"Ada apa, Mbok? Fitri
baru saja selesai sholat." Lipatan mukena dia letakkan di meja rias
samping ranjang. Lalu memandang ke cermin sebentar, menyisir rambut dan kembali
menggunakan kerudung.
Fitri
mendekati Simbok yang tengah memegang amplop di tangan kanan. Teriakan Simbok
saat Fitri sholat sedikit
membuatnya risau. Sudah sepuh, karena
sakit gula bertahun-tahun, kaki Simbok harus dioperasi dan kini cara
berjalannya tidak normal. Sedapat mungkin, Fitri
tidak boleh lengah menemani ibu angkatnya.
"Tadi ada undangan
nikah anaknya Lek Warsino. Penyebar undangan si Pardi. Dia lupa, dan baru hari
ini ingat. Ternyata resepsinya besok. Jadi hari ini Simbok harus nyumbang,
Nduk."
Penjelasan Simbok
menjawab kosongnya amplop yang dibawa. Fitri
beranjak dari tempat duduk samping ibunya. Membuka lemari, mencari-cari benda
di bawah lipatan baju. Dompet berwarna merah tua, pemberian seseorang tiga
tahun lalu masih dia jaga dengan baik. Hadiah pertama dan terakhir.
"Simbok mau isi
amlop itu berapa?" Tanya Fitri
saat membuka dompet.
"Warsino belum
pernah memberi sumbangan ke Simbok, jadi sepantasnya saja. Dia sekarang jadi
orang kaya," jelasnya.
"Mbok, Lek
Warsino begitu baik sama kita. Sering menolong saat kita kesusahan. Tidak
apa-apa kalau sumbangan ini dilebihkan. Sekadar balas budi." Fitri
mengisi amplop kosong itu dengan lembaran rupiah berwarna biru dua.
"Ini terlalu
banyak," tolak Simbok.
"Tidak sebanyak
yang sudah dikeluarkan Lek
Warsino untuk kita, Mbok," balas Fitri.
***
Masih pukul empat
lebih, suasana desa masih ramai lalu lalang orang. Hewan peliharaan; bebek,
ayam, kambing mulai dikandangkan. Bapak-bapak sudah membersihkan diri dari
aktifitas sawah. Anak-anak masih sibuk mengeja huruf hijaiyah di masjid. Warung-warung
makanan ramai dengan pembeli. Satu dua mobil bak terbuka menyeterika jalan
dengan ke empat rodanya. Mengambil hasil panen; padi berkarung-karung besar.
Siap digiling lalu dijemur.
"Mbak Fitri
mau ke mana?" sapa salah satu tetangga.
"Mau
njagong tempat Lek Warsino. Keburu
maghrib." Mulai menghidupkan motor matic, melirik spion kiri, memantapkan
riasan.
"Mbak Fitri
sangat legowo. Kalau aku mungkin tidak sudi datang." Tetangga Fitri
berceloteh tentang kisahnya.
"Sudah, Budhe. Ini
jalan-Nya." Senyum terpaksa Fitri
menutup perbincangan. Luka dan kisah itu, tak mungkin terus dia paksa kembali
terjadi.
***
Kisah kasih yang dia
lalui empat tahun tak mungkin bisa hilang begitu saja. Cinta pertama adalah
yang paling membekas di hati. Sekuat apapun disuruh pergi, rasa itu adalah
kenangan awal mula dalam mengenal perasaan.
Fitri
sangat hapal jalan ini. Menyusuri jembatan tua, lurus dua ratus meter lalu
belok kiri. Menikmati pematang sawah saat senja, dia ingat janji yang terucap tiga setengah
tahun lalu di jalan ini.
"Kita
pasti sukses, Fitri. Tiga tahun merantau, pasti cukup untuk modal menikah.
Walimahan biasa saja, sederhana."
Masa silam. Sekali pun
usang, berdebu bahkan terbuang. Masih saja mereka melekat di alam pikiran.
Setiap saat bisa keluar dan mendobrak kenyataan.
"Semua omong
kosong, kan, Mas." Fitri
membalas putaran kenangan itu dengan lirihan. Ya, rencana manusia dengan Sang
Pencipta terkadang tak selalu sama. Bisa jadi, apa yang hamba-Nya pinta, bukan
hal baik untuk dikabulkan segera. Tidak ada doa yang tertolak. Tuhan mendengar
dan menerima jeritan hamba-Nya. Takdir sudah ditetapkan, tapi Tuhan tidak
memaksa kita untuk diam tanpa berusaha.
Motor Fitri
memasuki gapura pembatas desa. Cat dan hiasan baru. Desa tetangga memang
terlihat lebih menyenangkan. Rumah bercat warna-warni, taman penuh; anggrek,
mawar dan rumput jepang, kolam ikan, dan garasi mobil ada di setiap halaman.
Harta memang bisa
merubah tabiat manusia. Bekerja keras menumpuk materi untuk bersaing
membanggakan diri. Siapa yang paling kaya, adalah dia yang paling indah
rumahnya.
Memasuki gang ketiga
dari jalan utama desa. Fitri
berhenti sejenak melihat tenda berwarna kuning emas dengan pilar besi yang
terpasang di tengah jalan. Lagu keroncong mengalun merdu, lirih. Kakinya enggan
kembali masuk ke wilayah masa lalu. Matanya kembali mengingat semua adegan
menyenangkan itu.
Tapi Fitri harus menghadapi kenyataan.
Sepahit apapun, dia harus menerima dan legowo melihat keadaan. Bukan hanya dia
yang terluka, Simboknya dan keluarga yang selama ini mau menerima statusnya
sebagai anak pungut tak luput dari rasa kecewa. Dendam tidak boleh dipelihara,
luka menganga itu sebentar lagi akan menutup oleh waktu. Olesi saja dengan
kesabaran, pertebal pendengaran dari ocehan orang.
“Bagaimana kabarmu,
Nduk? Semakin kurus tapi tambah ayu.” Wajah keriput itu tersenyum sumringah.
Menatap Fitri dengan berkaca-kaca. Gadis kecil yang selama ini dia rawat,
mengajarinya membaca huruf-huruf hijaiyah kini sudah bisa belajar menerima
kekalahan. “Maafkan, Simbah ya, Nduk. Seandainya suara Simbah masih didengar
sama Seno, tidak mungkin kamu duduk sebagai tamu hari ini. Kamu pasti duduk di
kursi sana.” Mata Simbah memandang kursi pelaminan, “dan tidak perlu mendengar
celotehan tetangga.”
“Kenapa Simbah yang malah meminta
maaf? Sudah, tidak perlu dipermasalah lagi. Aku sudah menerima semua ini. Bukan
jodoh dan aku tidak perlu mendengarkan omongan tetangga. Mending mendengarkan
omongan Simbok di rumah yang setiap hari mengeluh tentang berita artis di
televisi.”
Fitri tidak
ingin menceburkan diri ke dalam sangkaan orang. Lebih baik berbenah diri,
melupakan hal yang tak seharusnya dipikirkan. Dia ingin melepaskan seluruh luka
itu, membiarkannya keluar bebas menghirup udara keikhlasan. “Pasti Allah sudah
menyimpan seorang lelaki untuk Fitri juga, dan itu bukan Mas Seno.”
Seno, pemuda
dua puluh tujuh tahun itu adalah cinta pertamanya. Fitri tidak begitu paham
kenapa dia bisa jatuh hati pada pemuda jangkung itu. Mereka satu sekolah saat
SMA dulu. Berangkat sekolah bersama, saling membantu tugas sekolah. Seno satu
tahun di atas Fitri. Sama-sama terlahir dari keluarga sederhana, membuat mereka
berdua mimpi bersama. Seno memiliki
keinginan pergi ke luar negeri. Menjemput lembaran rupiah di negeri sakura.
Kemiskinan mengubur keinginannya untuk kuliah. Ada dua adik perempuan yang
masih harus dibiayai, masih ada gubug tua yang harus dia benahi. Egois,
mengambil beasiswa lalu melenggang menjadi mahasiswa tak ubahnya menjilat
sendiri air ludah yang sudah dimuntahkan dan jatuh di tanah kering. Begitu juga
keinginannya untuk mengarungi hidup berdua bersama Fitri. Seno mencintai Fitri,
sejak dia masih remaja.
Fitri, gadis
kecil tangguh itu dirawat oleh sanak saudara ibunya. Ayahnya meninggal karena
bencana longsor beberapa bulan sebelum dia dilahirkan. Sedangkan ibunya
sendiri, menghilang entah ke mana setahun setelah Fitri dilahirkan. Pamit,
ingin merantau dan menabung untuk membesarkan Fitri dijadikan alasan. Tapi
setelah bertahun, belasan tahun dan hingga Fitri bisa menyukupi kebutuhannya
sendiri. Kaki sang ibu kandung tak pernah lagi datang menjenguknya. Fitri yang
saat itu baru belajar berjalan, menangis sepanjang malam. Air susunya hilang,
dekapan hangat itu terlepas. Tapi itu bukan keinginannya. Takdir hidup yang
mengharuskan dia menjadi anak pungut. Merasa dibuang oleh ibu kandungnya
sendiri.
Tidak ada
pengakuan dari mulut mereka. Rasa itu terjadi begitu saja. Seno menyukai
kesederhanaan Fitri. Cara perempuan mata coklat itu menghadapi kejamnya hidup
sebagai anak pungut. Kondisi orang tua yang menjaga Fitri sejak balita pun di
bawah garis sederhana. Rumah kecil dengan dinding bambu sebagai penghalang
angin. Lantai basah karena rumah dekat dengan aliran sungai. Genting satu dua
loncat dari tempat seharusnya. Ibu angkat Fitri, yang dipanggilnya Simbok,
adalah seorang perawan tua. Simbok tidak ingin menikah karena cacat fisik yang
dia miliki. Simbok mengambil keputusan menjaga Fitri, sebagai teman hidup dan
semangatnya dalam mengais rejeki. Dia bekerja sebagai tukang buruh apa saja. Ke
sawah, ladang, kebun atau rumah. Fisik sebagai
wanita lah yang membuat Simbok mengubur niat ingin menikah. Tidak akan ada yang
mau denganku, begitu pikir Simbok.
“Fitri ada
oleh-oleh buat Simbah. Kemarin sebelum naik pesawat Fitri beli ini buat Simbah.
Fitri sudah janji dulu, akan mengganti kalung Simbah yang Fitri pinjam buat
uang pegangan selama di Malaysia.”
“Simbah sudah
ikhlas, buat apa dikembalikan, Nduk?”
“Mbah,” Fitri
menyelipkan kotak kecil itu dijemari perempuan berusia delapan puluh tahun itu,
“anggap saja sebagai hadiah atau oleh-oleh. Fitri sudah janji dulu.”
Hanya Simbah
Niti yang menyapa kedatangan Fitri. Baik Seno, lelaki yang pernah berjanji akan
menikahinya sepulang dari perantauan tak berani berhadapan dengannya. Atau Ayah
dan Ibu Seno sengaja menghindar, melihat kedatangan Fitri pun tidak.
Fitri hanya
perempuan biasa, pasti juga merasakan sakit ketika laki-laki yang berjanji akan
mengijab namanya lari dari kata-kata yang sudah dia buat sendiri. Fitri tidak
ingin meminta pertanggungjawaban. Biarkan semua dosa, luka serta akibat dari
kisah masa lalunya dia dekap sendiri. Jodoh tak jodoh bukan sebuah hal yang
harus ditangisi. Kesuciannya memang sudah layu bahkan tercabut tapi hidupnya
harus tetap tumbuh, tegak berdiri menantang badai dan hujan ujian yang kini
menghadang perjuangan.
~ END ~
TIPS MOVE ON ALA GADIS BERCADAR;
- Menangis
sampai lelah sendiri
- Menerima
semua hal yang terjadi. kalau tidak bisa menerima, buang saja.
- Mudah
saja, menulis! Tulis semua hal yang menyakitkan. Tulis nama dia, buat nama
dia dalam sebuah cerita. Abadikan namanya di tulisanmu!