Powered By Blogger

Selasa, 13 Desember 2016

MATA-MATA BERKELIARAN

Cermin-cermin itu mengelilingi. Aku tahu ada yang berbeda pada tubuh ini. Tidak berani menatap pantulan sendiri pada cermin. Mereka bisa berbicara. Diam dan menunduk adalah keputusan bijak. Daripada berbicara tapi mereka menuli karena menganggap aku berusaha membenarkan diri. Jalanan depan kian menyempit. Tak ada pijakan untuk berlari lagi. Salju merata di sekililing kota. Angin berhembus sedang, pohon-pohon mengayun. Dua anak berlarian di garis-garis penyeberangan. Mobil-mobil berhenti di sisi sebelah kiri, berderet menunggu benda bergantung berubah warna menjadi hijau. Nenek tua keluar dari taksi, meminta sang sopir mengambil barang bawaannya di bagasi. Bunyi klakson bersahutan. Lampu merah sudah menghitam beberapa detik lalu, tapi mobil yang ditumpangi nenek tua tadi belum bergeser. Nenek tua mengumpat, meneriaki mobil-mobil di belakangnya. Menyebut mereka bodoh. Barang-barang bawaan nenek itu diletakkan di pinggir jalan. Sopir taksi diam menahan amarah, dia dipermalukan di tengah jalan oleh seorang nenek yang tidak mengenal tempat berhenti. 
.
Aku berjalan ke tempat nenek itu berdiri. Dia kedinginan. Jemari keriputnya tertutup oleh sarung tangan rajutan yang sangat kukenal bentuknya. Cermin-cermin itu masih mengikuti. Kubiarkan saja mereka berjalan sama seperti langkah kaki. Lelaki bertopi mendekati nenek itu. Berbicara sebentar lalu mengangkat dua koper miliknya. Dengan pelan-pelan, dia berusaha menyamakan kaki dengan langkah tertatih si nenek. Salju masih saja mengguyur, bahkan cermin-cermin tertutup butiran-butiran putih dan siap membeku.  
.
Aku berteduh di teras sebuah kafe. Melirik sebentar ke kaca, aroma seduhan kopi menguar meski posisiku berdiri di luar. Hidung terasa gatal, air liur masuk ke kerongkongan. Kuteliti isi saku celana, masih sama, recehan belum terkumpul karena sejak semalam tangan ini belum bekerja. Sial, aku harus makan jika tidak ingin kelaparan. Uang pemberian ayah habis kubelikan hotdog di pinggir jalan kemarin siang. Beberapa anjing liar kelaparan saat salju turun deras. Orang-orang berdiam diri di rumah, menikmati hangatnya tungku pemanas. Menonton celotehan kotak besi. Atau mendengarkan berita dari mesin penangkap gelombang. Dengan menggigit roti-roti kecil yang baru saja keluar dari oven. Menyeruput hangatnya secangkir cokelat, ditemani teriakan anak-anak kecil bermain boneka salju dan putri cantik di ruang tengah. 
.
“Kau hanya ingin berdiri di sini?” Akhirnya seseorang yang kutunggu datang. Oh, lelaki penjemput nenek tadi kini menatapku. Hidung merahnya menggemaskan. Topinya tidak dipakai lagi. Serpihan salju berkumpul di atas kepalanya. Dia masih tersenyum dan itu membuat dadaku berdebar. “Aku harus menjemput nenek. Dia datang dari pulau hijau dan tidak mau turun di depan rumah.” 
.
Aku tersenyum ketika dia mengatakan pulau hijau. Dia semanis seperti di dunia maya. Wajahnya memang tak tampan. Janggutnya lebat tapi rapi. “Anda terlambat dari perjanjian,” ucapku sembari mengulurkan tangan dingin, “Setidaknya jangan potong gaji karena Anda telat menjemput.”   
.
Dia hanya tersenyum. Lalu menjabat tanganku erat, “Kau sudah kedinginan, lebih baik aku memberi kehangatan dulu sebelum dibunuh oleh perempuanku nanti. Dia tidak ingin kau menunggu. Aku juga tidak memberitahunya kalau nenek datang pagi ini.” 
.
Kami berjalan menyusuri pertokoan baju. Sekali pun ribuan kali aku melewatinya tidak ada rasa ingin untuk membeli. Uang adalah sesuatu yang didapat untuk membeli makanan. Soal pakaian, riasan dan sepatu, ada puluhan toko di pasar tradisional yang buka pada pertengahan bulan di pinggiran kota. Aku selalu membelinya di sana. Bukan barang-barang import. Baju-baju dan semua barang di sana adalah hasil pengusaha kecil pinggiran kota. Warna sama, bentuk sama tapi harga berbeda. 
.
“Secangkir cokelat hangat dan burger akan menghangatkanmu.” Dia memberiku sarapan. Uap masih mengepul dan aku mencium aroma yang tak bisa kunikmati setiap hari. Uang hasil kerjaku selalu terbagi. 
.
“Terima kasih,” ucapku saat kami kembali melangkahkan kaki. Dia tidak menjawabnya. Hanya lirikan mata dan dilanjutkan kerlingan. “Kau tidak secerewet di dunia maya. Ternyata kau pendiam. Dan sangat sopan di dunia nyata,” ujarnya jujur. Aku hanya tersenyum menanggapi komentarnya. 
.
Kami tiba di toko kecil bertuliskan ‘Home’ di gantungan yang tertempel di pintunya. Laki-laki itu masuk dan membunyikan bel lalu mengucap salam dalam bahasa yang tak bisa kumengerti. Masih sepi, kursi-kursi bergumul dengan meja. Lantai masih basah dan piring tertata di sudut meja sebelah kanan kasir. “Masuklah, toko akan buka dua jam lagi. jangan berdiri saja, hangatkan kedua kakimu di tungku. Setelah itu kita akan mengumpulkan recehan untuk tabungan liburan musim dinginmu.” 
.
Perempuan bertudung keluar dari dapur, dia tersenyum lalu meletakkan apronnya setelah aku masuk dan melihat sosoknya. Dia berjalan ke arahku. Memeluk dan badannya hangat. Perutnya membuncit. Pakaian yang menempel di tubuhnya menutup semua kulitnya. Hanya tangan dan wajah yang nampak. “Kenalkan, namaku Saina. Dan kau pasti Vivie.” Gigi gingsulnya terlihat manis saat dia memperkenalkan diri. 
“Saya Vivie dan terima kasih sudah mau mengajak untuk bekerja di sini.”      
.
“Suamiku memperkenalkanmu dua hari yang lalu. Aku pernah melihatmu di kereta bawah tanah seminggu yang lalu. Dan sekarang, aku tidak akan memberimu recehan,” jelas Saina. Perempuan itu memang hangat, bukan badannya tapi tutur kata. 
Lelaki itu mulai menurunkan satu per satu kursi. Melap lalu meletakkan wadah garpu sendok di sana. Kuletakkan jaket dan syal di lemari kaca belakang kursi kasir. Mengambil apron dan kain basah yang sudah disediakan. Ada beberapa orang masuk lalu memeluk laki-laki itu sebentar dan melakukan apa yang kukerjakan tadi. Mereka memasuki dapur, membaca sebentar tulisan yang tertempel di dinding. Saina membuka mesin kasir, meletakkan beberapa lembar uang lalu mencatatnya di buku sampul hijau. Dia mengeluarkan puluhan lembar menu. Lalu berdiri dan meletakkannya di tiap meja. Aku membersihkan meja itu satu per satu. Saina dan laki-laki itu berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti. Samar-samar mereka mengucap sebuah kata yang sering kudengar saat salah satu temanku mendapat nilai memuaskan, ‘Alhamdulillah’. 
 . 
“Vie!” teriak seorang gadis dari dapur, “tak kusangka kita bertemu di sini.” Dunia memang sempit atau Tuhan sengaja mempertemukanku dengan orang-orang berwajah Asia ini. Setidaknya mereka baik dan tidak memberiku pekerjaan mengantar bir pada laki-laki bertubuh gemuk dan bau. 
“Nisa!” sahutku. Dia berjalan hati-hati di lantai yang masih basah. Memakai apron dan jemarinya belepotan adonan. Dia memakai penutup kepala. Kain berwarna merah tua menutupi rambutnya. “Kau sedang memasak?” 
Dia menarik tanganku, berjalan melewati pintu kayu. Di sana ada beberapa laki-laki yang masuk setelahku tadi. Si janggut tipis menguleni adonan, si rambut pirang memotong sayuran dan si laki-laki yang menggunakan headphone mengaduk sesuatu di panci. Mereka tersenyum padaku. 
Perkenalan singkat tapi aku mampu menghapal nama mereka bertiga. Mereka baik dan tidak pernah menanyai macam-macam. Jarum berputar dan kini toko kecil ini sudah ramai pengunjung. Satu per satu pesanan dicatat. Ada perempuan dewasa lagi datang dan kini duduk di kursi kasir. Nisa memberitahu bahwa dia adalah anak dari pemilik tempat ini. Dia juga bekerja, tapi sayang karena kakinya tak normal dia susah mendapatkan pekerjaan. Dia asli warga kota ini. 
 . 
 “Kamu Vivie?” tanyanya saat aku berjalan melewati tempat dia duduk. Rambutnya diikat kuda, cat kukunya putih mengkilap dan bibirnya tersenyum. Dia cantik. 
 . 
“Iya,” ujarku pelan. 
 . 
“Selamat datang di kedai ramah. Sering-sering tersenyumlah. Tuhan pasti memberimu kemudahan.” 
Pelanggan mulai sepi dan senja mulai memasuki kota. Aku hanya bekerja mencatat pesanan dan mengantarkannya. Ada beberapa pelanggan yang mengambil sendiri atau malah membantuku membawa baki. Mereka saling melayani satu sama lain. Ada mesin kopi berbagai rasa di dekat kasir. Pelanggan mengambil sendiri lalu membayar di kasir. Aku hanya mencatat pesanan makanan. Berupa-rupa dan ini pertama kalinya aku melihat menu makanan Asia. 
 “Sebelum pulang kita akan makan malam. Jangan pulang sendirian, Vie. Suamiku akan mengantarmu nanti. Bersama dengan Nisa dan Sofie. Hujan salju mulai turun, mungkin beberapa transportasi berhenti beroperasi.” 
Saina perempuan yang sangat baik. Walaupun hamil dia tetap bergumul adonan di dapur, suaminya pun sibuk melayani pelanggan. Tidak ada rasa capek di wajah mereka. Apalagi setelah kami berkumpul satu meja seperti ini. Mencicipi makanan yang membuatku ketagihan. Dan cermin-cermin yang mengelilingiku tadi pagi menghilang sejak tubuhku bergelut menikmati pekerjaan. Dan di sekitarku sekarang adalah teman. Yang tidak memantulkan ketakutan saat melihat bibir sumbingku diam. 
.
Klaten, 13 Desember 2016
#nunox90
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar