Powered By Blogger

Senin, 30 April 2018

PUDING CINTA BUAH NAGA
















Bahan-bahan :
  • 1 buah naga
  • 1 sachet agar-agar plain (saya memakai yang putih susu)
  • 1 sachet SKM (susu kental manis)
  • 5 sdm gula pasir (boleh lebih bila ingin manis)
  • 500ml air (boleh lebih)


Cara memasak :
  •      Kerok buah naga, haluskan (saya memakai garpu)
  •     Campur semua bahan; air, gula pasir, SKM dan agar-agar plain ke dalam wadah
  •     Aduk perlahan-lahan dengan api kecil hingga mendidih
  •     Aduk terus hingga meletup dan dirasa sudah matang
  •     Matikan api
  •     Campurkan buah naga ke dalam agar-agar, aduk seperlunya
  •     Langsung tuang ke dalam cetakan
  •     Tunggu hingga dingin, puding cinta buah naga siap disantap



Ini hanya resep sederhana ala saya. Boleh ditambahi dengan buah atau pemais  lain bila berkenan. Terima kasih J happy cooking.


OSENG KULIT BUAH NAGA











Bahan-bahan :
  • 1 buah naga (kulitnya)
  • 4 potong tahu (boleh tahu jenis apa pun) potong-potong
  • Cabai rawit
  • Cabai besar hijau


Bumbu :
  • Bawang bombay
  • Bawang merah
  • Bawang putih
  • Garam secukupnya
  • Gula secukupnya
  • Penyedap secukupnya
  • Minyak untuk menumis


Cara membersihkan kulit buah naga :
  •  Buang pucuk sisik kulit buah naga seperlunya saja yang dirasa keras dan tidak enak di makan
  • Cuci bersih hingga lendir di dalam kulit buah dirasa berkurang
  • Iris tipis-tipis
  • Taburi garam seperlunya lalu cuci kembali hingga bersih

Cara memasak :
  • Iris bawang bombay, bawang merah, bawang putih, cabai rawit dan cabai hijau besar
  • Lalu tumis di wajan dengan minyak seperlunya
  • Dirasa sudah berbau harum tambahkan sedikit air
  • Beri gula dan garam secukupnya
  • Masukkan potongan tahu yang sudah dicuci, tunggu hingga setengah matang
  • Masukkan kulit buah naga ke dalam wajan
  • Aduk-aduk sebentar hingga dirasa kulit buah naga sudah layu
  • Tambahkan penyedap dan bumbu lain bila rasa belum pas

Notes; boleh ditambahi dengan bakso, sosis atau bahan lainnya. Warna masakan akan cenderung merah seperti buah naga. InshaAllah aman dikonsumsi. Saya sudah mencobanya. Rasa kulit buah naga sedikit agak kenyal kalau menurut saya. Happy cooking.

Pics by Google

Selasa, 23 Januari 2018

SEMANGKOK SOTO












Oleh Nanik Haryanti


Fajar menyisihkan beberapa irisan bawang goreng yang sudah nyaman berenang di mangkoknya. Tidak peduli dengan omelan Sri Purwati yang nyaring terdengar dari dapur. Bahwa dia harus  melahap aja saja masakan yang sudah dibuat olehnya. Tapi tetap saja Fajar tidak memperdulikan. Baginya, irisan bawang goreng itu rasanya pahit. Meskipun Sri Purwati sudah menaburi sedikit perasa instan dan sejumpit garam pada irisan-irisan bawang merah goreng yang dibuatnya. Itu tidak membuat Fajar langsung menyukai pemanis makanan yang satu itu.

Lelaki dua puluh lima tahun yang sekarang masih berstatus pengelana pekerjaan. Selama setahun ini Fajar hanya di rumah membantu Sri Purwati merawat ayam-ayam kampung. Ijasah SMK jurusan teknik listrik harus disimpan di lemari tua milik ibunya. Terakhir, sepatu hitam yang dikenakan oleh Fajar adalah sepatu untuk pekerjaannya sebagai debt collector di sebuah bank swasta. Karirnya cukup bagus, didukung oleh rupa yang menambah semangat nasabah untuk membayar cicilannya di bank. Tidak membuat Fajar betah meniti karir di sana. Dia bosan menagih hutang.

Ayam-ayam kampung milik Sri Purwati tidak lebih dari dua puluhan. Mereka adalah peranakan dari ayam peninggalan almarhum suaminya dulu yang tidak boleh dijual. Dua ayam jantan dan tiga ayam betina menghasilkan belasan anak ayam yang kini sudah bisa dinikmati dagingnya. Sri Purwati dengan telaten merawat warisan suaminya. Pesan terakhir dari suami yang selalu diingatnya, “jangan dijual, ayam-ayam ini bisa mencukupi biaya sekolah anak-anak nanti. Jangan pernah dijual.”

Kata-kata yang selalu terngiang saat semangatnya berjuang mencukupi kebutuhan keluarga sudah menipis. Sri Purwati bukan perempuan hebat dengan banyak keahlian. Dia pintar meracik bumbu dan mengolah berbagai masakan. Tapi tidak tahu harus dikemanakan semua hasil olahan yang sering dipuji enak oleh anak-anaknya itu. Hanya untuk perut keluarganya, pikirnya saat itu. Sampai nasib membawanya bertemu dengan orang-orang baik.

“Ibu ... sore ini pesanan diantar ke mana?” seru Fajar.

Sri Purwati tidak menyahut. Fajar membawa mangkok yang sudah habis isinya tadi ke dapur. Meletakkan di ember kecil dekat kran wudhu lalu menghampiri ibunya yang sedang duduk di samping pintu dapur.

Tangan kanan Sri Purwati terampil mencabuti satu per satu bulu ayam kampung yang sudah mati. Disiramkannya air panas dari ceret ke ayam itu tadi dengan tangan kirinya. Sore ini pesanannya harus segera dihantarkan. Sudah pukul dua siang, sedangkan sayuran belum dipotong dan direbus. “Fajar, Ibu boleh minta tolong?”

Fajar yang duduk jongkok di samping Ibunya bersiap ingin membantu membersihkan bulu-bulu ayam langsung mengangguk. Menunggu suara ibunya. “Bantuan apa, Bu? Jangan mengulek lagi. Itu pekerjaan perempuan.”

Sri Purwati mengulas senyum mengingat kejadian beberapa bulan lalu. Waktu itu dia kesiangan. Jam empat pagi baru bangun sedangkan bumbu belum disiapkan sejak sore. Ayam kampung sudah direbus  semalam. Tapi segala macam bumbu belum disiapkan. Terpaksa membangunkan Fajar, anak lelaki satu-satunya. Kedua anak perempuannya masih kecil-kecil, usia sekolah dasar. Dengan gontai Fajar mengupas bumbu yang sudah diperhitungkan Sri Purwati satu per satu. Sesekali dia menguap. Semenjak ibunya memutuskan untuk berjualan. Fajar tidak pernah membantu ibunya di dapur. Tapi hari itu Fajar melihat sendiri bagaimana sosok perempuan yang sudah melahirkannya itu berjuang mencari lembaran rupiah sendiri tanpa seorang suami. Sosok yang sering dipanggil ‘janda’ oleh orang-orang yang tidak mengenal dekat kehidupannya. “Aku kuat bukan rapuh. Aku perempuan dengan amanah tiga anak dari suamiku. Aku tidak akan pernah lari dari kenyataan itu,” ucap Sri Purwati saat orang-orang sangsi dengan kehidupannya setelah suaminya meninggal.

“Bantu Ibu mengupas bawang merah lalu diiris-iris. Ibu harus membuatkan bumbu untuk ayam ini.”
Fajar menatap bawang merah yang ada di besek [1] lama. Sambil mengingat kalimat tadi, ucapan pada bawang goreng yang disisihkannya. “Dasar pemanis tidak bermanfaat.”
========
Sri Purwati menghitung lembaran uang yang diterimanya setelah acara berakhir. Kuah di dandang tidak tersisa. Suwiran ayam, toge, irisan kubis, irisan bawang goreng yang dicampur sedikit irisan sledri ludes. Fajar menggosok luaran dandang  dengan hati-hati agar tak lecet. Itu dandang baru. Dibeli ibu dua bulan lalu. Kredit dari salah satu pedagang pasar kenalannya.

“Ibu belum makan,” ujar Fajar yang melihat ibunya duduk di dingklek [2] dekat tungku kayu.  Masih ada beberapa peralatan dapur yang belum dia cuci. Malam sudah semakin larut. Suara ‘ceguk’ dari burung hantu yang bertengger di pohon samping rumah terdengar jelas.

“Tadi Ibu sudah makan di acara tadi. Ada sisa semangkok soto yang tidak diambil. Ibu makan diam-diam,” jawab Sri Purwati sembari merenggangkan otot-otot kakinya, “ibu harus membuat bawang goreng lagi untuk esok. Tadi kamu sudah beli bawang merah kan, Fajar?”
Sri Purwati harus berjualan soto esok hari. Agar lembaran uang yang dihantarkan ke bank cukup untuk angsuran bulan ini.

“Fajar sudah menggorengnya, Bu. Sudah Fajar simpan di lemari.”

“Gak gosong kan, Fajar?” Sri Purwati panik berlari, membuka lemari tempat menyimpan lauk pauk. Bawang goreng penuh berada di dalam toples kaca. Warnanya cantik seperti senja yang hampir tenggelam.

Sri Purwati langsung lega. Selama ini Fajar tidak pernah mau menyentuh bawang merah dengan alasan hanya mengotori penampilan semangkok soto saja. “Bu, ternyata membuat bawang goreng itu tidak semudah menyisihkannya.”

Fajar tersenyum lebar, “Apa aku mengembangkan usaha Ibu saja ya dari pada menjadi orang kantoran? Soto buatan ibu kan tidak ada duanya.”
Ah, Sri Purwati tidak bisa berkata apa-apa lagi. Doanya terkabul. Doa yang dia haturkan ke Illahi sejak Fajar tidak semangat bekerja lagi. Kini diganti dengan takdir yang lebih baik.

Klaten, 15 Januari 2018

Notes;
[1] Besek : kardus makanan  yang terbuat dari anyaman bambu.

[2] Dingklek : kursi duduk kecil yang terbuat dari kayu.

BUNGA PEPAYA




Ratna menggeleng untuk ke sekian kalinya. Kali ini keputusannya sudah bulat untuk menjawab teka-teki yang selama ini membutuhkan jawaban. Dia memang benar-benar tidak bisa mentolerir beberapa kekurangan yang ada pada diri Aji. Baginya, fase ini adalah fase yang tidak bisa dijadikan permainan. Ratna tidak peduli dengan segala julukan orang untuknya. Apa pun itu dia akan terima. Karena prinsipnya hanya satu; memiliki suami yang sesuai dengan kriterianya. Karena ini hidupnya, perjalanannya. Bukan milik orang lain.
=====================
Uap mengepul dari secangkir teh yang baru saja disajikan oleh Tugiyem. Ketela rebus menemani secangkir teh di meja ruang tamu rumahnya. Pagi masih berkabut. Di halaman, embun-embun masih tertidur, menunggu fajar membangunkan. Tanah sedikit becek sisa hujan sebentar semalam. Pohon mangga sedang berbuah musiman. Kali ini buahnya lumayan banyak untuk dijual. Pintu depan rumah sudah terbuka semenjak lepas sholat subuh tadi. Menunggu kepulangan putri tertua di rumah itu. Putri kebanggaan Tugiyem.

Sudah pukul setengah tujuh tapi jalanan desa masih sepi. Hanya ada ayam dan anak-anaknya yang sedang mencari makan. Kabut masih tertinggal tipis di atas pepohonan. Dari ufuk timur mendung menggantung. Tugiyem berjalan melewati halaman lalu berdiri di pinggir jalan.  Menengok ke kanan serta kiri mencari suara mobil. Anaknya seharusnya sudah sampai. Tapi lengangnya jalan menjawab semua rasa penasarannya. Tugiyem gelisah, berharap tidak ada satu halangan pun di tengah jalan.

“Sebentar lagi hujan, Mak. Menunggu di emperan saja. Mungkin di jalan terjebak macet.”

Tugiman menggandeng Tugiyem untuk duduk di emperan. Istrinya masih gelisah. Sangat terlihat dari raut wajah yang dibalut dengan jilbab merah maroon pemberian menantunya. Tugiyem berdiri. Berjalan pelan-pelan ke halaman rumah mereka yang sebagian becek terisi air hujan.

“Sudah aku bilang, Mak. Tunggu saja di sini. Gerimis,” ujar Tugiman. Tangannya memegang lengan Tugiyem agar tak ke halaman.

Seorang ibu yang sudah rindu kepalang dengan anak semata wayangnya. Hanya bisa menahan sesak di dada saat masa tuanya tidak ada yang menemani. Gerimis turun perlahan. Halaman kembali disinggahi rintikan.


Sepasang suami istri itu memasuki rumah mereka dengan wajah menunduk. Ini sudah hari ketiga mereka menunggu kehadiran putri dan menantunya. Gerimis berubah menjadi guyuran. Deras, seperti netra Tugiyem beberapa hari ini. Rambut putihnya sudah semakin banyak. Bahkan suaminya, Tugiman, tidak ada sehelai pun yang tidak beruban. Dia memikirkan masa tuanya sekarang. Ketakutan jika di masa tua, mereka tidak bisa hidup bersama anak semata wayangnya.

“Telpon Lek Kardi, Pak. Apakah sudah ditelpon sama Ratna belum,” pinta Tugiyem. Tugiman mengeluarkan handphone pemberian anaknya. Mencari nomor telepon sopir mobil menantunya.

Mereka terduduk di ruang tamu. Teh sudah dingin begitu juga dengan ketelanya. Rumah mereka sangat sepi. Hanya ada perabotan rumah beberapa. Termasuk kursi rotan yang mereka duduki sekarang. Saksi mati mereka mengasuh putri semata wayangnya.

“Tidak diangkat, Mak. Mungkin lagi di perjalanan. Mamak yang sabar. Kan Genduk sudah bilang mau pulang minggu ini. Menjenguk kita tapi harinya memang belum tahu. Menunggu ijin dari Septian.” Tugiman lah yang terlihat tegar menghadapi situasi ini.

Tugiyem beristighfar. Mengambil teh yang sudah dingin dan menyeruputnya. “Pak, jaman kita dulu, menikah itu tidak perlu macam-macam syaratnya.”

Tugiman tersenyum, “apa iya? Mamak dulu memberi syarat agar bapak setelah menikah kerja banting tulang tanpa kenal lelah. Itu juga syarat.”

“Pak, itu kan gara-gara kita masih numpang di rumah simbok. Mamak gak nyaman masak sama mandi jadi satu,” kilah Tugiyem, “itu juga karena anggota keluarga bapak banyak di rumah simbok.”

Senyum hadir di tengah-tengah perbincangan mereka. Mengingat nostalgia masa lalu yang selalu memancing tawa. Tapi itu kenangan. Penuh dengan perjuangan tapi terobati saat melihat senyum serta tangis putri semata wayangnya. “Ada telepon dari Kardi, Mak. Sebentar bapak jawab.”

Tugiman berdiri untuk mencari sinyal. Suara Kardi terdengar jelas dari sana. Hanya sebentar, belum ada satu menit Kardi menutup obrolan.

“Ada apa, Pak? Mereka sudah sampai mana?” tanya Tugiyem antusias. Tugiman mencoba tersenyum.

“Mak ... kita ke ladang saja hari ini. Memanen cabai yang sudah memerah,” jelas Tugiman sembari menatap teduh raut istrinya yang menahan tangis. “Mungkin bulan depan Ratna bisa ke sini. Mak sekarang ganti baju, sarapan dan kita menunggu hujan reda lalu ke ladang.”

Tugiyem menangis. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan untuk menunjukkan rasa sesak di dadanya selain menangis? Jemari Tugiman mengusap lembut punggung istri tercintanya. Memberi kekuatan bahwa hal ini dihadapi bersama. “Seandainya Ratna menikah dengan Aji, Pak. Lelaki desa pilihan kita. Kita tidak perlu menghitung hari untuk bertemu anak kandung sendiri,” gumam Tugiyem.

Oseng bunga pepaya dan mendoan goreng tersaji di meja makan. Masih utuh, belum terambil sedikit pun.


Klaten, 17 Januari 2017
Oleh Nanik Haryanti

Sabtu, 04 November 2017

MELATI TAK WANGI







"Ada apa, Mbok? Fitri baru saja selesai sholat." Lipatan mukena dia letakkan di meja rias samping ranjang. Lalu memandang ke cermin sebentar, menyisir rambut dan kembali menggunakan kerudung.

Fitri mendekati Simbok yang tengah memegang amplop di tangan kanan. Teriakan Simbok saat Fitri sholat sedikit membuatnya risau. Sudah sepuh, karena sakit gula bertahun-tahun, kaki Simbok harus dioperasi dan kini cara berjalannya tidak normal. Sedapat mungkin, Fitri tidak boleh lengah menemani ibu angkatnya.

"Tadi ada undangan nikah anaknya Lek Warsino. Penyebar undangan si Pardi. Dia lupa, dan baru hari ini ingat. Ternyata resepsinya besok. Jadi hari ini Simbok harus nyumbang, Nduk."

Penjelasan Simbok menjawab kosongnya amplop yang dibawa. Fitri beranjak dari tempat duduk samping ibunya. Membuka lemari, mencari-cari benda di bawah lipatan baju. Dompet berwarna merah tua, pemberian seseorang tiga tahun lalu masih dia jaga dengan baik. Hadiah pertama dan terakhir.

"Simbok mau isi amlop itu berapa?" Tanya Fitri saat membuka dompet.

"Warsino belum pernah memberi sumbangan ke Simbok, jadi sepantasnya saja. Dia sekarang jadi orang kaya," jelasnya.

"Mbok, Lek Warsino begitu baik sama kita. Sering menolong saat kita kesusahan. Tidak apa-apa kalau sumbangan ini dilebihkan. Sekadar balas budi." Fitri mengisi amplop kosong itu dengan lembaran rupiah berwarna biru dua.

"Ini terlalu banyak," tolak Simbok.

"Tidak sebanyak yang sudah dikeluarkan Lek Warsino untuk kita, Mbok," balas Fitri.

***

Masih pukul empat lebih, suasana desa masih ramai lalu lalang orang. Hewan peliharaan; bebek, ayam, kambing mulai dikandangkan. Bapak-bapak sudah membersihkan diri dari aktifitas sawah. Anak-anak masih sibuk mengeja huruf hijaiyah di masjid. Warung-warung makanan ramai dengan pembeli. Satu dua mobil bak terbuka menyeterika jalan dengan ke empat rodanya. Mengambil hasil panen; padi berkarung-karung besar. Siap digiling lalu dijemur.

"Mbak Fitri mau ke mana?" sapa salah satu tetangga.

"Mau njagong tempat Lek Warsino. Keburu maghrib." Mulai menghidupkan motor matic, melirik spion kiri, memantapkan riasan.

"Mbak Fitri sangat legowo. Kalau aku mungkin tidak sudi datang." Tetangga Fitri berceloteh tentang kisahnya.

"Sudah, Budhe. Ini jalan-Nya." Senyum terpaksa Fitri menutup perbincangan. Luka dan kisah itu, tak mungkin terus dia paksa kembali terjadi.

***

Kisah kasih yang dia lalui empat tahun tak mungkin bisa hilang begitu saja. Cinta pertama adalah yang paling membekas di hati. Sekuat apapun disuruh pergi, rasa itu adalah kenangan awal mula dalam mengenal perasaan.

Fitri sangat hapal jalan ini. Menyusuri jembatan tua, lurus dua ratus meter lalu belok kiri. Menikmati pematang sawah saat senja, dia ingat janji yang terucap tiga setengah tahun lalu di jalan ini.

"Kita pasti sukses, Fitri. Tiga tahun merantau, pasti cukup untuk modal menikah. Walimahan biasa saja, sederhana."

Masa silam. Sekali pun usang, berdebu bahkan terbuang. Masih saja mereka melekat di alam pikiran. Setiap saat bisa keluar dan mendobrak kenyataan.

"Semua omong kosong, kan, Mas." Fitri membalas putaran kenangan itu dengan lirihan. Ya, rencana manusia dengan Sang Pencipta terkadang tak selalu sama. Bisa jadi, apa yang hamba-Nya pinta, bukan hal baik untuk dikabulkan segera. Tidak ada doa yang tertolak. Tuhan mendengar dan menerima jeritan hamba-Nya. Takdir sudah ditetapkan, tapi Tuhan tidak memaksa kita untuk diam tanpa berusaha.

Motor Fitri memasuki gapura pembatas desa. Cat dan hiasan baru. Desa tetangga memang terlihat lebih menyenangkan. Rumah bercat warna-warni, taman penuh; anggrek, mawar dan rumput jepang, kolam ikan, dan garasi mobil ada di setiap halaman.

Harta memang bisa merubah tabiat manusia. Bekerja keras menumpuk materi untuk bersaing membanggakan diri. Siapa yang paling kaya, adalah dia yang paling indah rumahnya.

Memasuki gang ketiga dari jalan utama desa. Fitri berhenti sejenak melihat tenda berwarna kuning emas dengan pilar besi yang terpasang di tengah jalan. Lagu keroncong mengalun merdu, lirih. Kakinya enggan kembali masuk ke wilayah masa lalu. Matanya kembali mengingat semua adegan menyenangkan itu.

Tapi Fitri harus menghadapi kenyataan. Sepahit apapun, dia harus menerima dan legowo melihat keadaan. Bukan hanya dia yang terluka, Simboknya dan keluarga yang selama ini mau menerima statusnya sebagai anak pungut tak luput dari rasa kecewa. Dendam tidak boleh dipelihara, luka menganga itu sebentar lagi akan menutup oleh waktu. Olesi saja dengan kesabaran, pertebal pendengaran dari ocehan orang.

“Bagaimana kabarmu, Nduk? Semakin kurus tapi tambah ayu.” Wajah keriput itu tersenyum sumringah. Menatap Fitri dengan berkaca-kaca. Gadis kecil yang selama ini dia rawat, mengajarinya membaca huruf-huruf hijaiyah kini sudah bisa belajar menerima kekalahan. “Maafkan, Simbah ya, Nduk. Seandainya suara Simbah masih didengar sama Seno, tidak mungkin kamu duduk sebagai tamu hari ini. Kamu pasti duduk di kursi sana.” Mata Simbah memandang kursi pelaminan, “dan tidak perlu mendengar celotehan tetangga.”


“Kenapa Simbah yang malah meminta maaf? Sudah, tidak perlu dipermasalah lagi. Aku sudah menerima semua ini. Bukan jodoh dan aku tidak perlu mendengarkan omongan tetangga. Mending mendengarkan omongan Simbok di rumah yang setiap hari mengeluh tentang berita artis di televisi.”

Fitri tidak ingin menceburkan diri ke dalam sangkaan orang. Lebih baik berbenah diri, melupakan hal yang tak seharusnya dipikirkan. Dia ingin melepaskan seluruh luka itu, membiarkannya keluar bebas menghirup udara keikhlasan. “Pasti Allah sudah menyimpan seorang lelaki untuk Fitri juga, dan itu bukan Mas Seno.”

Seno, pemuda dua puluh tujuh tahun itu adalah cinta pertamanya. Fitri tidak begitu paham kenapa dia bisa jatuh hati pada pemuda jangkung itu. Mereka satu sekolah saat SMA dulu. Berangkat sekolah bersama, saling membantu tugas sekolah. Seno satu tahun di atas Fitri. Sama-sama terlahir dari keluarga sederhana, membuat mereka berdua  mimpi bersama. Seno memiliki keinginan pergi ke luar negeri. Menjemput lembaran rupiah di negeri sakura. Kemiskinan mengubur keinginannya untuk kuliah. Ada dua adik perempuan yang masih harus dibiayai, masih ada gubug tua yang harus dia benahi. Egois, mengambil beasiswa lalu melenggang menjadi mahasiswa tak ubahnya menjilat sendiri air ludah yang sudah dimuntahkan dan jatuh di tanah kering. Begitu juga keinginannya untuk mengarungi hidup berdua bersama Fitri. Seno mencintai Fitri, sejak dia masih remaja.

Fitri, gadis kecil tangguh itu dirawat oleh sanak saudara ibunya. Ayahnya meninggal karena bencana longsor beberapa bulan sebelum dia dilahirkan. Sedangkan ibunya sendiri, menghilang entah ke mana setahun setelah Fitri dilahirkan. Pamit, ingin merantau dan menabung untuk membesarkan Fitri dijadikan alasan. Tapi setelah bertahun, belasan tahun dan hingga Fitri bisa menyukupi kebutuhannya sendiri. Kaki sang ibu kandung tak pernah lagi datang menjenguknya. Fitri yang saat itu baru belajar berjalan, menangis sepanjang malam. Air susunya hilang, dekapan hangat itu terlepas. Tapi itu bukan keinginannya. Takdir hidup yang mengharuskan dia menjadi anak pungut. Merasa dibuang oleh ibu kandungnya sendiri.

Tidak ada pengakuan dari mulut mereka. Rasa itu terjadi begitu saja. Seno menyukai kesederhanaan Fitri. Cara perempuan mata coklat itu menghadapi kejamnya hidup sebagai anak pungut. Kondisi orang tua yang menjaga Fitri sejak balita pun di bawah garis sederhana. Rumah kecil dengan dinding bambu sebagai penghalang angin. Lantai basah karena rumah dekat dengan aliran sungai. Genting satu dua loncat dari tempat seharusnya. Ibu angkat Fitri, yang dipanggilnya Simbok, adalah seorang perawan tua. Simbok tidak ingin menikah karena cacat fisik yang dia miliki. Simbok mengambil keputusan menjaga Fitri, sebagai teman hidup dan semangatnya dalam mengais rejeki. Dia bekerja sebagai tukang buruh apa saja. Ke sawah, ladang, kebun atau rumah. Fisik sebagai wanita lah yang membuat Simbok mengubur niat ingin menikah. Tidak akan ada yang mau denganku, begitu pikir Simbok.

“Fitri ada oleh-oleh buat Simbah. Kemarin sebelum naik pesawat Fitri beli ini buat Simbah. Fitri sudah janji dulu, akan mengganti kalung Simbah yang Fitri pinjam buat uang pegangan selama di Malaysia.”

“Simbah sudah ikhlas, buat apa dikembalikan, Nduk?”

“Mbah,” Fitri menyelipkan kotak kecil itu dijemari perempuan berusia delapan puluh tahun itu, “anggap saja sebagai hadiah atau oleh-oleh. Fitri sudah janji dulu.”

Hanya Simbah Niti yang menyapa kedatangan Fitri. Baik Seno, lelaki yang pernah berjanji akan menikahinya sepulang dari perantauan tak berani berhadapan dengannya. Atau Ayah dan Ibu Seno sengaja menghindar, melihat kedatangan Fitri pun tidak.

Fitri hanya perempuan biasa, pasti juga merasakan sakit ketika laki-laki yang berjanji akan mengijab namanya lari dari kata-kata yang sudah dia buat sendiri. Fitri tidak ingin meminta pertanggungjawaban. Biarkan semua dosa, luka serta akibat dari kisah masa lalunya dia dekap sendiri. Jodoh tak jodoh bukan sebuah hal yang harus ditangisi. Kesuciannya memang sudah layu bahkan tercabut tapi hidupnya harus tetap tumbuh, tegak berdiri menantang badai dan hujan ujian yang kini menghadang perjuangan.

~ END ~







TIPS MOVE ON ALA GADIS BERCADAR;
  1. Menangis sampai lelah sendiri
  2. Menerima semua hal yang terjadi. kalau tidak bisa menerima, buang saja.
  3. Mudah saja, menulis! Tulis semua hal yang menyakitkan. Tulis nama dia, buat nama dia dalam sebuah cerita. Abadikan namanya di tulisanmu!




Senin, 28 Agustus 2017

CV TA'ARUF













Bismillahirrohmannirrohim

BIODATA DIRI PRIBADI


Nama Lengkap :
Nama Panggilan :
Email :
Facebook :
Twitter :
Blog :
Gmail :
TTL :
Suku :
Alamat asal :
Alamat domisili :
Nomor Handphone :
Pekerjaan :
Ciri Fisik :
1. Berat badan :
2. Tinggi badan :
3. Warna kulit :
4. Berkacamata :

Riwayat Pendidikan :
1. SD : ........................... lulus tahun
2. SMP : ....................... lulus tahun
3. SMA : ....................... lulus tahun
4. PT : ........................... lulus tahun

Riwayat Pekerjaan :
Riwayat Organisasi :
Penyakit yang pernah di derita :

Data Ayah :
1. Nama Ayah :
2. Agama :
3. Organisasi :
4. Pekerjaan :
5. Alamat :
6. Sikap terhadap dakwah :
7. Data saudara ayah :

Data Ibu :
1. Nama Ibu :
2. Agama :
3. Organisasi :
4. Pekerjaan :
5. Alamat :
6. Sikap terhadap dakwah :
7. Data saudara ibu :

Data saudara :

Izin untuk menikah :



SEJENAK TENTANG DIRIKU


1. Kriteria calon suami/istri yang sangat saya harapkan :

2. Karakter dan kepribadian diri

a. Pendapat dari beberapa teman dan sahabat:

b. Menurut diri saya pribadi:

3. Catatan aktifitas dakwah

4. Rencana Masa depan

- Penataan ekonomi :

- Pilihan pekerjaan :

- Tempat tinggal :

- Proyeksi dakwah :


5. Deskripsi keluarga :

- Dari keluarga ayah :

- Dari keluarga ibu :

TENTANG AKU …

………………………………… abcdegfghijklm







Ini contoh cv ta'aruf, tidak harus sama persis. Karena contoh dari Murobbi sudah saya rombak sesuai kebutuhan saya sendiri. Tapi bisa dijadikan contoh dalam memulai sebuah niat.



Klaten, 21 Juni 2016