Powered By Blogger

Sabtu, 15 April 2017

PENJARA BAGI LAKI-LAKI TAK BERNAMA











Pipi tirus pria ini sedikit mengecewakanku. Berharap mendapatkan klien tampan adalah motto pertama. Tapi mata bantengnya tak bisa berpura-pura. Dia rupawan dan alisnya tebal. Ada luka mengiris iris tipis di pelipis. Masih merah dan aku yakin itu karena perlawanan. Kulepas borgolnya, dia menggeliat, urat-uratnya berbunyi. Aku disuguhi otot kekar -tipis- dan rahang kokoh meski tak sebaik binaragawan. Wajah lebamnya masih terlihat, sejak dua hari lalu dia membuat kegaduhan. Mataku terus mengawasi cara dia menyedot semua zat nikotin itu melewati bibirnya. Cara dia memegang tembakau yang digulung ke dalam kertas dan dicampuri zat penikmat. Dia memesan, aku berikan. Apapun keinginannya adalah perintah. Dia bak bocah tengik saat merayu.

“Kau sudah datang ke Batu Caves?”
“Tentu sudah, Sir. Sesuai permintaan Anda, aku ke sana untuk menemui seseorang.”

Dia mengelus-elus dagu tak berhelai rambut itu. Matanya selalu menewaskan. Dia selalu di posisi membidik, seperti pemburu yang mengintai buruannya. Dan aku bukan perempuan pandir. Kewarasanku masih utuh untuk jatuh dalam pesonanya.

“Aku membanting dia dulu setelah lidahnya berhasil menyicipi istriku. Dia bangsat! Setelah negosiasi beberapa kali, laki-laki plontos itu masih punya nyali.”

“Laki-laki itu sekarang sudah tumbuh uban. Meskipun beliau duduk di kursi roda tapi kata-katanya adalah titisan Tuhan. Anda kalah telak dari dirinya, Sir. Mantan istri Anda sudah bahagia di alam sana.”

Dia langsung menggebrak meja. Mata buasnya memelototiku. Tangan kanan mengepal begitu juga jemari kirinya, memegang pinggiran meja kuat. “Jangan main-main denganku, perempuan sundal! Kau salah menembak orang jika ingin menyudahi permainan!”

Kukeluarkan lembaran-lembaran bukti sebagai penguat. “Sir, Anda tertahan di sini sudah belasan tahun. Tak mendapat remisi dan tak dibiarkan keluar sel. Kelakuan Anda di dalam tahanan tak ubahnya pemburu yang dikelilingi buruan. Setiap tahun puluhan jiwa melayang karena kedua tangan Anda. Aku tak bisa mentolerir sikap Anda untuk saat ini.”

Meja terlempar tepat ke samping kanan tubuhku. Dua petugas penjaga sudah bersiap menarik senjata dari pinggang mereka. Aku mundur dua langkah, memberi kode dengan jemari kanan kepada dua polisi di luar sel tadi. “Sir, mari duduk dan membicarakan ini. Ceritaku belum memasuki babak akhir.”

Pria berpipi tirus itu kembali ke tempat duduk. Dia hanya perlu meluapkan kekesalan. Karena harapan tak sesuai dengan kenyataan. Kembali bergulat pada file-file yang sudah kususun menjadi sebuah film. Sambil bercerita bagaimana perjalananku ke negeri Jiran untuk mendapatkan semua informasi. “Sir, orang yang pernah Anda ceritakan tinggal di suatu tempat di Klang sudah pindah. Dia mendiami sebuah rumah di Brunei Darussalam. Tepatnya dia dilindungi oleh pihak kerajaan. Dia saksi hidup atas pembantaian yang Anda lakukan dulu. Saat ini, dia bahagia bersama anak-anak adopsinya.”

“Bangsat!” Bertahun-tahun aku hidup bersamanya dalam kemiskinan. Kini dia tidur di ranjang emas!”
“Dan lagi, Sir. Thailand melindungi gadis kecil yang Anda sekap dulu. Namanya berubah menjadi Ma Jung Nam. Setelah operasi plastik beberapa kali, dia berhasil keluar dari kondisi kritisnya. Selama tiga tahun gadis itu hidup di Korea Selatan untuk pengobatan. Kini gadis itu berubah menjadi artis papan atas.”

Bibir tipis itu mengeluarkan tawa, lepas. Suaranya berisik, seperti tabuhan iring-iringan kematian saat mengantarkan peti mati masuk alam penantian. “Gadis itu adalah anakku, dengan salah satu wanita tercantik di Thailand sana.”

Kembali berkutat dengan qwerty yang kusangga dengan kedua paha. Layar terang sudah menampilkan beberapa rekaman yang kususun menjadi tontonan. “Sir, ini adalah hadiah kecil dariku. Aku tidak bisa menemani waktu-waktu terakhir Anda. Terima kasih, semua perjalanan menulusuri kisah Anda sangat berharga untukku. Anda adalah laki-laki yang baik, tapi hidup tak mampu mengubah diri Anda ke arah lebih baik.”

Layar LCD menampilkan orang-orang yang dia kasihi. Sebuah pesan berantai dari orang-orang yang dulu pernah dia cintai. Setidaknya, dia punya memori indah saat bertemu malaikat kematian nanti.






Klaten, 28 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar