Powered By Blogger

Jumat, 14 April 2017

MEMBAYAR PENDIDIKAN







Subuh masih belum menyapa. Tapi suasana di dapur sudah gaduh oleh tungku kayu lubang tiga. Tengah memasak nasi dalam kendil, pinggir kiri ada ceret untuk membuat teh, sebelah kanan wajan penggorengan siap untuk menumis lauk sarapan. Kayu terus dilahap api, setiap habis terus ditambah lagi. Sampai air mendidih dan nasi di kendil siap untuk dikaru. Emak tengah mengulek bumbu; garam, bawang merah, bawang putih dan merica.

“Wis tangi, Nduk.”

Begitu sampai di dapur, asap kepulan tungku ada di mana-mana. Melihat Emak menumis bumbu di wajan hitam dengan minyak goreng seadanya, membuatku lapar. Meskipun belum tahu, sarapan pagi ini akan menyantap lauk apa.

“Apa sudah azan, Mak? Jam di kamar rusak. Habis baterainya.”

Aku membuka pintu dapur. Dingin menyeruak. Sayup-sayup suara orang melantunkan dzikir terdengar dari seberang desa. Ternyata subuh belum datang. Kebiasaan orang-orang sepuh sini, membangunkan sesama untuk tahajud atau sekedar penanda sudah jam tiga pagi. Mengitari kebun belakang rumah yang gelap dengan penerangan seadanya. Menimba air, mengisi dirigen untuk keperluan wudhu. Tempat air wudhu buatan tetangga. Dia pasangkan kran di bagian bawah dirigen untuk mengalirkan air. Tempat yang dulu sudah pecah, untuk membeli tempat wudhu yang dari gerabah lagi sepertinya sayang.

Kebun belakang rumah ditanami lompong dan umbi-umbian; ketela, ganyong dan mbili. Bahkan tidak perlu menanam bibitnya. Semua tumbuh begitu saja. Air hujan menumbuhkan alami apa yang sudah tertanam sejak dulu di tanah ini. Tanpa pupuk atau perawatan. Dibiarkan saja, jika perlu untuk dimasak. Ambil secukupnya.

“Wi.”

“Iya, Mak.”

“Ujianmu kapan? Uang bulanan kan belum Mak lunasi.”

Teringat dengan lembar tagihan yang sudah kusimpan dua hari lalu. Sengaja tidak menyerahkan ke Emak. Karena takut kepikiran dan menambah beban. Perlu beberapa lembar uang ratusan untuk melunasi hutang SPP ke sekolah. Belum lagi uang buku dan LKS yang menunggak sejak tiga bulan lalu. Sengaja, aku ingin membayar sendiri dengan uang hasil bekerja saat liburan semesteran nanti. Raport tidak perlu diambil.

“Hari ini aku ujian, Mak. Uang SPP biar aku yang lunasi. Lagipula setelah ujian aku libur tiga minggu. Bisa bekerja di tempat bulek Warsi nanti. Membantu beliau menjahit serbet. Lumayan bisa melunasi tagihan. Uang punya Emak disimpan saja. Untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa.”

“Tapi, Wi. Kamu pasti tidak bisa ikut ujian kalau belum bayar. Gimana dengan nilaimu nanti?”

“Mak, aku tetap ikut ujian, hanya tidak dapat kartu ujian saja. Jika terpaksa tidak ikut pasti sekolah memberi keringanan. Paling disuruh tandatangan surat perjanjian. Akan melunasi tunggakan itu secepatnya.”

“Ojo isin yo, Nduk. Emakmu memang ora isoh nyukupi butuhmu.”

“Kita kan gak nyuri, Mak.” Kuletakkan ember berisi air yang kubawa dari sumur tadi. “yang penting Allah memberi rasa cukup.”

Azan merayap, memenuhi sudut-sudut kediaman dengan panggilan. Kusambar mukena di balik pintu. Lalu mengetuk kamar sebelah, membangunkan anak laki-laki tertua di rumah ini. Teringat dengan pesan almarhum bapak. Bangunkan orang untuk salat saat kita sudah dalam keadaan siap untuk beribadah.

“Wi.” Kepala Mas Dewa menyembul dari pintu kamarnya.

“Apa?”

“Aku pinjam catatan PRmu. Kemarin aku harus latihan paskibra di kabupaten.”

“Ada di meja. Awas kalau sama persis!” ancamku.

“Lah … sejak kapan aku nyontek jawabanmu?” tanyanya.

“Ayo nyang masjid. Gelak iqomat.”


Rumput halaman rumah basah oleh embun. Menapak kelengangan jalan di desa. Suara tawa mas Dewa dan Emak terdengar sampai tempat aku berdiri. Rumah bambu beralaskan lantai tanah menjadi pelengkap kebersamaan kami. Tuhan melengkapi semua rasa kurang dengan kesabaran. Jika pun di mata orang lain kami dilihat selalu kekurangan. Rasa syukur melengkapi perjuangan dalam meniti kehidupan.

Barakallah ^^

Klaten, 11 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar