Powered By Blogger

Rabu, 07 Juni 2017

CINDERELLA JOGJA






Seharian Litu mencari kotak mainan di gudang belakang rumah. Berniat memberi kado kejutan untuk si Nitra minggu depan. Usianya akan menginjak ke kepala tiga. Tak rela jika harus membelikan hadiah-hadiah mahal. Toh, sebagai putra tunggal pemilik kebun sawit terluas di pulau seberang, dia tidak akan kekurangan barang-barang mewah.

“Apa kau akan terbang ke Jogja malam ini jika aku mengaku?” Litu melemparkan dadu mungil gilirannya. “Kau tidak mungkin akan datang, anak Mami sepertimu mana berani ke Jogja sendirian. Suara di seberang menggerutu dengan Bahasa Melayu, “Kau tahu, Tra. Aku pun paham Bahasa Malaysia.”

“Jangan banyak pengalihan, jujur saja apa yang akan kau lakukan jika aku mengambil penerbangan malam ini?” Litu tertawa dan mengakhiri permainannya. Moodku hilang, batinnya. Adu tebak-tebakkan dengan kekasih masa kecilnya berakhir begitu saja.

“Semakin bertambah usiamu, kau sudah tidak asyik lagi diajak berbicara.”

“Kalau begitu diam saja,” sahut Nitra. “aku tidak mungkin melewatkan acara di sini hanya untuk menemuimu.”

Litu menitikkan air mata, janji setahun lalu terlupakan begitu saja. “Aku dengar kau akan bertunangan. Benarkah? Aku harap bisa melihatmu memakai tuksedo putih seperti yang kau ceritakan saat kecil dulu.”

“Aku harus stay di negeri Jiran selama setahun, untuk mempersiapkan semuanya, kau mau ikut?”

Bodoh, rutuk Litu. Bagaimana bisa perasaan laki-laki sekaku ini? Apa pengakuan dia setahun lalu hanya dianggap guyonan. “Untuk apa?” tanyanya pelan.

“Bukankah kau ingin selfie di KLCC?”

“Itu hanya keinginan saja, di Jogja juga banyak gedung-gedung tinggi,” jawabnya angkuh.

Nitra sengaja tidak menjawab alasan yang diutarakan oleh Litu. Dia tahu, Litu sedang menahan amarah.

“Baiklah … aku menyerah. Berikan satu alasan agar aku menjemputmu malam ini?”

Well, menjemput? Telinga Litu masih berfungsi dengan baik. “Siapa yang ingin dijemput?”

“Kamu. Litu Rahayu. Calon tunanganku.”

Sepertinya janji kala hujan di Jogja malam itu ditepati oleh Nitra. Mereka tidak saling menyatakan perasaannya. Selama ini Litu berusaha memendam, dia tidak ingin disebut Cinderella Taman Pintar.

“Cinderella gak pakai baju kurung!” jerit Litu sambil menangis. Sedangkan Nitra tersenyum mendengar sesegukan Litu.

“Dan aku bukan putra raja,” bisiknya lembut. Mengakhiri percakapan dengan Litu. Berjalan melewati lorong, memeriksa kembali oleh-oleh yang diminta oleh calon tunangannya. Berbicara sebentar kepada petugas bandara KLIA, meletakkan tas punggungnya di tempat cek barang. Melewati mesin cek pemindai badan, “Dengar Rahayu …,”

“Panggilanku Litu!” Perempuan berponi itu masih terisak. Rahayu adalah nama masa kecilnya. Orang-orang desa tempat Litu dibesarkan dulu kurang suka dengan nama Litu. Jadilah nama belakangnya dijadikan nama panggilan saat dia kecil. Sebenarnya Litu punya nama keluarga. Litu Rahayu Ajeng Kartamiharja. “Awas kalau memanggilku dengan nama panjangku.”

“Aku lebih suka nama Rahayu, lebih kalem dan terdengar manis saat dipanggil.” Nitra berjalan di sepanjang lorong. Lampu-lampu pesawat terlihat dari tempat dia berdiri. “Aku juga akan memanggil dengan nama panjang saat ijab nanti.” Dia melihat sebentar ke landasan pesawat, “Litu, aku merindukanmu.”

Bolehkah Litu melompat-lompat sekarang? Dengan ingus dan lelehan bulir asin di wajahnya. Tidak, dia tidak berharap Nitra akan membalas cintanya. Dia tahu siapa itu keluarga Nitra. Pasti butuh perjuangan lama dan tidak langsung mendapat restu begitu saja. “Tra, apa pendapat ibumu tentang aku?”

“Kamu kaku ... gadis desa.” Sebuah jawaban yang jujur dan membuat mood Litu retak kembali, “dan sederhana.”

“Apa kau tidak bisa menambahkan sedikit kata-kata manis? Itu terlalu jujur.”

“Kamu tanya pendapat dari Ibu, kalau dari sudut pandangku lain lah,” kilah Nitra. Dia sudah memasuki pesawat dan lima belas lagi take off. “Ada hal lain yang ingin kamu sampaikan sebelum aku bermalam di pesawat?”

Litu diam dan memikirkan kalimat-kalimat bagus untuk menutup obrolan mereka, “Tidak ada, kurasa ucapan selamat malam sudah cukup.” Litu berbohong, dia ingin mengungkapkan apa yang dia rasa juga.

“Aku tidak menyukai hal kakumu tapi aku mencintai cara berbohongmu dalam mencintaiku. Malam, Cinderella Jogja-ku.”

Ada yang berbunga-bunga malam ini atau hatinya sedang disirami air hujan. Litu masih memegang erat layarnya di dekat telinga. Meski dia tahu Nitra sudah mematikan hape-nya, “aku mencintaimu.”

Picture by Google
Klaten, 14 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar