Powered By Blogger

Senin, 05 Juni 2017

SAAT WAKTU MENATAPMU















"Lola! Tadi sudah kubilang, jangan ditambah garam lagi. Supnya jadi terasa aneh."

"Aku hanya membantu."

Umumnya seorang perempuan itu pintar memasak tapi tidak untuk Lola. Membedakan merica dengan ketumbar saja dia tidak bisa. Belum lagi antara garam dan gula halus, harus dicicipi dulu sebelum menaburi masakan. Mata Lola memperhatikan jemari Waktu yang cekatan mengambil wadah-wadah kecil tempat berbagai bumbu. Tidak ada nama pada wadah-wadah itu sebagai pembeda.

"Kau selalu memasak?"

Lola menanyakan hal yang seharusnya sudah tahu jawabannya. Kembali melirik gerak Waktu. Pria itu sudah menuangkan sup dari panci ke mangkok. Memberi sedikit bawang goreng, lalu mengangkatnya dan diletakkan di meja makan.

"Sejak Ibu sakit, ya aku masak sendiri."

Lola mengambil dua piring dan gelas yang disimpan di rak bawah. Mengitari ruangan mencari garpu dan sendok. Seingat Lola, kedua benda itu selalu tak berjauhan tempatnya dengan piring.

"Sendok dan garpu ada di meja makan."

Lola tersenyum kaku, berlari ke meja makan dan menempatkan piring serta gelas di atas taplak kecil di depan bangku meja makan. Melihat menu di meja membuat Lola mengedipkan matanya. Bibirnya melengkung ke atas. Menandakan dia sangat ingin segera melahap semua hidangan yang ada.

"Waktu!"

"Ada apa? Aku sedang mencuci panci."

"Kapan kita makan?"

"Saat kita sedang lapar."

Lola cemberut mendengar jawaban Waktu. Tidak bisa romantis, tidak bisa memberi jawaban yang bisa membuat hatinya bersemi bunga-bunga sepatu warna warni seperti di taman rumahnya. Lelaki paling kaku yang dia kenal selama ini. Bahkan makan malam spesial yang Waktu janjikan hanya diadakan di meja makan dapur rumah Ibu Waktu. Dan masakan olahan sendiri yang dibuat oleh Waktu sebagai menunya. Tanpa lilin, tanpa bunga Lily putih dan tanpa gaun.

"Duduklah, aku akan memanggil Ibu."

"Eh, kita tidak makan berdua?" Tanya Lola polos.

"Kamu lupa ini rumah siapa?"

Lola tidak keberatan jika makan malam dengan ibunya Waktu. Dia sudah terbiasa, tapi yang menjadi masalah adalah janji Waktu untuk dinner momen keberhasilan perusahaan mereka atas produk terbaru yang dilirik investor. Usaha Lola patut diapresiasi, dia menjadi model. Pertama kalinya, ujung rambut sampai ujung kaki tubuh Lola dirias habis-habisan. Rambutnya diurai, kacamata dilepas, bahunya tak tertutup, bentuk betis kakinya luar biasa. Alis Lola disulam, bulu mata ditambahi, pemerah bibir dioles dan satu lagi, hidung mancung Lola terlihat.

"Ibu sudah tidur, kita makan saja."

Waktu yang kembali dari lantai atas langsung duduk di kursi sebelah Lola. Menggunakan kaos putih polos berlengan pendek, celana masih sama saat pulang dari kantor tadi. Kacamata terlepas. Jam tangan disimpan. Muka polos Waktu menyihir mata Lola. Perempuan lugu itu memandang lekat wajah Waktu. Merekam begitu banyak sisi kepolosan Waktu yang sangat jarang terlihat. Cara Waktu mengambil nasi, sup, dan lauk. Cara Waktu memasukkan sendok untuk lahapan pertama. Cara Waktu berbicara, memandang dan menguyah. Sangat berbeda saat dia berada di tengah suasana perusahaan.

"Kenapa? Ada yang salah?"

Lola menggeleng, tangannya terulur mengambil nasi serta sedikit sup dan memotong paha ayam menjadi dua bagian.

"Kenapa paha ayamnya dipotong?" Tanya Waktu. Melihat gerik Lola yang kaku memberi ide untuk menjahilinya.

"Aku diet," jawab Lola cepat.

"Diet untuk?"

"Kesehatan," balas Lola.

Waktu sudah tidak punya rasa senang mengusili Lola lagi. Dia menghabiskan butiran nasi di piringnya. Berdoa sebentar, lalu berdiri membawa piring dan meletakkannya di wastafel.

"Makanlah yang banyak. Aku tidak suka perempuan kurus dan suka diet."

Satu hal yang membuat Lola jatuh cinta pada Waktu; kesederhanaan di balik kekuasaannya.


Picture by Google
Klaten, Desember 2016
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar