tengah jalan.

“Sebentar lagi hujan, Mak. Menunggu di emperan saja. Mungkin di jalan terjebak macet.”

Tugiman menggandeng Tugiyem untuk duduk di emperan. Istrinya masih gelisah. Sangat terlihat dari raut wajah yang dibalut dengan jilbab merah maroon pemberian menantunya. Tugiyem berdiri. Berjalan pelan-pelan ke halaman rumah mereka yang sebagian becek terisi air hujan.

“Sudah aku bilang, Mak. Tunggu saja di sini. Gerimis,” ujar Tugiman. Tangannya memegang lengan Tugiyem agar tak ke halaman.

Seorang ibu yang sudah rindu kepalang dengan anak semata wayangnya. Hanya bisa menahan sesak di dada saat masa tuanya tidak ada yang menemani. Gerimis turun perlahan. Halaman kembali disinggahi rintikan.


Sepasang suami istri itu memasuki rumah mereka dengan wajah menunduk. Ini sudah hari ketiga mereka menunggu kehadiran putri dan menantunya. Gerimis berubah menjadi guyuran. Deras, seperti netra Tugiyem beberapa hari ini. Rambut putihnya sudah semakin banyak. Bahkan suaminya, Tugiman, tidak ada sehelai pun yang tidak beruban. Dia memikirkan masa tuanya sekarang. Ketakutan jika di masa tua, mereka tidak bisa hidup bersama anak semata wayangnya.

“Telpon Lek Kardi, Pak. Apakah sudah ditelpon sama Ratna belum,” pinta Tugiyem. Tugiman mengeluarkan handphone pemberian anaknya. Mencari nomor telepon sopir mobil menantunya.

Mereka terduduk di ruang tamu. Teh sudah dingin begitu juga dengan ketelanya. Rumah mereka sangat sepi. Hanya ada perabotan rumah beberapa. Termasuk kursi rotan yang mereka duduki sekarang. Saksi mati mereka mengasuh putri semata wayangnya.

“Tidak diangkat, Mak. Mungkin lagi di perjalanan. Mamak yang sabar. Kan Genduk sudah bilang mau pulang minggu ini. Menjenguk kita tapi harinya memang belum tahu. Menunggu ijin dari Septian.” Tugiman lah yang terlihat tegar menghadapi situasi ini.

Tugiyem beristighfar. Mengambil teh yang sudah dingin dan menyeruputnya. “Pak, jaman kita dulu, menikah itu tidak perlu macam-macam syaratnya.”

Tugiman tersenyum, “apa iya? Mamak dulu memberi syarat agar bapak setelah menikah kerja banting tulang tanpa kenal lelah. Itu juga syarat.”

“Pak, itu kan gara-gara kita masih numpang di rumah simbok. Mamak gak nyaman masak sama mandi jadi satu,” kilah Tugiyem, “itu juga karena anggota keluarga bapak banyak di rumah simbok.”

Senyum hadir di tengah-tengah perbincangan mereka. Mengingat nostalgia masa lalu yang selalu memancing tawa. Tapi itu kenangan. Penuh dengan perjuangan tapi terobati saat melihat senyum serta tangis putri semata wayangnya. “Ada telepon dari Kardi, Mak. Sebentar bapak jawab.”

Tugiman berdiri untuk mencari sinyal. Suara Kardi terdengar jelas dari sana. Hanya sebentar, belum ada satu menit Kardi menutup obrolan.

“Ada apa, Pak? Mereka sudah sampai mana?” tanya Tugiyem antusias. Tugiman mencoba tersenyum.

“Mak ... kita ke ladang saja hari ini. Memanen cabai yang sudah memerah,” jelas Tugiman sembari menatap teduh raut istrinya yang menahan tangis. “Mungkin bulan depan Ratna bisa ke sini. Mak sekarang ganti baju, sarapan dan kita menunggu hujan reda lalu ke ladang.”

Tugiyem menangis. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan untuk menunjukkan rasa sesak di dadanya selain menangis? Jemari Tugiman mengusap lembut punggung istri tercintanya. Memberi kekuatan bahwa hal ini dihadapi bersama. “Seandainya Ratna menikah dengan Aji, Pak. Lelaki desa pilihan kita. Kita tidak perlu menghitung hari untuk bertemu anak kandung sendiri,” gumam Tugiyem.

Oseng bunga pepaya dan mendoan goreng tersaji di meja makan. Masih utuh, belum terambil sedikit pun.


Klaten, 17 Januari 2017
Oleh Nanik Haryanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar