Powered By Blogger

Sabtu, 03 Juni 2017

BUKAN PERJAKA BATU










Oleh Nanik Haryanti
***

“Ismail!”
“Iya, Mak.”
“Kemarilah.Emak nak wasiatkan sesuatu.”

Mimpi itu datang lagi. Sudah lima tahun lebih. Wajah lemah Emak masih saja terbayang.Membentuk menjadi bunga tidur.Melepaskan rindu yang selama ini kupendam.Gurat keriput di sekitaran matanya masih terekam.Emak meminta menikahi anak teman pemecah batu yang dia temui satu minggu sebelum berpulang. Namanya Wening. Keturunan Jawa.

“Hari ini ada tinjauan dari departemen pendidikan.Tidak perlu risau dengan kunjungan mendadak ini.Beliau hanya melihat-lihat kondisi bangunan sekolah.Karena mungkin, sekolah kita terpilih sebagai penerima bantuan renovasi sekolah.”

Setelah kepergian Emak. Kuputuskan untuk merantau ke kota. Berbekal tabungan dan hasil menjual perhiasan simpanan Emak.Bertekad melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.Mengambil ilmu agama.Berharap, jika pulang ke kampung, bisa meneruskan perjuangan guru-guru agama di tempat menimba ilmu waktu sekolah dasar dulu.

Wasiat dari Emak tidak pernah bisa kulaksanakan.Pertemuan dengan Wening setelah sebulan kepergian Emak tidak menghasilkan apa-apa. Geming, meski rupa manis itu menyihir mata untuk takluk pada parasnya. Masih saja, hati menolak untuk memilikinya.Dulu, belum punya apa-apa.Ijasah sekolah menengah atas, tidak bisa menjamin rejeki yang kudapat bisa menyukupi kebutuhan hidup berumah tangga.Wening adalah pegawai kontrak sebuah perusahaan listrik negara.Ibu dan ayahnya pisah maut.Setelah berhasil menamatkan pendidikannya di Jawa, selama setahun dibiayai negara.Dia meminta ditempatkan di tanah Sumatra.Menemani masa tua ibunya.

“Tidak lelah jadi jejaka kau, Ismail?Teman-temanmu sudah naik pelaminan.Apa tidak ada rasa iri di hati?”
“Ada lah, Pak.”Aku berucap tegas meski tahu harapan tak lagi berpihak.
“Lalu?Sudah punya calon?Atau Bapak carikan?”

Orang paling disegani di sekolah ini memang memiliki riwayat berhati mulia.Sudah belasan bahkan puluhan murid-murid yang beliau jodohkan berhasil menapaki jalan perkenalan. Sudah puluhan cucu, beliau dapatkan dari menjodohkan bujang dan perawan dari berbagai kota. Tapi untukku, malu rasanya jika meminta dicarikan.

“Saya malu, gaji tak seberapa tapi meminta dicarikan belahan jiwa.Nak beli mahar darimana, Pak?”
“Gaji kau tiap bulan kan ada.Cukup untuk membeli cincin emas putih itu.Aku carikan istri yang kaya raya tapi imannya ada.”

Pria tua berkopiah itu tertawa.Beliau selalu paham, pertanyaan yang ada di pikiran.Menikah buatku bukan hanya menanggalkan status perjaka. Hidup sebatang kara, dengan gubug tua sebagai tempat lelap serta pelindung hujan dan panas. Genting pecah, jika hujan tadah ada di mana-mana.Lantai kayu lapuk belum bisa kuganti sejak kepergian Emak.Perabotan banyak yang kujual.Ingin sekali mengganti dinding-dinding reyot itu dengan batu bata pilihan.


Wening.Nama itu masih tumbuh di hati.Hampir setiap hari, kami bersua di jalan atau tempat dia menitipkan anaknya. Wajah manis itu tidak pernah berkurang. Teduh pandang dia saat menatap masih terekam.Aku teringat ucapan Emak.Jodoh itu dia yang telah diucap dalam ijab.Dia baik atau tidak.Saleh atau masih setengah-setengah.Semua butuh waktu untuk menjadi lebih baik.

Pernikahan Wening adalah sebuah penghianatan bagi perjuangan mendapatkannya.Aku tidak meminta untuk menunggu.Memantaskan diri untuk menebus maharnya.Tapi tetap, Tuhan tidak mengijinkan. Sakit, melihat dia disumpah dengan jabat tangan lelaki lain. Baraku padam tapi tidak untuk perasaan.Terluka tapi entah kenapa rasa iba itu ada.Sesaat terakhir sebelum pinangan itu dia terima. Selembar surat permintaan maaf, begitu juga hadiah perpisahan, sebuah buku membangun pendidikan di luar ibukota. Menjadi bukti perasaan yang kami miliki sama.

“Pak!Banjir di kelas dua, Pak!”Teriakan mengaburkan lamunan.

Semua sepatu diamankan di ruang kepala sekolah.Anak-anak berlarian, mengambil ember kosong atau panci untuk wadah air hujan. Kelas lain sibuk mengerjakan ulangan. Kelas dua dan tiga memang memiliki atap yang jauh dari kata layak.Kayu-kayu penyangga genting sudah banyak yang patah.Tidak pada tempatnya atau jatuh ketika angin datang.

“Jangan lari-lari!Masuklah ke kelas enam.Mereka sudah selesai mengerjakan soal.Jangan main hujan-hujanan!”




Anak kelas satu sampai kelas tiga berlarian ke gedung sebelah.Memang tahap renovasi masih berjalan. Uang renovasi, jatah dari dinas pendidikan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Kesepakatan awal, bahan-bahan bangunan dibeli langsung, orang-orang suruhan dinas mengantarkan semen, batu sungai, batu bata merah, pasir, besi, dan kayu. Setelah proses pembangunan, bahan-bahan ternyata kurang. Sedangkan uang yang sudah digelontorkan fantastis, milyaran.Jika yang diminta memegang uang bantuan itu aku atau kepala sekolah.Pasti gedung bertingkat sudah kami buat.

“Bagaimana ini, Pak?Tidak mungkin kita terus mengandalkan uang bantuan.Sekiranya ada pun pasti selalu begini.Bangunan tidak lengkap dan laporan sudah harus siap.”
“Mau bagaimana lagi, Ismail.” Wajah teduhnya berhadapan dengan tetesan air yang mengisi ruangan, “minta lah guru lain menjaga anak-anak di kelasmu. Kita sama-sama meminggirkan meja dan kursi, mereka akan cepat lapuk jika tersiram air hujan.”

Lantai bersemen penuh air bergoyang.Celana ditekuk sampai lutut, memakai mantel dan tanpa alas kaki. Meja kelas ada lima belas, serta bangku, sekitar dua puluhan. Ada yang kursi untuk satu anak tapi ada juga kursi bersama.Menyelamatkan buku-buku paket pelajaran yang tersimpan di lemari kelas.Menutup lemari dengan plastik di atasnya.Kapur tulis dimasukkan ke tempat aman.Alat menulis untuk papan hitam itu sangat mahal di daerah ini. Harus ke kota.

Sungguh benar perkataan teman-teman  masa menempuh sarjana. Pemerintah jarang memperhatikan fasilitas pendidikan di daerah terpencil.Mudah saja membuat megah bangunan ibukota, itu sebagai tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam memberikan perhatian.Tapi tidak ketika berjalan ke tanah yang jauh dari tempat semayamnya kursi-kursi penguasa.Jangankan bangunan, perhatian mereka selalu diluputkan dari ketidaktimpangan. Bahwa anak-anak kota lebih berharga dari desa.

“Tak perlu menggantungkan asa ke pemerintah.Terlalu berharga harga diri kita untuk merayu uang mereka.”

Ucapan itu seperti mantra saat langkah tersandung lalu jatuh.Lelaki yang abadi berbakti untuk pendidikan desa ini bernama Sutarso.Beliau keturunan Jawa.Ijazah sekolah guru yang dicecap semasa muda dulu, menjadi pegangan kala sarjana tak sanggup diajak kembali ke desa.Dulu, sekolah ini hanya memiliki tiga kelas.Papan dari bambu, bahkan jendela dibuat luas.Aku bersekolah dari kelas satu sampai tiga. Tak ada taman kanak-kanak di sini. Sekolah awal untuk belajar menulis hanyalah di mushola. Di sana, tempat untuk menghaturkan kewajiban lima kali sehari itu menjadi tempat ajar mula anak-anak mengenal huruf alphabet. Beriringan dengan menghapal hijaiyah.

Dan kini, mushola itu berubah menjadi tempat bisu.

“Ismail, kau memandang halaman atau bangunan seberang?”Pak Sutarso membuyarkan angan.“Kau ini,” nadanya terdengar bercanda, “istri orang jangan terus dipandang.”




“Tidak, Pak. Aku melihat bangunan di halaman sekolah kita,” tolakku.
“Itu hanya ada material batu, pasir dan bata yang sudah dua tahun menumpuk di sana.Bangunannya belum jadi.”
“Pak, bagaimana kalau kita meminjam uang dari bank?”
“Jaminannya apa?Harus ada agunan dan ini sekolah negeri bukan yayasan.”
“Surat tanah milik Emak masih ada, Pak. Dari pada bangunan itu hancur diguyur alam, lebih baik kita teruskan,” tuturku lirih menatap bangunan tegak tanpa atap, “jika diperbolehkan.Aku ingin menghabiskan masa tua untuk membangun pendidikan di tanah lahirku sendiri.”

Beliau menghembuskan napas panjang.Tak ada jawaban, tapi hati kami seperti bisa saling berbicara.Bisakah?“Aku tanyakan dulu ke beberapa orang.Dan melihat apakah kita bisa saling berbagi bantuan.Kau tak sendirian, Ismail.Tapi ingat pesan Bapak, jangan gegebah, urusan dengan bank itu tidak mudah.Ada angsuran bulanan dan kita tahu kondisi keuangan sekolah kita.”

Tidak ada perbincangan lebih setelah usulan itu kukeluarkan. Hari-hari sekolah tetap sama, saat terik atau hujan kami tetap berlarian mencari tempat teduh.

***
Langkah anak-anak bergerombol kecil di bawah teduh payung. Sesekali terhenti, menghindar dari cipratan sepeda motor atau mobil lewat. Mereka berteriak, berharap air lumpur tidak menempel diseragamnya.
Payung mereka bergoyang saat bersinggungan dengan angin.
Tidak ada rasa bosan, hari-hari selalu dibuntuti hujan.Sama seperti hatiku, yang tak pernah kering terendam kenangan. Ah, tidak, Wening hanyalah pelengkap cita. Di saat gejolak rasa memuncak, di kala rindu meminta diadu.Lambat laun rasa itu menghilang, tertelan kenyataan.
Berbekas tapi hanya sanggup terbingkai menjadi cerita.

“Apa benar sekolah akan memiliki kelas baru?” tanya anak berkucir kuda.
“Pak Ismail pernah berkata seperti itu.”Lembut suara murid kesayanganku terdengar dari sini, “beliau bilang, tahun baru kelas baru kita akan diberi atap.”

Semua perbincangan mereka tersengar dari sini.Gelak tawa, suara kecewa, candaan. Tanah ini tidak akan pernah kugadaikan atas nama modernisasi. Biarkan anak-anak itu berjalan, menyusuri tanah basah menuju sekolah.Lelapkan masa kecil mereka dengan kesederhanaan.Tutur mereka terlalu lugu untuk diajari Bahasa internasional.Kelak, anak-anak ini paham, negara butuh mereka sebagai pemundak; penyangga pondasi bangsa.Kaki lincah mereka mungkin sekarang tidak berjejak.Terhanyut lumpur, air hujan dan juga keterbatasan.Tapi setelah pola pikiran matang, lepaskan, karena bekal sudah digenggam.
“Indonesiaku memiliki banyak pejuang.”



===================================

Klaten, 02 Februari 2017 
Picture by Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar