Powered By Blogger

Selasa, 03 Januari 2017

MALAM MINGGU LISA

Cerita untuk sahabat-sahabat di Asmanadians ^_^
.
.
Gerimis di Jogja belum tuntas sempurna. Masih ada mendung menyebar di kota. Pesan manis di BBM dua hari lalu kudiamkan saja. Padahal butuh jawaban, entah dengan kalimat apa harus mengutarakan. Menerima atau menolak sepertinya sama-sama keputusan yang tak bisa ditolak. Menerima berarti harus siap dengan terbukanya luka tapi jika harus menolak, tentu banyak suara yang mengusulkan tanya. Mengeratkan kembali khimar yang sudah terpasang menutupi  helaian hitam. Mengaitkan jarum ke sisi kiri dan kanan, kain khimar yang tersisa harus dirapikan. Khimar lebar bukan berarti tidak bisa bermain kepantasan. 
.
“Bu … apa benar kata Om Gumilang. Kalau jodoh Lisa masih jauh?”
“Hush … kata-kata Om kamu itu jangan diambil hati.” Nasehat Ibu terus terngiang hingga saat ini.
.
Serasa ingin meghantamkan kepala ke kaca almari. Pertanyaan itu terus saja menghantui. Kembali kulayangkan pandangan pada tumpukan buku di meja belajar, wisuda atau KUA. Masih ada puluhan agenda yang tertempel erat di dinding. Apakah harus menanggalkannya hanya gara-gara ledekan Om Gumilang. Bermula dari dua minggu lalu, pertemuan singkat di sebuah walimahan teman. Laki-laki berkaca mata itu menyihirku, tentu bukan karena ketampanannya, sedikit saja yang tahu, dulu kami pernah mempunyai cerita saat masa-masa SMA.
.
“Miss Malam Minggu!” Dia memanggil seperti itu. Di kerumunan banyak tamu, tanpa sapa karena lama tak bertemu, teriakan itu seperti durian runtuh menimpa tubuh. Bukan hanya gelak tawa yang kudapat tapi juga serentetan pertanyaan tentang siapa dia.
.
“Menolak lamaran lelaki saleh berarti menghancurkan sebuah negara dengan bom Nagasaki Hiroshima. Lebur, asap membumbung. Harapan pecah, cinta dipersusah.” Begitu kalau sudah diskusi sama Om sendiri. Menggalakkan nikah muda, targetnya. Tapi ujung-ujungnya selalu memaksa calon yang beliau bawa. Sudah tiga laki-laki yang kutolak karena belum merasa dihati. Tapi kali ini entah kenapa rasa itu datang lagi. Ya, masa abu-abu yang meresapi kalbu. Kaca mata itu tak pernah terlepas dari wajahnya. Tubuh jangkung dengan badan tak terlalu kurus. Kakak kelas masa SMA itu semakin membuatku gila. Bukan karena ketampanannya, karena wajahnya biasa saja. Tapi kenangan yang kembali ke ingatan. ‘Miss Malam Minggu’, apakah dia benar-benar menyimpan cerita itu?
.
“Kenapa kamu selalu menolak laki-laki yang Om bawa?”
“Bukan begitu, Om Gumilang. Om tahu sendiri, Lisa masih fokus ke skripsi dan goal wisuda di tahun 2017 ini. Apa nikah bisa menjadi pemecah masalah dari semua itu?” tanyaku.
“Nikah itu ibadah, Lis. Semakin diundur ceritanya malah semakin ngawur. Kenapa berlama-lama sendiri jika sudah ada ikhwan yang mau menikahi? Hidup itu goalnya akhirat. Dan separuh agama bisa dibina melalui pernikahan. Jangan menolak lagi, Om bakal bawa Dio ke rumah bulan ini!”
.
Keputusan akhir tetap di tangan tetua, sepertinya itu tradisi keluarga besar. Tidak bisa menolak karena seminggu lalu undangan sidang sudah kupegang dan kemungkinan pertengahan tahun ini wisuda sudah dilaksanakan. Kembali melihat pesan di layar, hanya kalimat tapi bisa membuat pikiran kiamat. ‘Lis, siap menjadi teman malam mingguku setiap malam? Aku sudah membaca proposalmu dan jika kau bersedia, Demi Allah aku ingin meminangmu segera.’
.
“Berarti acara akan dimulai besok pagi. Jangan lupa bawa semua peralatan, sebelum hari Senin semua medan sudah dipasangi perlengkapan. Cek daftar bawaanmu, Lis. Bolak-balik rumah kan lumayan, atau kamu beli semua di toko kelontong bapakku. Pasti ada,” ucap Kak Dio, menghitung jumlah bendera merah putih. 
“Kak Dio, malam minggu kok sepi ya?” tanyaku.
“Kamu sudah makan, Lis?” Nurul menoleh.
“Sudah, tadi sebelum maghrib sama Kak Dio makan mie ayam seberang jalan.” Sepintas melihat wajah teduhnya.
“Ciee … yang duluan malam mingguan,” ejek Nurul.
“Lah, kan ini memang malam minggu. Ada apa sih orang cuma makan karena kelaparan,” tukasku kesal.
“Tadi siang ada ceramah jumatan gak?” Kak Dio memasang mimik datar.
“Iya ada!” Aku menjawab lantang, “Eh, sebentar … kalau tadi siang jumatan berarti ini malam …,”
“Miss Malam Minggu.”
.
Aku malu, kebetulan atau tidak, muka serta kejujuran dalam menunjukkan perasaan terbaca oleh kawan-kawan. Begitu juga Kak Dio, gosip menyebar karena obrolan di lapangan sekolah malam itu. Pengalaman pertama menyukai seseorang masa SMA. Bukan hanya berita yang kudapat tapi sikap laki-laki yang memberi panggilan dengan ‘Miss Malam Minggu’. Kedekatan itu merenggang, hal-hal yang membuat kami dekat karena ukhuwah sebisa mungkin Kak Dio putus untuk menjaga fitrah. Dia menghindari semua kegiatan yang sama, mengurangi waktu di sekolah. Ada jarak tercipta saat semua rasa mengumpul di dada. Yang kutahu, rasa itu meninggalkan luka. Tidak bisa terungkap meski raga ingin mendekap.
.
“Om.”
“Iya, Lisa … tumben telepon,” sahut suara serak di seberang.
“Lisa ingin mengakhiri kesendirian.”
Senyap. Tak ada jawaban atas pernyataan. “Aku tidak punya alasan untuk menolak ajakannya. Setidaknya dia juga yang mampu menutup kisah malam mingguku. Om pasti sudah dengar semua ceritanya.”
.
Obrolan berakhir, hanya salam yang kudapat sebagai jawaban. Detik berganti menit dan hati semakin didera ketidakpastian. Tidak mungkin Om Gumilang mencabut kesepakatan dengan cepat. Kembali ke kamar, masih ada tas besar dan beberapa helai baju yang belum rapi dimasukkan. Lantunan istighfar terus membasahi rongga, tapi tetap saja hati tak bisa tenang sampai muara kegelisahan ini melebur menjadi perjanjian.
.
‘Tahun ini, EVERYNIGHT IS SATURDAY NIGHT, just for you, Lisa.’
Pesan WA mengusir gelapnya sangkaan. Mendung berlari setelah kedatangan mentari. Awan-awan berjejer menempatkan diri di birunya langit. Tetes-tetes sisa air hujan menyegarkan kembali ingatan. Tuhan tidak pernah memberikan pilihan, jika kita sendiri tidak bersedia untuk berikhtiar.
.
Barakallah ^^
.
Klaten, 03 Januari 2017
#nunox90



Tidak ada komentar:

Posting Komentar