Powered By Blogger

Selasa, 13 Juni 2017

PRIA BERDASI KUPU-KUPU










Semua rakyat memakai pakaian terbaik mereka. Kain berwarna warni dipasang di setiap pintu. Sebagai hiasan sekaligus tolak bala hujan. Para perawan sibuk menata hiasan di mahkota kepala. Tidak boleh diikat, harus diurai dan ditata supaya terlihat berbeda dari hari biasa. Gaun-gaun mereka juga harus satu warna, putih tulang. Setahun sekali, perawan-perawan di negara ini diijinkan untuk berhias. Menampilkan wajah ayu serta tubuh molek mereka di hadapan lelaki. Sedangkan untuk mereka yang sudah berkeluarga, harus memakai baju seragam. Ayah, Ibu dan anak-anak harus memakai pakaian dari kain yang sama. Dan harus berbeda dari keluarga lainnya.

Untuk lelaki bujang, diwajibkan memasang dasi pada leher-leher mereka. Dengan jas hitam dan kemeja putih. Celana dan sepatu berwarna hitam. Dasi kupu-kupu, tidak boleh yang lain karena kupu-kupu memiliki artian setia. Rambut mereka disisir ke sebelah kanan. Bagi yang memiliki rambut bergelombang, botak dan kekurangan helaian rambut, diharuskan memakai topi bundar berwarna hitam. Laki-laki dilarang menyesap cerutu pada acara ini. Hari terakhir mereka berkelana, setelah acara ini mungkin saja satu gadis bisa mereka dapatkan dan membuat kerajaan kecil bersama.

"Bapa ... Bapa ... Chermis sangat cantik memakai gaun itu. Ada hiasan naga di rambutnya."

Gadis kecil itu berlari menyambut kedatangan ayah angkatnya. Sebagai putri angkat, dia diperbolehkan memakai baju pemberian Ratu yang setiap tahun memang dikirimkan dari kerajaan. Ratu negara ini memang baik hati. Anak-anak tanpa orang tua adalah tanggung jawabnya. Gaun-gaun kecil itu dijahit oleh penjahit kerajaan. Ukuran-ukuran mereka akan diambil oleh petugas kerajaan sebulan sebelum acara besar ini. "Itu bukan naga. Itu helaian yang dibagi menjadi tiga lalu ditata sehingga seperti mengait satu sama lain. Jika rambut Lily sudah panjang. Besok dikepang seperti itu."

Biarawati menjelaskan ke Lily alasan rambut Chermis dihias sedemikian rupa, "Kamu ingat, gereja kita kedatangan kuda pangeran beberapa bulan lalu?"

Lily mengangguk, "iya, juga kedatangan sang Ratu. Barang-barang berlapis kuning dan puluhan buku tebal-tebal."

Biarawati tersenyum, jemarinya mengelus halus pipi sebelah kiri Lily. Mengucapkan doa lirih, meminta Lily untuk mengaminkan. "Rumah kita memiliki seorang calon ratu negeri ini."

Lily berlari, menyusuri lorong bangunan gereja, melihat banyak hiasan bunga mawar merah di sepanjang perjalanannya membuat dia seperti berjalan di taman bunga. Kamar Chermis ada di sudut lorong. Pasti sekarang dia gugup.

Pintu diketuk, Lily membuka kenop lalu melangkahkan kakinya ke ruangan Chermis. Sepi, bahkan para penata rias sudah tidak ada di kamar Chermis. Kamar Chermis sudah rapi, bahkan ranjang sudah tak berselimut lagi. Lily berteriak memanggil nama Chermis. Apakah dia sudah keluar? Batin Lily.

===============

Arak-arakan di jalan semakin ramai. Botol-botol anggur berserakan di jalan. Perempuan-perempuan bergaun putih tulang sudah memasuki ruangan. Tinggallah laki-laki di luar, mempersiapkan semua senjatanya untuk pertunjukan malam ini. Jika memuaskan, berarti dia, perempuan itu adalah calon ratu kerajaan kecilnya. Jika tidak, masih ada tahun depan untuk mencari pasangan yang layak diajak menaiki tahta ratu kerajaan kecilnya.

Perempuan itu gugup, remasan jemarinya berkeringat. Dia baru pertama kali mengikuti acara pencarian seperti ini. Dia cantik, bibir mungil, mata bundar, hidung bangir, rambut hitam panjang. Kekurangannya hanya satu, dia penakut. Tiba-tiba pintu diketuk, kenop terputar. Jantungnya berdegub tak karuan. Laki-laki tinggi masuk lalu memutar kunci tiga kali. Membuka jas dan sepatunya, meletakkannya di sisi pintu. Ruangan itu hanya kecil, satu ranjang, satu kursi sudut dan meja hias kecil, juga kamar mandi mungil.

"Aku lelah, setelah undian ternyata aku mendapat kamar yang sangat jauh."

Laki-laki itu duduk dan menyandarkan kepalanya di bantalan kursi. Memejamkan mata sejenak, lalu melirik ke arah perempuan itu berdiri. "Baru pertama kali?"

Perempuan itu mengangguk, melihat ke wajah si laki-laki. Tampan, batinnya.

"Aku bosan mengikuti acara tahunan kerajaan, dan ini menyesatkan."

"Kau tidak setia pada kerajaan?"

"Setia pada kerajaan tidak harus dibuktikan mengikuti kegiatan yang bodoh seperti ini."

Perempuan itu memberanikan diri duduk di tepi ranjang. Melepaskan sepatu sempitnya lalu mengurut betisnya sebentar. "Aku juga berpikiran sama, kita seperti dipermainkan. Disentuh, jika tidak puas ditinggalkan."

"Bahkan calon istri dari putra Sang Raja permainannya memalukan. Dia cantik tapi tak layak dijadikan ratu."

Laki-laki itu tertawa, kembali memejamkan mata. Membayangkan kembali saat pertama kali menyentuh seorang perempuan, "aku akan menikahimu. Aku bosan berburu."

"Apa maksudmu?"

"Kau perawan, kan?" Perempuan itu diam. Kembali memandang gerak bibir lelaki yang duduk di kursi. "Meskipun aku sudah merasakan semua jenis wanita. Aku tidak ingin ratuku pernah disentuh oleh pria lain sebelumnya. Mencari gadis perawan di negeri ini seperti mencari permata di lahar gunung berapi."

Mereka menghabiskan malam dengan bercerita. Menunggu pagi untuk menjemput takdir baru. Laki-laki itu tertidur di kursi. Perempuan muda dan cantik itu mempersilakan pengawal istana masuk ke kamarnya saat subuh belum tiba.

"Sampaikan surat itu ke Ayahanda, aku sudah menemukan calon raja baru negeri ini."


Kerajaan akan dia ubah. Vecia membenci ibunya. Acara-acara seperti ini adalah proses persembahan sang Ratu untuk iblis kecantikannya. Bersama dengan laki-laki yang sebentar lagi menjadi suaminya dan hidup di istana negeri. Dia akan mematahkan perjanjian sang Ratu. Dan membawa negeri ini kembali ke tangan sang ayah, Raja Negeri Dongeng.

Klaten, 7 Desember 2016
Picture by Google

2 komentar: