Oleh Nanik Haryanti
***
“Ismail!”
“Iya, Mak.”
“Kemarilah.Emak
nak wasiatkan sesuatu.”
Mimpi itu datang lagi. Sudah lima
tahun lebih. Wajah lemah Emak masih saja terbayang.Membentuk menjadi bunga
tidur.Melepaskan rindu yang selama ini kupendam.Gurat keriput di sekitaran
matanya masih terekam.Emak meminta menikahi anak teman pemecah batu yang dia
temui satu minggu sebelum berpulang. Namanya Wening. Keturunan Jawa.
“Hari ini ada tinjauan dari departemen
pendidikan.Tidak perlu risau dengan kunjungan mendadak ini.Beliau hanya
melihat-lihat kondisi bangunan sekolah.Karena mungkin, sekolah kita terpilih
sebagai penerima bantuan renovasi sekolah.”
Setelah kepergian Emak. Kuputuskan
untuk merantau ke kota. Berbekal tabungan dan hasil menjual perhiasan simpanan
Emak.Bertekad melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.Mengambil ilmu
agama.Berharap, jika pulang ke kampung, bisa meneruskan perjuangan guru-guru
agama di tempat menimba ilmu waktu sekolah dasar dulu.
Wasiat dari Emak tidak pernah bisa
kulaksanakan.Pertemuan dengan Wening setelah sebulan kepergian Emak tidak
menghasilkan apa-apa. Geming, meski rupa manis itu menyihir mata untuk takluk
pada parasnya. Masih saja, hati menolak untuk memilikinya.Dulu, belum punya
apa-apa.Ijasah sekolah menengah atas, tidak bisa menjamin rejeki yang kudapat
bisa menyukupi kebutuhan hidup berumah tangga.Wening adalah pegawai kontrak
sebuah perusahaan listrik negara.Ibu dan ayahnya pisah maut.Setelah berhasil
menamatkan pendidikannya di Jawa, selama setahun dibiayai negara.Dia meminta
ditempatkan di tanah Sumatra.Menemani masa tua ibunya.
“Tidak lelah jadi jejaka kau,
Ismail?Teman-temanmu sudah naik pelaminan.Apa tidak ada rasa iri di hati?”
“Ada lah, Pak.”Aku berucap tegas meski
tahu harapan tak lagi berpihak.
“Lalu?Sudah punya calon?Atau Bapak
carikan?”
Orang paling disegani di sekolah ini
memang memiliki riwayat berhati mulia.Sudah belasan bahkan puluhan murid-murid
yang beliau jodohkan berhasil menapaki jalan perkenalan. Sudah puluhan cucu, beliau
dapatkan dari menjodohkan bujang dan perawan dari berbagai kota. Tapi untukku,
malu rasanya jika meminta dicarikan.
“Saya malu, gaji tak seberapa tapi
meminta dicarikan belahan jiwa.Nak beli mahar darimana, Pak?”
“Gaji kau tiap bulan kan ada.Cukup untuk
membeli cincin emas putih itu.Aku carikan istri yang kaya raya tapi imannya
ada.”
Pria tua berkopiah itu tertawa.Beliau
selalu paham, pertanyaan yang ada di pikiran.Menikah buatku bukan hanya
menanggalkan status perjaka. Hidup sebatang kara, dengan gubug tua sebagai tempat
lelap serta pelindung hujan dan panas. Genting pecah, jika hujan tadah ada di
mana-mana.Lantai kayu lapuk belum bisa kuganti sejak kepergian Emak.Perabotan
banyak yang kujual.Ingin sekali mengganti dinding-dinding reyot itu dengan batu
bata pilihan.
Wening.Nama itu masih tumbuh di
hati.Hampir setiap hari, kami bersua di jalan atau tempat dia menitipkan
anaknya. Wajah manis itu tidak pernah berkurang. Teduh pandang dia saat menatap
masih terekam.Aku teringat ucapan Emak.Jodoh itu dia yang telah diucap dalam
ijab.Dia baik atau tidak.Saleh atau masih setengah-setengah.Semua butuh waktu
untuk menjadi lebih baik.
Pernikahan Wening adalah sebuah
penghianatan bagi perjuangan mendapatkannya.Aku tidak meminta untuk
menunggu.Memantaskan diri untuk menebus maharnya.Tapi tetap, Tuhan tidak
mengijinkan. Sakit, melihat dia disumpah dengan jabat tangan lelaki lain.
Baraku padam tapi tidak untuk perasaan.Terluka tapi entah kenapa rasa iba itu
ada.Sesaat terakhir sebelum pinangan itu dia terima. Selembar surat permintaan
maaf, begitu juga hadiah perpisahan, sebuah buku membangun pendidikan di luar
ibukota. Menjadi bukti perasaan yang kami miliki sama.
“Pak!Banjir di kelas dua, Pak!”Teriakan
mengaburkan lamunan.
Semua sepatu diamankan di ruang kepala
sekolah.Anak-anak berlarian, mengambil ember kosong atau panci untuk wadah air
hujan. Kelas lain sibuk mengerjakan ulangan. Kelas dua dan tiga memang memiliki
atap yang jauh dari kata layak.Kayu-kayu penyangga genting sudah banyak yang
patah.Tidak pada tempatnya atau jatuh ketika angin datang.
“Jangan lari-lari!Masuklah ke kelas
enam.Mereka sudah selesai mengerjakan soal.Jangan main hujan-hujanan!”
Anak kelas satu sampai kelas tiga
berlarian ke gedung sebelah.Memang tahap renovasi masih berjalan. Uang
renovasi, jatah dari dinas pendidikan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Kesepakatan awal, bahan-bahan bangunan dibeli langsung, orang-orang suruhan
dinas mengantarkan semen, batu sungai, batu bata merah, pasir, besi, dan kayu.
Setelah proses pembangunan, bahan-bahan ternyata kurang. Sedangkan uang yang
sudah digelontorkan fantastis, milyaran.Jika yang diminta memegang uang bantuan
itu aku atau kepala sekolah.Pasti gedung bertingkat sudah kami buat.
“Bagaimana ini, Pak?Tidak mungkin kita
terus mengandalkan uang bantuan.Sekiranya ada pun pasti selalu begini.Bangunan
tidak lengkap dan laporan sudah harus siap.”
“Mau bagaimana lagi, Ismail.” Wajah
teduhnya berhadapan dengan tetesan air yang mengisi ruangan, “minta lah guru
lain menjaga anak-anak di kelasmu. Kita sama-sama meminggirkan meja dan kursi,
mereka akan cepat lapuk jika tersiram air hujan.”
Lantai bersemen penuh air
bergoyang.Celana ditekuk sampai lutut, memakai mantel dan tanpa alas kaki. Meja
kelas ada lima belas, serta bangku, sekitar dua puluhan. Ada yang kursi untuk
satu anak tapi ada juga kursi bersama.Menyelamatkan buku-buku paket pelajaran
yang tersimpan di lemari kelas.Menutup lemari dengan plastik di atasnya.Kapur
tulis dimasukkan ke tempat aman.Alat menulis untuk papan hitam itu sangat mahal
di daerah ini. Harus ke kota.
Sungguh benar perkataan
teman-teman masa menempuh sarjana.
Pemerintah jarang memperhatikan fasilitas pendidikan di daerah terpencil.Mudah
saja membuat megah bangunan ibukota, itu sebagai tolak ukur keberhasilan
pemerintah dalam memberikan perhatian.Tapi tidak ketika berjalan ke tanah yang
jauh dari tempat semayamnya kursi-kursi penguasa.Jangankan bangunan, perhatian
mereka selalu diluputkan dari ketidaktimpangan. Bahwa anak-anak kota lebih
berharga dari desa.
“Tak perlu menggantungkan asa ke
pemerintah.Terlalu berharga harga diri kita untuk merayu uang mereka.”
Ucapan itu seperti mantra saat langkah
tersandung lalu jatuh.Lelaki yang abadi berbakti untuk pendidikan desa ini
bernama Sutarso.Beliau keturunan Jawa.Ijazah sekolah guru yang dicecap semasa
muda dulu, menjadi pegangan kala sarjana tak sanggup diajak kembali ke
desa.Dulu, sekolah ini hanya memiliki tiga kelas.Papan dari bambu, bahkan
jendela dibuat luas.Aku bersekolah dari kelas satu sampai tiga. Tak ada taman
kanak-kanak di sini. Sekolah awal untuk belajar menulis hanyalah di mushola. Di
sana, tempat untuk menghaturkan kewajiban lima kali sehari itu menjadi tempat
ajar mula anak-anak mengenal huruf alphabet. Beriringan dengan menghapal
hijaiyah.
Dan kini, mushola itu berubah menjadi
tempat bisu.
“Ismail, kau memandang halaman atau
bangunan seberang?”Pak Sutarso membuyarkan angan.“Kau ini,” nadanya terdengar
bercanda, “istri orang jangan terus dipandang.”
“Tidak, Pak. Aku melihat bangunan di
halaman sekolah kita,” tolakku.
“Itu hanya ada material batu, pasir
dan bata yang sudah dua tahun menumpuk di sana.Bangunannya belum jadi.”
“Pak, bagaimana kalau kita meminjam
uang dari bank?”
“Jaminannya apa?Harus ada agunan dan
ini sekolah negeri bukan yayasan.”
“Surat tanah milik Emak masih ada,
Pak. Dari pada bangunan itu hancur diguyur alam, lebih baik kita teruskan,”
tuturku lirih menatap bangunan tegak tanpa atap, “jika diperbolehkan.Aku ingin
menghabiskan masa tua untuk membangun pendidikan di tanah lahirku sendiri.”
Beliau menghembuskan napas panjang.Tak
ada jawaban, tapi hati kami seperti bisa saling berbicara.Bisakah?“Aku tanyakan
dulu ke beberapa orang.Dan melihat apakah kita bisa saling berbagi bantuan.Kau
tak sendirian, Ismail.Tapi ingat pesan Bapak, jangan gegebah, urusan dengan
bank itu tidak mudah.Ada angsuran bulanan dan kita tahu kondisi keuangan
sekolah kita.”
Tidak ada perbincangan lebih setelah
usulan itu kukeluarkan. Hari-hari sekolah tetap sama, saat terik atau hujan
kami tetap berlarian mencari tempat teduh.
***
Langkah anak-anak bergerombol kecil di
bawah teduh payung. Sesekali terhenti, menghindar dari cipratan sepeda motor
atau mobil lewat. Mereka berteriak, berharap air lumpur tidak menempel diseragamnya.
Payung mereka bergoyang saat
bersinggungan dengan angin.
Tidak ada rasa bosan, hari-hari selalu
dibuntuti hujan.Sama seperti hatiku, yang tak pernah kering terendam kenangan.
Ah, tidak, Wening hanyalah pelengkap cita. Di saat gejolak rasa memuncak, di
kala rindu meminta diadu.Lambat laun rasa itu menghilang, tertelan kenyataan.
Berbekas tapi hanya sanggup terbingkai
menjadi cerita.
“Apa benar sekolah akan memiliki kelas
baru?” tanya anak berkucir kuda.
“Pak Ismail pernah berkata seperti
itu.”Lembut suara murid kesayanganku terdengar dari sini, “beliau bilang, tahun
baru kelas baru kita akan diberi atap.”
Semua perbincangan mereka tersengar
dari sini.Gelak tawa, suara kecewa, candaan. Tanah ini tidak akan pernah
kugadaikan atas nama modernisasi. Biarkan anak-anak itu berjalan, menyusuri
tanah basah menuju sekolah.Lelapkan masa kecil mereka dengan
kesederhanaan.Tutur mereka terlalu lugu untuk diajari Bahasa
internasional.Kelak, anak-anak ini paham, negara butuh mereka sebagai pemundak;
penyangga pondasi bangsa.Kaki lincah mereka mungkin sekarang tidak
berjejak.Terhanyut lumpur, air hujan dan juga keterbatasan.Tapi setelah pola
pikiran matang, lepaskan, karena bekal sudah digenggam.
“Indonesiaku memiliki banyak pejuang.”
===================================
Klaten, 02 Februari 2017
Picture by Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar