Powered By Blogger

Sabtu, 04 November 2017

MELATI TAK WANGI







"Ada apa, Mbok? Fitri baru saja selesai sholat." Lipatan mukena dia letakkan di meja rias samping ranjang. Lalu memandang ke cermin sebentar, menyisir rambut dan kembali menggunakan kerudung.

Fitri mendekati Simbok yang tengah memegang amplop di tangan kanan. Teriakan Simbok saat Fitri sholat sedikit membuatnya risau. Sudah sepuh, karena sakit gula bertahun-tahun, kaki Simbok harus dioperasi dan kini cara berjalannya tidak normal. Sedapat mungkin, Fitri tidak boleh lengah menemani ibu angkatnya.

"Tadi ada undangan nikah anaknya Lek Warsino. Penyebar undangan si Pardi. Dia lupa, dan baru hari ini ingat. Ternyata resepsinya besok. Jadi hari ini Simbok harus nyumbang, Nduk."

Penjelasan Simbok menjawab kosongnya amplop yang dibawa. Fitri beranjak dari tempat duduk samping ibunya. Membuka lemari, mencari-cari benda di bawah lipatan baju. Dompet berwarna merah tua, pemberian seseorang tiga tahun lalu masih dia jaga dengan baik. Hadiah pertama dan terakhir.

"Simbok mau isi amlop itu berapa?" Tanya Fitri saat membuka dompet.

"Warsino belum pernah memberi sumbangan ke Simbok, jadi sepantasnya saja. Dia sekarang jadi orang kaya," jelasnya.

"Mbok, Lek Warsino begitu baik sama kita. Sering menolong saat kita kesusahan. Tidak apa-apa kalau sumbangan ini dilebihkan. Sekadar balas budi." Fitri mengisi amplop kosong itu dengan lembaran rupiah berwarna biru dua.

"Ini terlalu banyak," tolak Simbok.

"Tidak sebanyak yang sudah dikeluarkan Lek Warsino untuk kita, Mbok," balas Fitri.

***

Masih pukul empat lebih, suasana desa masih ramai lalu lalang orang. Hewan peliharaan; bebek, ayam, kambing mulai dikandangkan. Bapak-bapak sudah membersihkan diri dari aktifitas sawah. Anak-anak masih sibuk mengeja huruf hijaiyah di masjid. Warung-warung makanan ramai dengan pembeli. Satu dua mobil bak terbuka menyeterika jalan dengan ke empat rodanya. Mengambil hasil panen; padi berkarung-karung besar. Siap digiling lalu dijemur.

"Mbak Fitri mau ke mana?" sapa salah satu tetangga.

"Mau njagong tempat Lek Warsino. Keburu maghrib." Mulai menghidupkan motor matic, melirik spion kiri, memantapkan riasan.

"Mbak Fitri sangat legowo. Kalau aku mungkin tidak sudi datang." Tetangga Fitri berceloteh tentang kisahnya.

"Sudah, Budhe. Ini jalan-Nya." Senyum terpaksa Fitri menutup perbincangan. Luka dan kisah itu, tak mungkin terus dia paksa kembali terjadi.

***

Kisah kasih yang dia lalui empat tahun tak mungkin bisa hilang begitu saja. Cinta pertama adalah yang paling membekas di hati. Sekuat apapun disuruh pergi, rasa itu adalah kenangan awal mula dalam mengenal perasaan.

Fitri sangat hapal jalan ini. Menyusuri jembatan tua, lurus dua ratus meter lalu belok kiri. Menikmati pematang sawah saat senja, dia ingat janji yang terucap tiga setengah tahun lalu di jalan ini.

"Kita pasti sukses, Fitri. Tiga tahun merantau, pasti cukup untuk modal menikah. Walimahan biasa saja, sederhana."

Masa silam. Sekali pun usang, berdebu bahkan terbuang. Masih saja mereka melekat di alam pikiran. Setiap saat bisa keluar dan mendobrak kenyataan.

"Semua omong kosong, kan, Mas." Fitri membalas putaran kenangan itu dengan lirihan. Ya, rencana manusia dengan Sang Pencipta terkadang tak selalu sama. Bisa jadi, apa yang hamba-Nya pinta, bukan hal baik untuk dikabulkan segera. Tidak ada doa yang tertolak. Tuhan mendengar dan menerima jeritan hamba-Nya. Takdir sudah ditetapkan, tapi Tuhan tidak memaksa kita untuk diam tanpa berusaha.

Motor Fitri memasuki gapura pembatas desa. Cat dan hiasan baru. Desa tetangga memang terlihat lebih menyenangkan. Rumah bercat warna-warni, taman penuh; anggrek, mawar dan rumput jepang, kolam ikan, dan garasi mobil ada di setiap halaman.

Harta memang bisa merubah tabiat manusia. Bekerja keras menumpuk materi untuk bersaing membanggakan diri. Siapa yang paling kaya, adalah dia yang paling indah rumahnya.

Memasuki gang ketiga dari jalan utama desa. Fitri berhenti sejenak melihat tenda berwarna kuning emas dengan pilar besi yang terpasang di tengah jalan. Lagu keroncong mengalun merdu, lirih. Kakinya enggan kembali masuk ke wilayah masa lalu. Matanya kembali mengingat semua adegan menyenangkan itu.

Tapi Fitri harus menghadapi kenyataan. Sepahit apapun, dia harus menerima dan legowo melihat keadaan. Bukan hanya dia yang terluka, Simboknya dan keluarga yang selama ini mau menerima statusnya sebagai anak pungut tak luput dari rasa kecewa. Dendam tidak boleh dipelihara, luka menganga itu sebentar lagi akan menutup oleh waktu. Olesi saja dengan kesabaran, pertebal pendengaran dari ocehan orang.

“Bagaimana kabarmu, Nduk? Semakin kurus tapi tambah ayu.” Wajah keriput itu tersenyum sumringah. Menatap Fitri dengan berkaca-kaca. Gadis kecil yang selama ini dia rawat, mengajarinya membaca huruf-huruf hijaiyah kini sudah bisa belajar menerima kekalahan. “Maafkan, Simbah ya, Nduk. Seandainya suara Simbah masih didengar sama Seno, tidak mungkin kamu duduk sebagai tamu hari ini. Kamu pasti duduk di kursi sana.” Mata Simbah memandang kursi pelaminan, “dan tidak perlu mendengar celotehan tetangga.”


“Kenapa Simbah yang malah meminta maaf? Sudah, tidak perlu dipermasalah lagi. Aku sudah menerima semua ini. Bukan jodoh dan aku tidak perlu mendengarkan omongan tetangga. Mending mendengarkan omongan Simbok di rumah yang setiap hari mengeluh tentang berita artis di televisi.”

Fitri tidak ingin menceburkan diri ke dalam sangkaan orang. Lebih baik berbenah diri, melupakan hal yang tak seharusnya dipikirkan. Dia ingin melepaskan seluruh luka itu, membiarkannya keluar bebas menghirup udara keikhlasan. “Pasti Allah sudah menyimpan seorang lelaki untuk Fitri juga, dan itu bukan Mas Seno.”

Seno, pemuda dua puluh tujuh tahun itu adalah cinta pertamanya. Fitri tidak begitu paham kenapa dia bisa jatuh hati pada pemuda jangkung itu. Mereka satu sekolah saat SMA dulu. Berangkat sekolah bersama, saling membantu tugas sekolah. Seno satu tahun di atas Fitri. Sama-sama terlahir dari keluarga sederhana, membuat mereka berdua  mimpi bersama. Seno memiliki keinginan pergi ke luar negeri. Menjemput lembaran rupiah di negeri sakura. Kemiskinan mengubur keinginannya untuk kuliah. Ada dua adik perempuan yang masih harus dibiayai, masih ada gubug tua yang harus dia benahi. Egois, mengambil beasiswa lalu melenggang menjadi mahasiswa tak ubahnya menjilat sendiri air ludah yang sudah dimuntahkan dan jatuh di tanah kering. Begitu juga keinginannya untuk mengarungi hidup berdua bersama Fitri. Seno mencintai Fitri, sejak dia masih remaja.

Fitri, gadis kecil tangguh itu dirawat oleh sanak saudara ibunya. Ayahnya meninggal karena bencana longsor beberapa bulan sebelum dia dilahirkan. Sedangkan ibunya sendiri, menghilang entah ke mana setahun setelah Fitri dilahirkan. Pamit, ingin merantau dan menabung untuk membesarkan Fitri dijadikan alasan. Tapi setelah bertahun, belasan tahun dan hingga Fitri bisa menyukupi kebutuhannya sendiri. Kaki sang ibu kandung tak pernah lagi datang menjenguknya. Fitri yang saat itu baru belajar berjalan, menangis sepanjang malam. Air susunya hilang, dekapan hangat itu terlepas. Tapi itu bukan keinginannya. Takdir hidup yang mengharuskan dia menjadi anak pungut. Merasa dibuang oleh ibu kandungnya sendiri.

Tidak ada pengakuan dari mulut mereka. Rasa itu terjadi begitu saja. Seno menyukai kesederhanaan Fitri. Cara perempuan mata coklat itu menghadapi kejamnya hidup sebagai anak pungut. Kondisi orang tua yang menjaga Fitri sejak balita pun di bawah garis sederhana. Rumah kecil dengan dinding bambu sebagai penghalang angin. Lantai basah karena rumah dekat dengan aliran sungai. Genting satu dua loncat dari tempat seharusnya. Ibu angkat Fitri, yang dipanggilnya Simbok, adalah seorang perawan tua. Simbok tidak ingin menikah karena cacat fisik yang dia miliki. Simbok mengambil keputusan menjaga Fitri, sebagai teman hidup dan semangatnya dalam mengais rejeki. Dia bekerja sebagai tukang buruh apa saja. Ke sawah, ladang, kebun atau rumah. Fisik sebagai wanita lah yang membuat Simbok mengubur niat ingin menikah. Tidak akan ada yang mau denganku, begitu pikir Simbok.

“Fitri ada oleh-oleh buat Simbah. Kemarin sebelum naik pesawat Fitri beli ini buat Simbah. Fitri sudah janji dulu, akan mengganti kalung Simbah yang Fitri pinjam buat uang pegangan selama di Malaysia.”

“Simbah sudah ikhlas, buat apa dikembalikan, Nduk?”

“Mbah,” Fitri menyelipkan kotak kecil itu dijemari perempuan berusia delapan puluh tahun itu, “anggap saja sebagai hadiah atau oleh-oleh. Fitri sudah janji dulu.”

Hanya Simbah Niti yang menyapa kedatangan Fitri. Baik Seno, lelaki yang pernah berjanji akan menikahinya sepulang dari perantauan tak berani berhadapan dengannya. Atau Ayah dan Ibu Seno sengaja menghindar, melihat kedatangan Fitri pun tidak.

Fitri hanya perempuan biasa, pasti juga merasakan sakit ketika laki-laki yang berjanji akan mengijab namanya lari dari kata-kata yang sudah dia buat sendiri. Fitri tidak ingin meminta pertanggungjawaban. Biarkan semua dosa, luka serta akibat dari kisah masa lalunya dia dekap sendiri. Jodoh tak jodoh bukan sebuah hal yang harus ditangisi. Kesuciannya memang sudah layu bahkan tercabut tapi hidupnya harus tetap tumbuh, tegak berdiri menantang badai dan hujan ujian yang kini menghadang perjuangan.

~ END ~







TIPS MOVE ON ALA GADIS BERCADAR;
  1. Menangis sampai lelah sendiri
  2. Menerima semua hal yang terjadi. kalau tidak bisa menerima, buang saja.
  3. Mudah saja, menulis! Tulis semua hal yang menyakitkan. Tulis nama dia, buat nama dia dalam sebuah cerita. Abadikan namanya di tulisanmu!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar