Powered By Blogger

Kamis, 13 April 2017

MAS, SUDAHI KEMESRAAN INI!







“Aku malu, Mas.”

Konsekuensi dari kejujuran ini mungkin akan mempersulit hubungan kami. Bagaimanapun, suami istri mempunyai tanggungjawab untuk saling mengingatkan. Bercerita masalah yang janggal dan mengusik hubungan. Sekali pun menyakitkan. Kurasa lebih baik mengungkapkan apa yang dirasa. Rumah tangga di awal pernikahan memang menyenangkan. Salah langkah permulaan bisa mengakibatkan luka di tengah jalan.

Dua bulan lalu, dia mempersuntingku. Meski jauhnya kota tempat kita berada dan umur terpaut tiga tahun, tidak menyurutkan langkahnya untuk datang ke rumah. Dia masih muda, rasa senangnya masih menggebu-gebu. Sesekali bisa diredam. Dan lebihnya, sering diumbar. Sebagai istri, kendali tentu di bawah suami. Tapi bukan berarti harus berdiam diri ketika ada yang salah dalam melangkahkan kaki. Mungkin tujuannya baik, berbagi kebahagiaan. Tapi hatiku tetap tidak tenang, ketakutan akan riya’, keresahaan atas pikiran orang-orang.

“Kenapa harus malu. Toh, kita sudah halal,” sahutnya dengan nada kesal.

“Kegiatan halal yang tidak harus diterangkan, Mas. Allah menutupi aib-aib kita, kenapa harus membuka hal-hal privasi kita,” lirihku, menunduk.

“Dek … tujuanku itu baik. Biar banyak didoakan dan menyemangati para jomblo dalam pencarian. Aku pernah dalam posisi itu, dan sangat menyakitkan.”

Seorang suami memang harus ditaati. Sadar dengan kewajiban itu, aku lebih memilih menghentikan obrolan. Keras kepala, batinku. “Aku juga pernah mengalami masa penantian. Berharap kepada seseorang yang pernah kusebut namanya dalam doa. Tapi Allah menakdirkan lain. Sakit memang, apalagi melihat momen-momen bertebaran di beranda media sosial. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama semakin menjengkelkan. Dia bahagia, di atas rasa sakitku atas takdir yang tidak memihak. Bukan iri, Mas. Tapi ini sebuah ketidakberdayaan dalam menyukai seseorang.”

“Aku takut, ada orang-orang yang terluka di balik pernikahan kita. Aku takut, ada orang-orang yang menangis saat membaca momen kemesraan kita. Mereka saudara muslim kita, Mas. Mungkin satu dua pernah berharap kita menjadi pendampingnya. Mereka juga sama seperti kita, punya rasa.”

“Aku tidak ingin mendikte Mas dalam mengungkapkan sebuah perasaan. Tapi aku malu, karena Allah sudah menutupi seluruh aib-aibku.”

“Kamu risih?” Mas Putra memandangku lekat.

Aku hanya tersenyum, “Kan sudah dijelaskan tadi. Sudahlah, Mas tidak mendengarkan, kan?”

“Mungkin bahagianya kelewatan,”

“Tapi tidak untuk diumbar-umbar. Malu, Mas. Takut juga dibilang pamer. Sekalipun halal, kita mesti jaga perasaan orang.”

“Perasaan siapa yang kamu jaga? Mantan?” tanyanya penasaran.

“Loh, kok nyasar ke situ? Aku mau mandi. Laki-laki kalau dinasehatin, ndableg!”

Percuma sepertinya, tapi lebih baik sudah jujur daripada diam dan menyimpan murka. Kata buku, perempuan itu tidak pandai menyimpan cemburu. Ya, benar. Aku cemburu bila masa-masa kemesraan kita diketahui banyak orang. Takut bila satu dua orang merasa didzolimi. Bukan doa tapi malah sengsara yang ada. Sibuk menjelaskan ke orang bahwa tulisan-tulisan ini berbau fiksi semata. Padahal realita berbau dosa.


Barakallah ^^

Klaten, 23 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar